Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo – Jatim
Sejarah Awal
Awalnya areal Pondok
Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo adalah hutan belantara yang membentang
dari Gunung Baluran sampai wilayah Asembagus. Hutan belantara itu dikenal
sangat angker karena disamping dihuni oleh binatang buas, juga dedemit. Saat
itu penduduk tidak ada yang berani memasuki hutan tersebut.
Pada tahun 1328 H / 1908
M, Kiai Syamsul Arifin —– atas saran Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah —–
dibantu putranya, As’ad dan beberapa orang santri yang menyertai dari Madura,
membabat dan merambah hutan tersebut untuk didirikan sebuah pesantren dan
perkampungan.
Upaya keras Kiai
Syamsul Arifin akhirnya terwujud. Berdirilah sebuah pesantren kecil yang hanya
terdiri dari beberapa gubuk untuk difungsikan rumah, musalla dan asrama santri
yang waktu itu hanya beberapa orang.
Sejak tahun 1914,
pesantren kecil itu berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari
wilayah sekitar Karesidenan Besuki. Tahun itu pula kemudian dijadikan tahun
berdirinya Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah. Setiap perayaan ulang tahun
selalu dirujuk pada tahun itu.
Perkembangan
selanjutnya, Desa Sukorejo yang letaknya 7 kilometer sebelah timur Asembagus
(30 km arah timur kota kabupaten Situbondo) tidak hanya berdiri sebuah
pesantren, masyarakat pun mulai berdatangan untuk kemudian menetap di desa itu.
Hutan yang telah dirambah itu pun berkembang menjadi areal pertanian ladang dan
kebun yang hasilnya mulai bisa dirasakan penduduk. Pergaulan penduduk dengan
pesantren pun berlangsung harmonis.
Kiai Syamsul Arifin
sendiri selain mengasuh beberapa santri, juga membantu masyarakat khususnya
dalam memberikan pertolongan pengobatan dan hajat masyarakat lainnya. Dan
lambat laun nama Kiai Syamsul Arifin mulai dikenal hingga ke berbagai daerah,
sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, pertambahan santri mulai tampak.
Pada masa perjuangan
kemerdekaan, Pesantren Sukorejo tidak hanya menjadi pusat belajar, tapi juga
sebagai pusat perjuangan kemerdekaan. Para pejuang banyak ditampung di
pesantren, sekaligus sebagai markas penyusunan strategi melawan penjajah.
Ketika itu proses
belajar mengajar baru bisa dilaksanakan melalui sistem sorogan dan bandongan,
hingga kemudian Kiai As’ad yang menggantikan Kiai Syamsul Arifin setelah beliau
wafat pada tahun 1951, sistem belajar mengajar dan pendidikan mulai dikembangkan
ke sistem klasikal dengan didirikannya berbagai lembaga pendidikan, seperti
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, SD, SLTP, SLTA sampai perguruan
tinggi.
Dalam upaya
mewujudkan pendidikan modern sesuai kebutuhan zaman, berbagai lembaga
pendidikan kejuruan dan keahlian pun didirikan, seperti Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), Lembaga Kader Ahli Fiqh Ma’had Aly dan Madrasatul Qur’an
sebagai lembaga kajian dan pendalaman ilmu-ilmu Al Qur’an. Termasuk lembaga
ekonomi Koperasi. Lembaga-lembaga informal seperti kursus dan pelatihan juga
turut mewarnai perkembangannya. []
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar