Selasa, 05 Mei 2015

Kang Komar: Golf dan Reformasi



Golf dan Reformasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

Saya mendapat teman baru yang mengasyikkan dalam bermain golf: Saiful Mujani, dosen FISIP UIN Jakarta yang lebih dikenal sebagai konsultan politik ternama di Tanah Air.

Dengan modal data survei, teori, pengalaman serta naluri politiknya yang tajam dan dingin, bermain golf sambil ngobrol berbagai isu politik menjadi tak terasa capai menapaki lapangan rumput hijau sekitar 7 km panjangnya. Sebagai pemain pemula yang baru mulai pegang stik lima bulan lalu, kemajuannya sangat mengesankan karena hampir setiap hari berlatih driving dengan pelatih profesional.

Dalam bermain golf sesungguhnya hanya ada dua prinsip atau tantangan, yaitu power untuk memukul bola agar terbang mencapai jarak yang diinginkan dan arah (direction) agar bola tepat mendekati titik lokasi yang dituju. Untuk menentukan jarak, pemain tinggal memilih stik atau club yang masing-masing sudah terukur, berapa jauh bola akan melayang selagi pukulannya benar.

Problem yang selalu dihadapi golfer, terlebih pemain baru, adalah memukul bola agar terbang lurus mendekati titik yang dituju. Dalam konteks inilah Saiful Mujani merasa kesal dan tertantang. Ayunan pukulannya sudah powerful dan jauh, tetapi bola meleset menyimpang sehingga jauh dari target. “Pukulannya mirip dengan arah reformasi politik,” katanya.

Mengapa? Dari segi power dan energi, kata Saiful, reformasi politik ini mendapat sumber kekuatan yang melimpah. Partisipasi dan harapan rakyat sangat tinggi. Jumlah parpol tak pernah surut dan tetap punya semangat tinggi. Instrumen lembaga-lembaga negara komplet, bahkan jumlah komisioner bermunculan, lembaga yang tidak dikenal semasa Orde Baru.

Dukungan dana pun meningkat baik yang bersumber dari APBN maupun partisipasi rakyat, terutama kalangan pengusaha. Tak kalah pentingnya adalah iklim kebebasan berpendapat yang difasilitasi media massa seperti televisi yang jumlahnya juga selalu bertambah.

Salah satu problem reformasi adalah tak mampu mengelola kekuatan dan semangat rakyat untuk mendekati target yang ditawarkan dan disepakati bersama rakyat. Tak ubahnya pukulan saya yang melesat jauh, tapi melenceng dari green dan hole. Alih-alih mendapatkan skor par, bogey pun hilang. Paling banter double atau tripple. Ibarat permainan golf, begitu bola sudah masuk zona green mendekati hole, yang diperlukan adalah soft power.

Mesti cermat, penuh perhitungan, tepat dalam membaca arah rumput dan kemiringan permukaan green karena pada zona green benarbenar diperlukan akurasi matematis. Jika itu pertandingan, persaingan kian ketat dan tajam meski tampak bersahabat. Begitulah politik, semakin mendekati pusat dan puncak kekuasaan, persaingan kian memerlukan soft skill dan soft power.

Ketika posisi bola di bawah 100 meter dari hole yang jadi sasaran akhir, soft skill , feeling habit, dan pengendalian emosi sangat ditekankan. Jika salah chipping dan puting, perjuangan panjang yang telah mengeluarkan tenaga akan sia-sia. Dalam konteks politik, pemilu bisa dianalogikan dengan tee off. Memukul bola sejauh dan selurus mungkin ke depan.

Tapi setelah mendekati green dan hole , ibarat politik sudah sampai di puncak kekuasaan, jika tidak fokus dan tidak punya determinasi, bola meleset. Putting sampai tiga kali di zona green adalah sebuah kegagalan yang menyesakkan. Demikianlah, pemerintahan Jokowi sudah memenangi pertarungan dan menggiring bola ke zona green . Tapi kelihatannya gagal dalam melakukan putting.

Skor par tidak tercapai, bogey hilang, yang diraih skor double dan tripple . Sebuah skor yang memalukan bagi pemain pro dengan handycap single. Ibarat golfer, siapa pun yang jadi presiden dan menteri mesti memiliki kompetensi untuk mengarahkan bola agar meraih par. Syukur-syukur birdie. Yang sekarang terjadi kekuatan dan legalitas politik kuat, tetapi jalannya tidak terarah. Ibarat bola sudah in the green, api sampai empat kali putting.

Dalam permainan golf, pemain akan merasa lelah dan kesal akibat kesalahan sendiri. Suasana yang mestinya ceria berubah jadi keluh kesah dan bahkan banyak yang mengumpat menyalahkan caddy. Sudah 17 tahun reformasi, rakyat mulailelahyangbisa berujung pada kemarahan. []

Koran SINDO, 1 Mei 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar