Optimislah Bersholawat!
Semua bebas berasumsi dengan hujjahnya masing-masing selama masih dalam batas normal,tidak sampai mengendorkan semangat dan keoptimisan para pelantun sholawat. Jangan sampai orang enggan bersholawat dan tidak optimis meraih keberkahan bacaan sholawat hanya karena tidak tahu maknanya, tidak bisa menghayati artinya, dan berbagai alasan tidak subtansial lainnya. Karena bagaimanapun juga proses menjadikan manusia, dalam hal ini santri, untuk jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada Baginda Rasulullah SAW itu lebih penting dan paling subtansial untuk dapat diterima, daripada mengoreksi haliyah para pelantun sholawat tanpa kontribusi aktif memberikan solusi yang membangun.
Keistimewaan Sholawat
Sayyid Hazim bin Zain al’asyiqin menyampaikan sebuah hadits tentang keistimewaan sholawat dalam kitabnya Miftahus Sa’adah,”Sebagian shohabat bertanya kepada Rosuullah SAW,”Yaa Rosuulullah, Allah bersholawat 10 kali kepada orang yang bersholawat kepada paduka 1 kali. Apakah itu khusus bagi orang yang bersholawat dengan kehadiran hati? Rasulullah menjawab,”tidak! bahkan itu bagi setiap orang yang bersholawat kepadaku dalam keadaan lalai (tidak disertai kehadiran hati), dan selain itu Allah akan memberinya pahala sebanyak gunung-gunung, para malaikatpun akan memohonkan ampunan baginya. Adapun bagi orang yang hatinya hadir dalam bersholawat kepadaku, maka tidak ada yang tahu kadar itu selain Allah.” Imam Ahlussunnah Abad 21, Al Muhaddits Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki dalam karyanya Labbaikallahumma Labbaik, menilai hadits tersebut shohih dalam periwayatannya.
Lebih ekstrim lagi tentang keistimewaan sholawat seperti disampaikan Syaikh Yusuf An Nabhani dalam Afdlolush Sholawat ‘ala Sayyidis Saadaat bahwa Imam Asy Syathibi dan As Sanusi memastikan adanya pahala yang diterima si pembaca sholawat meskipun dengan maksud pamer.
Lebih serius mengenai keistimewaan sholawat, Syaikh Ahmad Asrori al Ishaqi dalam risalahnya Al Muntakhobat, mengungkapkan mayoritas imam-imam thoriqah yang menjadi panutan menegaskan bahwa menyibukkan jiwa dengan bersholawat kepada Nabi SAW adalah penyebab terbukanya mata hati hamba yang paling besar dan menduduki tempatnya guru pembimbing sehingga,banyak sekali orang yang berma’rifat billah dengan perantara sholawat, padahal mereka tidak mempunyai guru pebimmbing. Hal ini seperti juga diungkapkan al Fasi dalam syarah ad Dalail. Tentunya ini hanya sebagian kecil dari sekian juta fadhilah sholawat, mengingat sangat istimewanya Rasuulullah SAW di hadapan Allah SWT.
Kontroversi Seputar Sholawat
Tidak luar biasa dan tidak sangat istimewa jika sholawat dan haliyah-haliyah pengamalannya tidak menimbulkan kontroversi. Mulai dari shighotnya, hingga cara membacanya. Semua laris dikritik, bahkan di ”keluarkan” dari pakem ‘aqidatuna ahlussunnah waljama’ah.
Kontroversi pertama tentang puja-puji kepada Rasuulullah SAW. Banyak shighot sholawat yang terkesan oleh sebagian kalangan sangat kebablasan dalam mengungkap pujian terhadap Nabi SAW. Diantaranya tentang kontroversi kaburnya pemahaman tentang konsep Nur Muhammad sebagai nuqthotitta’yini dan ashlattakwiini.
Dalam dunia kritik, teori yang mengatakan bahwa Nabi SAW adalah “asal” ataupun“alasan penciptaan” dan Nabi SAW sebagai “titik penentuan”, disimpulkan sebagai teori kelewat batas. Bahkan ada pula yang mengkritik hal ini sebagai langkah tasyabbuh pada kaum Nasrani yang melebih-lebihkan dalam memuji hingga pada puncaknya menuhankan Nabi Isa AS. Padahal sangat jelas bahwa antara pengagungan dan penuhanan adalah dua hal yang sangat jauh berbeda (Sayyid Muhammad al Maliki, dalam Mafahim Yajibu An Tushohhaha).
Ada segudang ulama yang menggunakan dan meyakini teori “kelewat batas” ini. Diantaranya al Barzanji pengarang Maulid Barzanji. Habib Umar bin Hafidz pengarang maulid kontemporer Dliyaul Lami’ dan juga Habib Ali Al Habsyi, shohibul maulid Simtudduror. Dalam Barzanji diungkapkan Huwa akhirul anbiyaa-i bi shirotihi wa awwaluhum bima’nah (Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi). Sedangkan Habib Umar dalam Dliyaul Lami’menyitir hadits tentang dialog Nabi SAW dengan seseorang, ”Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau bersabda,”Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.”
Habib Ali al Habsyi dalam Simthudduror mengutip hadits Abdurrozaq dari Jabir bin Abdullah al Anshori bahwasannya ia pernah bertanya,”Demi ayah dan ibuku yaa Rosuulallah,beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama diciptakan Allah sebelum yang lain. ”Maka jawab Rasuulullah ”Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan Nur nabimu, Muhammad dari Nur-Nya sebelum menciptakan yang lain.” Syaikh Ahmad Asrori al Ishaqi dalam Al Muntakhobat memaparkan hadits Jabir ini dengan lengkap, disertai syarah dari para ulama salaf, mentahqiqnya dan menyimpulkannya.
Beliau Al-Ishaqi, menyimpulkan bahwa Nabi SAW benar-benar makhluk yang pertama kali diciptakan Allah dan dengan perantara dan sababiah Beliau Nabi SAW terciptalah semua makhluk seluruh alam. Jadi jelaslah bukan sebuah kesalahan, kekeliruan, bahkan kesesatan tentang ungkapan nuqthotitta’yini dan ashlattakwini ada di belantika dunia Islam, khususnya jagad persholawatan. Jika masih ditanyakan apakah jika Nabi SAW tidak diciptakan maka alam dan seluruh makhluk tidak akan diciptakan oleh Allah? Ini jelas bukan pertanyaan yang bijak. Sebab dari hadits Abdurrozaq tadi telah jelas tercatat, asal komponen dari seluruh makhluk yang awal dan yang akhir adalah Nur Muhammad SAW.
Kotroversi ketiga mengenai cap Syi’ah pada potongan syair Barzanji, masyariqul amjad yaa Rasuulallah dan syair sholawat: bi Rosuulillahi wal badawi. Jika memang benar dikatakan hal ini syiah dari segi kecondongan syairnya yang cenderung mengarah pada pemujian terhadap ahlul bait dan keturunannya, pertanyaannya sekarang ialah,apakah ahlul bait dan keturunannya hanya milik orang syi’ah? Apakah hanya para Syi’i yang berhak memuji ahlul bait dan keturunannya? Padahal sudah sangat jelaslah antara kita dan syiah berbeda dalam segala hal, dan tidak pernah ada kesepakatan bersama antara kita dan syiah untuk menyamakan ideologi dan amaliyah. Dan kenapa lantas menjadi sebuah keharusan jika nama atau pujian pada ahlul bait atau keturunanya terdengar lalu disimpulkan bahwa itu pasti syiah? Ini jelas sebuah kecerobohan. Bukankah Allah sendiri memuliakan ahlul bait (QS.Al Ahzab:33)? Nabi SAW juga memuliakan ahlul bait dan keturunannya dengan sabda-Nya,"Khoirukum khoirukum li ahly min ba’dy"' (yang terbaik diantara kalian ialah yang terbaik perlakuannya terhadap ahlul baitku sesudahku). Apalagi kita, hamba-Nya dan ummat-Nya!
Kontroversi keempat adalah jika dikatakan oleh sebagian kalangan bahwa NU merupakan Syiah secara kultur, tentu hal ini keliru, dan sangat ceroboh. Jika dikatakan pembacaan maulid al Barzanji yang menjadi kebiasaan warga NU dicap sebagai dalil pembenar asusmsi terserbut. Tentu ini adalah sebuah sabotase kultural yang ada di tubuh NU. Kepada seluruh warga NU hendaknya berfikir jernih dan jangan mudah terpancing dengan isu ini. Sekalipun ini didengungkan oleh “Pembesar” NU, warga NU harus tetap kukuh memegang teguh aqidah dan syariah aswajanya.
Pertanyaan mendasar yang perlu bersama kita pahami adalah, apakah ada korelasi antara pemahaman orang berpengaruh di NU di tahun 2010 ini dengan kepribadian NU secara hakiki? Mana yang lebih identik dengan NU, antara qonun asasi, khutbah iftitah Hadlratusysyaikh Hasyim Asy’ari, para pendiri NU, dengan yang selain itu, ya katakanlah para “pembesar” NU kini? Ibaratnya jika di zaman sekarang ada seorang kiai yang terjerat skandal korupsi, apakah lantas sebuah tindakan yang benar jika yang disalahkan adalah agama Islam (agama yang didakwahkan oleh kiai tersebut)? Kiai koruptor adalah oknum, tidak berkorelasi positif dengan Islam.Yang benar, al Qur’an dan Sunnahlah sebagai sumber hukum Islam,adalah satu-satunya yang bisa diidentikan dengan Islam, bukan kiai, ustadz, santri, dan sebagainya. Apakah ada dalam al Quran dan sunnah ajaran tentang korupsi? Demikian halnya dengan NU. Bukan Ketua Umum tanfidziyah PBNU yang identik dengan NU, tetapi Qonun Asasi, khutbah iftitah Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari,dan para pencetus dan pendiri NU lah yang identik dengan NU. Dan perlu digaris bawahi, bahwa Hadlrotusysyaikh sendiri sebagai pilar identitas NU, dalam khutbah iftitahnya dengan tegas melarang warga NU berafiliasi dengan firqah di luar Asy’ariah Maturidiyah, termasuk dalam hal ini syiah zaidiyah (yang pelanggarannya relatif ringan),apalagi syiah-syiah yang lain. Justru orang-orang yang mendengung-dengungkan fitnah ini di kalangan NU perlu dipertanyakan kembali ke NU-annya. Jangan-jangan benar bahwa hal ini didengungkan oleh importir Syiah di tubuh NU?
Mendifinisikan cinta dalam prespektif keulamaaan,patut kiranya jika kita mengutip pendapat Syaikh Said Romadlon al Buthi, ulama besar Sunni abad ini. Menurut beliau, cinta adalah kebergantungan hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan di hati saat berada di dekatnya atau perasaan gelisah saat berada jauh darinya. (Abd Karim Mushthofa: 2010). Dari definisi tersebut pantaslah kiranya kalau saya katakan bahwa satu diantara dua hal yang paling subtansial dalam bersholawat adalah menggugah rasa cinta yang tulus kepada Nabi SAW. Hal subtansial lain yang paling utama dan yang harus disepakati tiada lain yakni penghambaan diri kepada Allah SWT dalam mengikuti perintah-Nya bersholawat atas Nabi SAW (QS.Al Ahzab:). Jadi,dalam bersholawat yang tanpa tahu artinya pun tentu semua orang dapat menilai bahwa itu sudah merupakan pengejawantahan cinta terhadap-Nya, sebab telah mencakup esensi “kerelaan”untuk bersholawat mengikuti perintah Allah SWT. (Abd Karim Mustofa: 2010). Belum lagi pembacaan sholawat yang sampai membuat ketagihan untuk terus melantunkannya lagi, lagi, dan lagi seperti “budaya populer santri” belakangan ini, bukankah bentuk implementasi dari ungkapan kerinduan untuk terus mendawamkan bacaan sholawat?
Satu lagi soal cinta mencintai, Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fathul Bari memaparkan penjelasan dari hadits kisah seorang badui yang menanyakan perihal datangnya kiamat kepada Baginda Nabi SAW. Alkisah,suatu saat seorang lelaki badui mendatangai Nabi SAW dan menanyakan datangnya kiamat.Nabi SAW pun balik bertanya, apa yang sebenarnya telah dipersiapkan untuk mengahadapi kiamat. Mendengar tanggapan Nabi SAW tersebut, si badui menjelaskan bahwa ia tidak mempersiapkan apapun termasuk amalan ibadah sunnah dan sebagainya, namun yang menjadi persiapannya untuk percaya diri menghadapi kiamat hanyalah cinta, cinta kepada Nabi SAW. Mendengar jawaban badui tersebut, Nabi SAW menegaskan kepadanya bahwa kelak ia akan bersama orang yang dicintainya. Dalam mensyarahi hadits shohih ini, al Asqolani menyatakan bahwa hasrat cinta si badui tersebut hanya terbatas pada rasa saja, tidak sampai pada derajat cinta dengan pembuktian nyata berupa pelaksanaan amaliyah fi’liyah. Subhaanalla, begitu mulianya Nabi SAW di hadapan Allah hingga perasaan cinta yang sebatas pekerjaan hati saja merupakan amalan mulia yang insyaaAllah berbalas mulia pula. Bisa disimpulkan disini bahwa rasa cinta kepada Nabi SAW bisa ditunjukkan dengan apapun bentuknya, bahkan tak mengecualikan pembacaan sholawat yang tak mengerti arti dan maksud sekalipun. Bahkan ketidak hadiran hati saat bersholawat pun telah ditegaskan dalam hadits sebelumnya masih bisa dijadikan wasilah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Maka, Jangan terburu-buru mengklaim para pelantun sholawat yang “tidak implementatif” dengan ungkapan cinta Rasulnya sebagai golongan orang-orang munafiq. Memang benarlah jika ada ulama yang mengatakan ketidaksesuaian ungkapan cinta kepada Nabi SAW dengan haliyah keseharian kita adalah bagian dari kemunafikan. Namun perlu diteliti lebih mendalam, apakah benar maksud ulama tentang fatwa munafik berlaku bagi pelanggar yang tidak bisa secara maksimal melaksanakan sunnah-sunnah-Nya ataukah berlaku umum, bagi semuanya baik pelanggar ringan maupun berat, yang maksimal dan tidak bisa maksimal sekalipun? Lantas, apa bedanya derajat kenabian dengan manusia biasa? Adakah orang yang bisa secara maksimal 100 persen bisa melaksanakan sunnah-sunnah-Nya? Kita perlu juga menyadari bahwa kita adalah manusia yang melekat pada sifat-sifat kebasyariyahan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ini perlu dicermati agar orang tidak phobia Optimislah Bersholawat!
*Penulis adalah Santri Asrama Mahasiswa dan Takhashush Ponpes Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta
Oleh: H Muhammad Kanzul Firdaus*
Setiap orang memiliki asumsi pribadi dalam memandang fenomena sholawat yang belakangan disebut sebagai budaya populer di kalangan santri. Ada yang berasumsi sebagai keberhasilan tarbiyah karena tertanamnya benih-benih kecintaan kepada Baginda Rasulullah SAW. Ada juga yang berasumsi, fenomena ini tak lebih dari gejala dinamis anak baru gede,yang dikaitkan dengan kaidah fiqh:irtikabu akhaffi dlororoin (Mengambil yang paling ringan risikonya-dari pada suka boy band, girl band, dangdut, pop, punk rock, dan sebagainya).
Semua bebas berasumsi dengan hujjahnya masing-masing selama masih dalam batas normal,tidak sampai mengendorkan semangat dan keoptimisan para pelantun sholawat. Jangan sampai orang enggan bersholawat dan tidak optimis meraih keberkahan bacaan sholawat hanya karena tidak tahu maknanya, tidak bisa menghayati artinya, dan berbagai alasan tidak subtansial lainnya. Karena bagaimanapun juga proses menjadikan manusia, dalam hal ini santri, untuk jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada Baginda Rasulullah SAW itu lebih penting dan paling subtansial untuk dapat diterima, daripada mengoreksi haliyah para pelantun sholawat tanpa kontribusi aktif memberikan solusi yang membangun.
Keistimewaan Sholawat
Sayyid Hazim bin Zain al’asyiqin menyampaikan sebuah hadits tentang keistimewaan sholawat dalam kitabnya Miftahus Sa’adah,”Sebagian shohabat bertanya kepada Rosuullah SAW,”Yaa Rosuulullah, Allah bersholawat 10 kali kepada orang yang bersholawat kepada paduka 1 kali. Apakah itu khusus bagi orang yang bersholawat dengan kehadiran hati? Rasulullah menjawab,”tidak! bahkan itu bagi setiap orang yang bersholawat kepadaku dalam keadaan lalai (tidak disertai kehadiran hati), dan selain itu Allah akan memberinya pahala sebanyak gunung-gunung, para malaikatpun akan memohonkan ampunan baginya. Adapun bagi orang yang hatinya hadir dalam bersholawat kepadaku, maka tidak ada yang tahu kadar itu selain Allah.” Imam Ahlussunnah Abad 21, Al Muhaddits Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki dalam karyanya Labbaikallahumma Labbaik, menilai hadits tersebut shohih dalam periwayatannya.
Lebih ekstrim lagi tentang keistimewaan sholawat seperti disampaikan Syaikh Yusuf An Nabhani dalam Afdlolush Sholawat ‘ala Sayyidis Saadaat bahwa Imam Asy Syathibi dan As Sanusi memastikan adanya pahala yang diterima si pembaca sholawat meskipun dengan maksud pamer.
Lebih serius mengenai keistimewaan sholawat, Syaikh Ahmad Asrori al Ishaqi dalam risalahnya Al Muntakhobat, mengungkapkan mayoritas imam-imam thoriqah yang menjadi panutan menegaskan bahwa menyibukkan jiwa dengan bersholawat kepada Nabi SAW adalah penyebab terbukanya mata hati hamba yang paling besar dan menduduki tempatnya guru pembimbing sehingga,banyak sekali orang yang berma’rifat billah dengan perantara sholawat, padahal mereka tidak mempunyai guru pebimmbing. Hal ini seperti juga diungkapkan al Fasi dalam syarah ad Dalail. Tentunya ini hanya sebagian kecil dari sekian juta fadhilah sholawat, mengingat sangat istimewanya Rasuulullah SAW di hadapan Allah SWT.
Kontroversi Seputar Sholawat
Tidak luar biasa dan tidak sangat istimewa jika sholawat dan haliyah-haliyah pengamalannya tidak menimbulkan kontroversi. Mulai dari shighotnya, hingga cara membacanya. Semua laris dikritik, bahkan di ”keluarkan” dari pakem ‘aqidatuna ahlussunnah waljama’ah.
Kontroversi pertama tentang puja-puji kepada Rasuulullah SAW. Banyak shighot sholawat yang terkesan oleh sebagian kalangan sangat kebablasan dalam mengungkap pujian terhadap Nabi SAW. Diantaranya tentang kontroversi kaburnya pemahaman tentang konsep Nur Muhammad sebagai nuqthotitta’yini dan ashlattakwiini.
Dalam dunia kritik, teori yang mengatakan bahwa Nabi SAW adalah “asal” ataupun“alasan penciptaan” dan Nabi SAW sebagai “titik penentuan”, disimpulkan sebagai teori kelewat batas. Bahkan ada pula yang mengkritik hal ini sebagai langkah tasyabbuh pada kaum Nasrani yang melebih-lebihkan dalam memuji hingga pada puncaknya menuhankan Nabi Isa AS. Padahal sangat jelas bahwa antara pengagungan dan penuhanan adalah dua hal yang sangat jauh berbeda (Sayyid Muhammad al Maliki, dalam Mafahim Yajibu An Tushohhaha).
Ada segudang ulama yang menggunakan dan meyakini teori “kelewat batas” ini. Diantaranya al Barzanji pengarang Maulid Barzanji. Habib Umar bin Hafidz pengarang maulid kontemporer Dliyaul Lami’ dan juga Habib Ali Al Habsyi, shohibul maulid Simtudduror. Dalam Barzanji diungkapkan Huwa akhirul anbiyaa-i bi shirotihi wa awwaluhum bima’nah (Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi). Sedangkan Habib Umar dalam Dliyaul Lami’menyitir hadits tentang dialog Nabi SAW dengan seseorang, ”Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau bersabda,”Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.”
Habib Ali al Habsyi dalam Simthudduror mengutip hadits Abdurrozaq dari Jabir bin Abdullah al Anshori bahwasannya ia pernah bertanya,”Demi ayah dan ibuku yaa Rosuulallah,beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama diciptakan Allah sebelum yang lain. ”Maka jawab Rasuulullah ”Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan Nur nabimu, Muhammad dari Nur-Nya sebelum menciptakan yang lain.” Syaikh Ahmad Asrori al Ishaqi dalam Al Muntakhobat memaparkan hadits Jabir ini dengan lengkap, disertai syarah dari para ulama salaf, mentahqiqnya dan menyimpulkannya.
Beliau Al-Ishaqi, menyimpulkan bahwa Nabi SAW benar-benar makhluk yang pertama kali diciptakan Allah dan dengan perantara dan sababiah Beliau Nabi SAW terciptalah semua makhluk seluruh alam. Jadi jelaslah bukan sebuah kesalahan, kekeliruan, bahkan kesesatan tentang ungkapan nuqthotitta’yini dan ashlattakwini ada di belantika dunia Islam, khususnya jagad persholawatan. Jika masih ditanyakan apakah jika Nabi SAW tidak diciptakan maka alam dan seluruh makhluk tidak akan diciptakan oleh Allah? Ini jelas bukan pertanyaan yang bijak. Sebab dari hadits Abdurrozaq tadi telah jelas tercatat, asal komponen dari seluruh makhluk yang awal dan yang akhir adalah Nur Muhammad SAW.
Kotroversi ketiga mengenai cap Syi’ah pada potongan syair Barzanji, masyariqul amjad yaa Rasuulallah dan syair sholawat: bi Rosuulillahi wal badawi. Jika memang benar dikatakan hal ini syiah dari segi kecondongan syairnya yang cenderung mengarah pada pemujian terhadap ahlul bait dan keturunannya, pertanyaannya sekarang ialah,apakah ahlul bait dan keturunannya hanya milik orang syi’ah? Apakah hanya para Syi’i yang berhak memuji ahlul bait dan keturunannya? Padahal sudah sangat jelaslah antara kita dan syiah berbeda dalam segala hal, dan tidak pernah ada kesepakatan bersama antara kita dan syiah untuk menyamakan ideologi dan amaliyah. Dan kenapa lantas menjadi sebuah keharusan jika nama atau pujian pada ahlul bait atau keturunanya terdengar lalu disimpulkan bahwa itu pasti syiah? Ini jelas sebuah kecerobohan. Bukankah Allah sendiri memuliakan ahlul bait (QS.Al Ahzab:33)? Nabi SAW juga memuliakan ahlul bait dan keturunannya dengan sabda-Nya,"Khoirukum khoirukum li ahly min ba’dy"' (yang terbaik diantara kalian ialah yang terbaik perlakuannya terhadap ahlul baitku sesudahku). Apalagi kita, hamba-Nya dan ummat-Nya!
Kontroversi keempat adalah jika dikatakan oleh sebagian kalangan bahwa NU merupakan Syiah secara kultur, tentu hal ini keliru, dan sangat ceroboh. Jika dikatakan pembacaan maulid al Barzanji yang menjadi kebiasaan warga NU dicap sebagai dalil pembenar asusmsi terserbut. Tentu ini adalah sebuah sabotase kultural yang ada di tubuh NU. Kepada seluruh warga NU hendaknya berfikir jernih dan jangan mudah terpancing dengan isu ini. Sekalipun ini didengungkan oleh “Pembesar” NU, warga NU harus tetap kukuh memegang teguh aqidah dan syariah aswajanya.
Pertanyaan mendasar yang perlu bersama kita pahami adalah, apakah ada korelasi antara pemahaman orang berpengaruh di NU di tahun 2010 ini dengan kepribadian NU secara hakiki? Mana yang lebih identik dengan NU, antara qonun asasi, khutbah iftitah Hadlratusysyaikh Hasyim Asy’ari, para pendiri NU, dengan yang selain itu, ya katakanlah para “pembesar” NU kini? Ibaratnya jika di zaman sekarang ada seorang kiai yang terjerat skandal korupsi, apakah lantas sebuah tindakan yang benar jika yang disalahkan adalah agama Islam (agama yang didakwahkan oleh kiai tersebut)? Kiai koruptor adalah oknum, tidak berkorelasi positif dengan Islam.Yang benar, al Qur’an dan Sunnahlah sebagai sumber hukum Islam,adalah satu-satunya yang bisa diidentikan dengan Islam, bukan kiai, ustadz, santri, dan sebagainya. Apakah ada dalam al Quran dan sunnah ajaran tentang korupsi? Demikian halnya dengan NU. Bukan Ketua Umum tanfidziyah PBNU yang identik dengan NU, tetapi Qonun Asasi, khutbah iftitah Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari,dan para pencetus dan pendiri NU lah yang identik dengan NU. Dan perlu digaris bawahi, bahwa Hadlrotusysyaikh sendiri sebagai pilar identitas NU, dalam khutbah iftitahnya dengan tegas melarang warga NU berafiliasi dengan firqah di luar Asy’ariah Maturidiyah, termasuk dalam hal ini syiah zaidiyah (yang pelanggarannya relatif ringan),apalagi syiah-syiah yang lain. Justru orang-orang yang mendengung-dengungkan fitnah ini di kalangan NU perlu dipertanyakan kembali ke NU-annya. Jangan-jangan benar bahwa hal ini didengungkan oleh importir Syiah di tubuh NU?
Kontroversi kelima mengenai ungkapan cinta Rosul para pelantun sholawat, apakah benar-benar implementatif? Jangan-jangan hanya klaim sepihak dan tidak terbukti di kehidupan nyata karena para pelantunnya sendiri jauh dari akhlak dan haliyah Nabi SAW?
Mendifinisikan cinta dalam prespektif keulamaaan,patut kiranya jika kita mengutip pendapat Syaikh Said Romadlon al Buthi, ulama besar Sunni abad ini. Menurut beliau, cinta adalah kebergantungan hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan di hati saat berada di dekatnya atau perasaan gelisah saat berada jauh darinya. (Abd Karim Mushthofa: 2010). Dari definisi tersebut pantaslah kiranya kalau saya katakan bahwa satu diantara dua hal yang paling subtansial dalam bersholawat adalah menggugah rasa cinta yang tulus kepada Nabi SAW. Hal subtansial lain yang paling utama dan yang harus disepakati tiada lain yakni penghambaan diri kepada Allah SWT dalam mengikuti perintah-Nya bersholawat atas Nabi SAW (QS.Al Ahzab:). Jadi,dalam bersholawat yang tanpa tahu artinya pun tentu semua orang dapat menilai bahwa itu sudah merupakan pengejawantahan cinta terhadap-Nya, sebab telah mencakup esensi “kerelaan”untuk bersholawat mengikuti perintah Allah SWT. (Abd Karim Mustofa: 2010). Belum lagi pembacaan sholawat yang sampai membuat ketagihan untuk terus melantunkannya lagi, lagi, dan lagi seperti “budaya populer santri” belakangan ini, bukankah bentuk implementasi dari ungkapan kerinduan untuk terus mendawamkan bacaan sholawat?
Satu lagi soal cinta mencintai, Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fathul Bari memaparkan penjelasan dari hadits kisah seorang badui yang menanyakan perihal datangnya kiamat kepada Baginda Nabi SAW. Alkisah,suatu saat seorang lelaki badui mendatangai Nabi SAW dan menanyakan datangnya kiamat.Nabi SAW pun balik bertanya, apa yang sebenarnya telah dipersiapkan untuk mengahadapi kiamat. Mendengar tanggapan Nabi SAW tersebut, si badui menjelaskan bahwa ia tidak mempersiapkan apapun termasuk amalan ibadah sunnah dan sebagainya, namun yang menjadi persiapannya untuk percaya diri menghadapi kiamat hanyalah cinta, cinta kepada Nabi SAW. Mendengar jawaban badui tersebut, Nabi SAW menegaskan kepadanya bahwa kelak ia akan bersama orang yang dicintainya. Dalam mensyarahi hadits shohih ini, al Asqolani menyatakan bahwa hasrat cinta si badui tersebut hanya terbatas pada rasa saja, tidak sampai pada derajat cinta dengan pembuktian nyata berupa pelaksanaan amaliyah fi’liyah. Subhaanalla, begitu mulianya Nabi SAW di hadapan Allah hingga perasaan cinta yang sebatas pekerjaan hati saja merupakan amalan mulia yang insyaaAllah berbalas mulia pula. Bisa disimpulkan disini bahwa rasa cinta kepada Nabi SAW bisa ditunjukkan dengan apapun bentuknya, bahkan tak mengecualikan pembacaan sholawat yang tak mengerti arti dan maksud sekalipun. Bahkan ketidak hadiran hati saat bersholawat pun telah ditegaskan dalam hadits sebelumnya masih bisa dijadikan wasilah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Maka, Jangan terburu-buru mengklaim para pelantun sholawat yang “tidak implementatif” dengan ungkapan cinta Rasulnya sebagai golongan orang-orang munafiq. Memang benarlah jika ada ulama yang mengatakan ketidaksesuaian ungkapan cinta kepada Nabi SAW dengan haliyah keseharian kita adalah bagian dari kemunafikan. Namun perlu diteliti lebih mendalam, apakah benar maksud ulama tentang fatwa munafik berlaku bagi pelanggar yang tidak bisa secara maksimal melaksanakan sunnah-sunnah-Nya ataukah berlaku umum, bagi semuanya baik pelanggar ringan maupun berat, yang maksimal dan tidak bisa maksimal sekalipun? Lantas, apa bedanya derajat kenabian dengan manusia biasa? Adakah orang yang bisa secara maksimal 100 persen bisa melaksanakan sunnah-sunnah-Nya? Kita perlu juga menyadari bahwa kita adalah manusia yang melekat pada sifat-sifat kebasyariyahan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ini perlu dicermati agar orang tidak phobia Optimislah Bersholawat!
Muhasabah
Bukan hal yang aneh jika amaliyah kaum nahdliyin laris kritik.Dari beragamnya amaliyah tersebut memang sangat patut dikritik sedalam-dalamnya karena dilihat dari perkembangannya banyak mengalami penyimpangan syariat dari yang ringan hingga yang mengarah pada kesyirikan. Namun perlu dipahami bahwa kaum nahdliyin sebagian adalah kaum awam yang maish labil dalam soal aqidah dan syari’atnya. Demikian juga dengan para santri pemula yang ada di pondok-pondok pesantren. Merekalah yang menurut saya adalah para mukallaf yang masih berjiwa mu’allaf. Masih kendo, masih dinamis, gampang ceklek, belum bisa dibebani dengan pemikiran-pemikiran berat, apalagi yang berhubungan dengan ranah aqidah dan syari’ah. Belum waktunya para santri pemula itu dibebani dengan hukum-hukum dari kitab-kitab "cap macan". Masih perlu dirangkul dengan pendekatan kejiwaan yang halus untuk berprosesnya menuju subtansi pemahaman dan pengamalan yang terbaik.
Bukan hal yang aneh jika amaliyah kaum nahdliyin laris kritik.Dari beragamnya amaliyah tersebut memang sangat patut dikritik sedalam-dalamnya karena dilihat dari perkembangannya banyak mengalami penyimpangan syariat dari yang ringan hingga yang mengarah pada kesyirikan. Namun perlu dipahami bahwa kaum nahdliyin sebagian adalah kaum awam yang maish labil dalam soal aqidah dan syari’atnya. Demikian juga dengan para santri pemula yang ada di pondok-pondok pesantren. Merekalah yang menurut saya adalah para mukallaf yang masih berjiwa mu’allaf. Masih kendo, masih dinamis, gampang ceklek, belum bisa dibebani dengan pemikiran-pemikiran berat, apalagi yang berhubungan dengan ranah aqidah dan syari’ah. Belum waktunya para santri pemula itu dibebani dengan hukum-hukum dari kitab-kitab "cap macan". Masih perlu dirangkul dengan pendekatan kejiwaan yang halus untuk berprosesnya menuju subtansi pemahaman dan pengamalan yang terbaik.
*Penulis adalah Santri Asrama Mahasiswa dan Takhashush Ponpes Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar