Jejak Kesempurnaan Sang Mujtahid
Judul Buku : Biografi Imam Syafi’i: Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid
Penulis : Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit : Zaman, Jakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : 312 halaman
Peresensi : Abdul Aziz MM
Khasanah intelektual Islam bagaikan bak sumur tanpa dasar. Tak akan pernah habis ditimba. Selain mewariskan karya-karya luar biasa yang menyumbang peradaban umat manusia (dari aspek keilmuan, teknologi, sastra, dan budaya), juga memberikan kita aneka artefak dan maintifak (hasil pemikiran, gagasan) yang mengagumkan.
Namun berbeda dengan warisan intelektual sekuler ataupun tradisi ilmiah dunia klasik, peradaban Islam yang berkibar lewat pesona ilmu, juga memancarkan teladan dan kharisma dari para individu yang menjadi cendekiawan di masa lalu. Agaknya, kaum cerdik pandai di dunia Islam masa lalu adalah intelektual paripurna. Teruji dalam teori, terbukti dalam budi pekerti.
Satu bukti dari sekian banyak ilmuan Muslim terkemuka adalah Imam Syafii. Kebanyakan kita mengenal tokoh ini sebagai satu dari empat Imam dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah, atau sebagai pakar ilmu fiqh semata. Padahal, Imam Syafii adalah intelektual ensiklopedik (wawasan sangat luas), sekaligus intelektual prolific (sangat ahli dalam bidang tertentu). Dari dunia ilmu, ia ahli sastra, balagah, ilmu hadis, bahasa Arab, bahkan juga kedokteran.
Menurut pengakuan salah satu ulama yang dipetik buku ini, setiap ucapan yang dikeluarkan Imam Syafii adalah bagaikan gula (halaman 106). Sampai-sampai, buku ini juga menyebut bahwa jika saja Imam Syafii tidak menjadi ahli Hadist maka mungkin ia akan menjadi ahli pengobatan (kedokteran).
Riwayat hidupnya yang ditulis dalam buku ini adalah jejak kesempurnaan. Meski demikian, buku ini tak hanya sebagai hegiografi (sejarah orang suci, yang melulu berisi puja-puji), melainkan ditulis berdasarkan aneka sumber, ratusan referensi, berbagai testimoni, dan juga karya-karya utama dari Sang Imam.
Perjalanan Sang Imam diulas tuntas. Sejak masih kecil Imam Syafii hijrah untuk belajar bahasa Arab di Hudzail, pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu di Mekah, kemudian berpetualangan ke Madinah, menjelajah ke Irak dan Mesir hingga di akhir pengabdian beliau. Gambaran perjalanan panjang dan petualangan tanpa titik inilah yang melegenda.
Buku berjudul Biografi Imam Syafi’I, Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujahid, yang ditulis Dr Tariq Suwaidan ini merekam jejak Imam Syafi’i pada tataran penguasaan ilmu yang sangat dalam. Ia juga ahli hadist dan pakar ilmu usul fiqh, sebagai bukti keilmuannya ia mempunyai karya-karya monumental yakni kitab Al Umm dan Ar Risalah. Dua karya ini masuk dalam kategori sebagai magnum opus atau masterpiece karya-karya yang terbilang istimewa.
Selain itu Imam Syafi’i mempunyai sebutan sebagai pembela hadist (Nashiru Hadis). Totalitas dan komitmen teguh untuk mengibarkan hadist dan Al Qur’an sebagai rujukan utama dalam memutuskan setiap perkara keumatan telah diperlihatkan Imam Syafi’i. Ia kemudian mengukuhkan pijakan dasarnya itu sebagai mazhab tersendiri yang kemudian memiliki pengaruh luas. Bahkan kini terbilang paling banyak pengikutnya di sejumlah negara, seperti di penduduk Mesir, Arab Saudi (bagian barat), Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, Yaman dan Bahrain.
Padahal, jika berkaca dari konteks sosio-historis di masa ketika Imam Syafi’I hidup (paruh akhir abad kedua hijriah), gagasan utamanya itu berada di luar mainstream (di luar arus utama). Sejarah mencatat, waktu itu adalah puncak intelektual Islam berkibar penuh pesona. Bermacam aliran (firqah) tumbuh menguat. Sejumlah ideologi termasuk Syiah, Sunni, Mu’tazilah, dan Khawarij bermunculan. Telah hadir pula para ulama dan imam besar.
Namun, berkat kecintaannya kepada ilmu dan hasil dari perjalanan panjang, Imam Syafi’I bisa memperoleh pengikut dan pengakuan dari banyak pihak. Ia tidak terjebak dalam dua arus utama dalam hal ilmu fiqh, yaitu condong kepada teks hadist semata, atau lebih berpijak pada nalar (ray’i). Imam Syafi’I berhasil mengkombinasikan antara fiqh Imam Hanafi (condong pada nalar) dan fiqh Imam Maliki (yang berat pada teks hadist). Pada akhirnya Ia melahirkan fiqh dengan metode baru yang disusunnya sendiri (halaman 156).
Meski begitu, kemunculannya dengan metode baru ini tak sekedar pelengkap. Lantaran kepakarannya sudah diakui oleh siapapun, termasuk oleh para Imam besar saat itu. Termasuk oleh Imam Hanafi, tak segan menyebutnya sebagai ensiklopedia berjalan.
Dari olahan Sang Imam inilah kemudian dunia Islam memperoleh mutiara hikmah tak berbanding. Corak pemikiran Sang Imam relatif moderat, adaptif, dan paling penting adalah ilmiah. Beliau mengokohkan prinsip dalam mempertimbangkan masalah keagamaan dengan berdasar pada Al Quran dan Hadis, Ijma Ulama, pendapat sahabat, dan qiyas. Inilah berbagai fakta dan informasi penting yang tersaji di buku ini. Sebuah karya yang sangat patut kita baca.
* Pengelola Renaisant Institute Tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar