Kembali ke Pesantren
Said Aqil Siroj, KETUA UMUM PBNU
Mengapa pesantren? Bisa ditebak, pertanyaan ini memang bisa memantik rasa penasaran banyak orang. Patut diingat, memperbincangkan pesantren berarti tidak bisa ”pukul rata” pada semua pesantren.
Dalam perkembangannya sekarang, pesantren memang perlu dipilah-pilah agar tidak rabun saat menatapnya. Masyarakat bisa saja ”jengah” melihat sepak terjang seperti pesantren di Bima yang berpapan nama Pesantren Umar bin Khaththab dan digerebek polisi karena menyimpan amunisi bom beberapa waktu lalu. Inilah tipe pesantren sarang radikalisme.
Dalam suasana merebaknya radikalisme agama, wajar jika kita terus ”siaga satu” meneropong kehadiran pesantren. Apalagi, saat ini ditengarai munculnya pesantren-pesantren ”dadakan” yang eksklusif. Kehadiran pesantren jenis ini tampaknya tengah menggempur kota hingga desa. Militansi yang berlebihan dari sekelompok Muslim dengan dalih ”dakwah” telah menjadikan pesantren bercita rasa menakutkan. Padahal, selama ini pesantren mempunyai citra teduh dan santun dalam menggembleng santri memahami ajaran Islam.
Kekayaan Budaya
Perlu untuk membaca kembali pesantren sebagai warisan kekayaan budaya Nusantara. Dalam sejumlah aspek, pesantren juga dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan karena peran sejarah yang dimainkannya.
Harapan ini tentu saja tidak terlalu meleset dari konstruksi budaya yang digariskan pendirinya. Selain diangankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius atau sekadar improvisasi lokal, pesantren juga dipersiapkan sebagai penggerak transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsa. Angan-angan tersebut justru diberangkatkan dari ”landasan tradisi” masyarakat setempat.
Sebagai hasil dari pergulatan kebudayaan yang kreatif antara tradisi kajian, sistem pendidikan, dan pola interaksi kiai-santri-masyarakat yang dibangun, pesantren akhirnya memiliki pola yang spesifik. Maka, pesantren pun menjadi subkultur dalam kultur bangsa Indonesia.
Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Pesantren bersemayam sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat berakar di masyarakat. Kiai pendiri sebuah pesantren akan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan masyarakat pun merasa memilikinya.
Dalam perkembangannya, pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat sekitar. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren bertransformasi total dalam sikap hidup tanpa mengorbankan identitas diri. Pola pertumbuhan pesantren menunjukkan kemampuan untuk berubah total itu.
Kebebasan relatif pondok pesantren dari intervensi eksternal dalam skala besar telah memberikan ruang untuk melakukan transformasi yang dibutuhkan bagi eksperimentasi dengan ide-ide dan gagasan para pemikir. Kebebasan relatif hasil dari keterampilan pesantren merespons metode konstruktif dari tantangan eksternal seperti sistem sekolah Barat adalah situasi otonom yang diberikan oleh pesantren dan cukup fleksibel dalam rangka memelopori konsep pendidikan baru. Dalam perspektif kebudayaan, melaksanakan peraturan pelengkap dengan kesadaran ideologis memberikan landasan kuat untuk transformasi sosial yang fundamental dan dibutuhkan oleh negara ke depan.
Sejarah membuktikan bahwa pesantren telah berperan sebagai agen ortodoksi Islam yang paling penting. Ini berarti bahwa pesantren lebih banyak memperhatikan bagaimana menjaga ajaran Islam dan tarikan akulturatif berbagai unsur sistem kepercayaan lokal atau asing. Soal kesinambungan menjadi sangat penting. Akibatnya, di samping menjadi ”makelar kebudayaan” (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai filter dari unsur-unsur luar yang dominan.
Menghindari ”Kalap Teks”
Kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi (marji’) nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
Segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual sulit bisa keluar dari kemelut ekstremitas.
Pesantren ”jenis kelamin” inilah yang membedakan dengan pesantren-pesantren ”kagetan” yang lebih menekankan pada upaya puritanisme radikal. Pesantren model ini berisiko menafikan peran khazanah klasik keislaman yang menyimpan jamak mutiara pemikiran ulama. Islam kemudian dipahami secara ”kering kerontang” oleh sebab pengajaran Islam dijauhkan dari tradisi estafeta pemikiran. Sebaliknya, pesantren yang mengakrabi pengajaran secara ”sistematis” keilmuan dengan senantiasa merujuk pada pemahaman ulama terdahulu tanpa meninggalkan semangat penggalian terhadap sumber primer keislaman, pesantren inilah yang mampu melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil). Pendidikan pesantren seperti ini tidak akan memproduksi sikap radikal yang berpunggungan dengan kultur azali moderat ajaran Islam.
Prinsip mengemban Islam yang ramah dan penuh kasih merupakan jihad suci. Pemikiran yang demikian sudah menjadi dasar pesantren dalam kurun waktu lama. Sedari awal berdirinya, pesantren sudah diarahkan sebagai komponen bagi pembaruan masyarakat. Dan, pembaruan yang diungkapkan oleh pesantren itu melalui proses yang lentur, tidak kaku atau menutup diri terhadap dunia luar. Inilah yang justru menumbuhkan sikap para santri untuk terbuka wawasannya, menerima, dan sekaligus kritis terhadap gejala-gejala baru yang muncul.
Ada tiga hal yang perlu dikokohkan pesantren. Pertama, tamadun, yaitu merancang bangun pesantren sebagai model pendidikan yang terbuka, baik secara keilmuan maupun kemasyarakatan. Kedua, tsaqafah, yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat agar kreatif-produktif sehingga pesantren mampu jadi agen perubahan yang bermanfaat dalam spektrum keindonesiaan. Ketiga, hadharah, membangun budaya. Di sini, pesantren diharapkan mampu melestarikan dan mengembangkan tradisi adiluhung di tengah pengaruh dahsyat globalisasi yang menyeragamkan budaya melalui produk teknologi.
Islam bukanlah agama akidah dan syariat semata. Persentase akidah dan syariat hanya 10 persen, sedangkan kandungan lain adalah peradaban akhlak dan budaya. Tugas umat Muslim tidak melulu mendoktrinkan akidah-syariat (halal-haram) atau melahirkan fatwa sesat-menyesatkan, tetapi juga bagaimana doktrin dengan kebenaran ilmiah, bukan dogma kaku akibat ”kalap teks”.
Prinsipnya adalah al-muhafadzah ’ala al qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Dengan demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam dengan visi mencetak manusia-manusia unggul yang inklusif dan kosmopolit. []
Sumber: KOMPAS, 10 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar