Melestarikan Tradisi Barzanji
Oleh: Hamidulloh Ibda
Memasuki bulan Rabi’ul Awal (bulan Maulid),
sebagian umat Islam selalu merayakan budaya barzanji atau orang jawa sering
menyebutnya barjanjen. Untuk menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW,
lantunan shawalat dan puji-pujian atas Nabi selalu ramai terdengar dari masjid dan
musholla. Dengan suara merdu, diiringi alunan nada rebana menjadikan pesona
keceriaan bulan Maulid.
Sebagai umat Islam yang cinta kepada Rasulullah, tentu akan mengekspresikannya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan barjanjen. Karena cinta kepada Nabi merupakan kewajiban bagi semua umat Islam.
Sejak tanggal 1-12 bulan Rabi’ul Awal, jutaan umat Islam selalu melakukan tradisi barzanji. Membaca kitab Barzanji merupakan tradisi sebagian umat Islam di Indonesia, baik yang di pedesaan maupun perkotaan selalu melestarikan tradisi tersebut.
Sejarah Barzanji
Al-Barzanji adalah kitab karangan “Syekh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-Barzanji”. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 M, dan wafat tahun 1766 M. Barzanji berasal dari nama suatu daerah di Kurdikistan Barzinj. Sebenarnya, kitab tersebut berjudul ‘Iqd al-jawahir (kalung permata), tapi kemudian lebih terkenal dengan sebutan al-barzanji.
Kitab tersebut, menceritakan tentang sejarah Nabi Muhammad yang mencakup silsilahnya, perjalanan hidup semasa kecil, remaja, menginjak dewasa hingga diangkat menjadi Rasul. Selain itu, juga menyebutkan sifat-sifat Rasul, keistimewaan-keistimewaan dan berbagai peristiwa yang bisa dijadikan teladan bagi umat manusia. Dengan bahasa dan sastra yang tinggi menjadikan kitab ini enak dibaca.
Di Indonesia, barzanji adalah kitab yang populer di kalangan orang Islam, terutama di Jawa. Kitab ini merupakan bacaan wajib pada acara-acara barjanjen atau diba’ yang merupakan acara rutin bagi sebagian kaum muslim di Indonesia.
Kontroversi Budaya Barzanji
Banyak dari kalangan umat Islam yang menolak tradisi barjanjen. Mereka menganggap bid’ah karena perbuatan tersebut tidak dilakukan Rasulallah SAW. Selain itu, barzanji hanyalah karya sastra, bukan menjadi rujukan sumber orang Islam seperti Al Qur’an dan Hadist. Jadi, mereka menolak dengan tegas terhadap tradisi tersebut.
Namun, sebagian pihak menganggap pembacaan Al-barzanji adalah refleksi kecintaan umat terhadap figur Nabi sebagai pemimpin agamanya sekaligus untuk meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Nabi berarti juga kecintaan, ketaatan kepada Allah SWT.
Menurut penulis, tradisi ini meskipun banyak yang setuju dan tidak setuju, harus ada pemahaman yang tajam. Pasalnya, hampir seluruh umat Islam di Indonesia melestarikan tradisi ini. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim menyatakan,”Barang siapa melakukan amalan tidak sebagaimana sunnahku, maka amalan itu tertolak”. Wallahu ‘alam bisshowab. Hanya Allah yang maha mengetahui.
Membumikan Barzanji
Selain dilakukan pada bulan Maulid, tradisi barzanji juga dilakukan kaum muslim pada setiap moment penting seperti pengajian, tasyakuran pernikahan, kelahiran anak, menjelang keberangkatan haji dan sebagainya.
Barjanjen, merupakan tradisi yang dilakukan sejak dulu, terutama bagi umat Islam warga Nahdliyyin (warga NU). Mereka membacanya pada tiap malam Jumat dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren di Jawa Tengah, barjanjen menjadi kegiatan wajib.
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi sepertinya sudah melembaga, bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian, dialog keagamaan, bakti sosial, hingga ritual-ritual yang sarat tradisi (lokal).
Di antaranya adalah: Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan. Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Gerebeg Mulud di Demak, Panjang Jimat di Kasultanan Cirebon, Mandi Barokah di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi barzanji, seharusnya menjadi spirit beragama bagi kaum muslim. Idealnya, barzanji bukan hanya sebagai rutinitas saja. Esensi Maulid Nabi adalah spirit sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Teladan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awal.
Berpijak dari itu, sudah saanya umat Islam melestarikan tradisi tersebut. Pasalnya, dewasa ini banyak orang islam yang beragama setengah hati, atau dengan kata lain “Islam KTP”. Secara logika, daripada melestarikan budaya barat, lebih baik melestarikan budaya islam sendiri, sebagai suatu wujud ketaatan hamba dengan Tuhannya.
Jadi, melihat tradisi barjanjen yang hanya menjadi rutinitas di bulan maulid, penulis lebih sepakat dan mendukung untuk melestarikan budaya barjanjen yang harus dijalankan setiap waktu, kapan pun dan dimana pun. Hal itu termasuk wujud bukti kecintaan kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.
Meskipun momen bulan maulid terasa sudah lewat, namun melestarikan tradisi barzanji merupakan sebuah keniscayaan bagi warga NU. Menjadi umat yang cinta Nabi Muhammad SAW, sudah saatnya membumikan tradisi ini sejak dini. Mau tidak mau, barzanji merupakan ciri khas warga NU. Jadi, melestarikan tradisi barzanji adalah harga mati.
* Penulis di bulletin NUsantara IAIN Walisongo, Takmir Musholla Nurul Falah Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar