Setiap Ayat Quran adalah
Penghormatan dan Pengagungan atas Nabi
Bismilahirrahmanirrahim
Walhamdulillah Wasshalatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihi Washahbihi
Waman Walaah amma ba'du…
Didengar dari seorang
Syaikh yang 'aliim dan salih – semoga Allah memeliharanya dengan pemeliharaan
yang terbaik – dalam suatu kesempatan bersamanya di suatu sore dan malam hari
di kota Damaskus yang terberkati:
"Tak ada satu
ayat pun dalam Qur'an Suci melainkan pasti ia berisi penghormatan (ta'zim) dan penghargaan
yang tinggi (tawqir)
atas Nabi sallAllahu 'alayhi
wasallam. Sebagai contoh, ketika kita membaca, "Wa man ahsanu qawlan mimman
da'aa ila-Allahi wa 'amila saalihan wa qaala innanii mina l-muslimiin"
"Siapakah yang lebih
baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri" (QS 41:33). Ayat ini mengacu pada Nabi (s),
karena ialah (yang memiliki) pembicaraan terbaik dan petunjuk terbaik, dan ia
pulalah Muslim pertama yang diciptakan (Allah) menurut sekelompok Ahl ul-Haqaiq (Shiddiqin).
Sebagai tambahan, Allah Ta'ala berfirman pula: "Inna akramakum 'inda-Laahi atqaakum"
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu" (QS. 49:13) dan telah dimafhumi
pula bahwa Nabi (s) –lah Yang Paling Bertaqwa sebagaimana beliau (s) sendiri
telah menjelaskan secara eksplisit dalam hadits beliau (s). Jadi, dari ini semua
kita bisa pahami bahwa beliau-lah ciptaan terbaik di Hadirat Allah SWT. Ketika
dalam hadits qudsi
dinyatakan: "Wahai
Anak-anak Adam, ketahuilah seandainya seluruh manusia di antara kalian dan
seluruh jinn, dan seluruh malaikat berkumpul menjadi satu dengan qalbu dari
manusia terbaik di antara kalian…", qalbu itu adalah qalbu Nabi Muhammad
(s)."
"Artinya, sesuai
dengan hal tersebut, maka setiap jama'ah atau majelis yang berkumpul untuk
melantunkan salawat dan salam atas Nabi (s) adalah pula suatu majelis Qur'aniy,
karena mereka mendedikasikan majelisnya bagi ia yang dipuji dalam ayat demi
ayat dalam Quran Suci."
"Maqam Ihsan adalah maqam
kedekatan kepada Nabi (s) menurut huruf dalam ayat Qur'an. Karena Allah Ta'ala
telah berfirman: "Inna
rahmat Allahi qaribun min al-muhsinin"- "Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. 7:56)
tanpa meletakkan qaribun
dalam bentuk femininnya (qariibatun)
sekalipun rahmah
adalah bentuk feminin (mu'annats),
karena dalam hakikatnya rahmah
yang disebut itu adalah Nabi (s), sebagaimana secara eksplisit disebut dalam
ayat: "wa ma arsalnaka
illa rahmatan lill`alamin"- "Dan tidaklah Kami mengutusmu
(Muhammad) melainkan sebagai rahmah bagi seluruh alam." (QS. 21:107)
"Para Nabi dan
Awliya' (kekasih Allah) serta mu'min (orang beriman) tidaklah mati dengan cara
seperti yang tertangkap oleh indera biasa, karena doktrin Ahl as-Sunna
menyatakan bahwa ruh tidaklah hancur atau lenyap, melainkan berpindah menuju
lain tempat dan memasuki suatu keadaan tak terlihat setelah sebelumnya
dibusanai dengan keterlihatan selama masa hidupnya di muka bumi. Saat kematian,
yang terjadi tidak lain adalah suatu perpindahan dari wujud barzakhi [makna literal
barzakh: perbatasan, red] yang satu ke bidang lain dari wujud barzakhi. Tidak pula
ruh-ruh tersebut terkungkung dalam suatu daerah dari kubur atau makam mereka,
melainkan sebagaimana Imam Malik berkata [dalam Muwatta']: "Telah sampai (diriwayatkan)
pada kami bahwa ruh-ruh Mu'min (orang-orang yang beriman) datang dan pergi
dengan bebas." Dan ini pun telah dikonfirmasi oleh huruf dan ayat dalam
Qur'an Agung dalam ayat: "farawhun
wa rayhanun wa jannatu na`im" (QS. 56:89) [yaitu "maka dia memperoleh rezki serta
surga kenikmatan."] karena akar kata dari rawh yaitu rawaha berarti untuk
melakukan perjalanan dan untuk pergi."
"Nabi (s) suatu
saat pernah terlihat oleh seorang awliya' di atap Al-Azhar di Mesir. Sang wali
berkata pada beliau (s): "Mereka mengatakan bahwa Anda telah mati."
Nabi (s) menjawab: "Semua dapat melihat diriku dan berbicara padaku
kecuali mereka yang terhijab." Dan para awliya' melihat, berbicara dengan,
mendengar, dan mencium bau Nabi (s). Artinya, adalah tidak benar untuk
mengatakan bahwa Nabi (s) telah wafat, namun yang lebih tepat adalah kita
katakan bahwa beliau telah meninggalkan keadaan terlihat, beliau telah terhijab
dari diri kita."
Tak
Satupun Tersembunyi dari Nabi (s)
"Lebih jauh,
Nabi (s) memiliki ilmu atas apa pun yang ada dan mengetahui alam semesta yang
tercipta ini dengan cara yang sama seperti seseorang mengetahui seluk beluk
kamar di mana ia duduk di dalamnya. Tak ada yang tersembunyi bagi beliau (s).
Ada dua ayat Qur'an Suci yang menegaskan hal ini, yang pertama adalah "Fa kayfa idzaa ji'na min kulli
ummatin bi-syahiidin wa ji'na bika 'alaa haa-ulaa-i syahiidan"
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)." (QS 4:41)
dan yang lain adalah "Wa
kadzaalika ja'alnaakum ummatan wasathan litakuunuu syuhadaa' 'alan-Naasi wa
yakuuna ar-Rasuulu 'alaykum syahiidan" "Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (yang adil
dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (QS 2:143) tak mungkin
pula Nabi (s) dipanggil sebagai seorang saksi atas apa yang tidak ia ketahui
atau tidak ia lihat. Kami telah sebutkan di sini ayat-ayat Quran dan bukannya
hadits, bahwa 'amal dan perbuatan Ummat ditunjukkan kepada Nabi (s) karena ada
segelintir orang yang menolak kenyataan ini. Dan bahkan mereka menolak
ayat-ayat ini pula. Dan ini adalah karena kebodohan (Jahl) mereka akan Qur'an
dan kebodohan (Jahl)
mereka akan Sunnah, dan disebabkan oleh kejahilan mereka akan Allah Ta'ala dan
Nabi-Nya (s).
Cahaya
para Awliya'
Salah seorang murid
dalam majelis berkata pada sang Syaikh: "Istri saya berkata pada saya:
Bagaimana mungkin, jika dirimu menghadiri begitu banyak majelis Salawat atas
Nabi (s), tapi tidak ada cahaya bersinar dari wajahmu?" Aku berkata pada
diriku sendiri: Ia benar, ini karena aku tidak tulus (sadiq). Sang Syaikh
bertutur:
"Semakin sabar
seorang Wali terhadap istrinya, semakin tinggi maqam-nya. Dan semakin sedikit cahaya-nya
nampak, semakin tinggi maqam-nya.
Sidi al-Sya'rani [Syaikh Ábdul Wahhab al-Sya'rani, seorang Wali tersohor dari
Mesir, ed.] bertanya pada Syaikhnya 'Ali al-Khawwass mengapa hal itu demikian dan
yang terakhir menjawab: "Jika cahaya seorang Muslim yang tak patuh
disingkapkan bagi semuanya untuk melihatnya, maka cahaya itu akan mengisi
segala sesuatunya yang terletak di antara bumi dan tujuh langit; dan jika
cahaya seorang Wali dari Awliya' disingkapkan, orang-orang akan lupa atas Allah
(terkesima atas keindahan cahaya tadi) dan tidak lagi menyembah-Nya. Tapi
cahaya itu disembunyikan, semata-mata karena rahmat dan kasih sayang bagi para
hamba Allah."
"Kesamaan
seorang wali di antara keluarganya adalah bagai seekor keledai lokal. Mereka
memukulnya, mereka membebaninya, mereka tidak menghormatinya. Namun, ketika
seekor keledai liar muncul, mereka berlari kepadanya untuk barakah. Sama seperti itu
pula, seorang wali tidak dihormati oleh kaumnya sendiri tetapi ketika ia pergi
keluar menemui kaum lainnya, mereka memberinya pengakuan."
"Salah seorang
awliya' – Sidi al-Rawwas – menjadi demikian jenuhnya atas pelecehan dari
kaumnya – ia berjalan dan mereka bahkan tidak lagi membalas salamnya – ia pun
meninggalkan kotanya dan berkelana. Ia berhenti pada Maqam dari Sidi Ahmad
al-Sayyad. Di sana ia salat dan beristirahat. Kemudian ia melihat seseorang
datang dan ilham datang ke kalbunya bahwa orang tersebut adalah al-Khidr (as).
Orang itu salat dua raka'at dan kemudian duduk di samping al-Rawwas. Al-Rawwas
menceritakan kesulitannya. Orang tadi menjawab dengan mengutip suatu ayat
Qu'ran: "Wa man
nu'ammir-hu nunakkis-hu fi-l khalqi" "Dan barangsiapa
yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan mereka kepada
kejadian(nya). (membuatnya kembali menjadi lemah setelah kuat)" (QS.
36:68). Al-Rawwas berkata: "Aku memahami makna tersembunyinya dalam lubuk
batinku yang terdalam." Bermakna: Siapa pun yang telah diangkat mencapai
kedudukan-kedudukan yang tinggi secara batiniah, akan mendapatkan perlakuan
buruk secara lahiriah."
"Mereka yang
memiliki suatu rahasia spiritual dan menempatkan diri mereka dalam pandangan
orang-orang yang memiliki Wilayah (Kewalian) akan dipenuhi dengan kekuatan
spiritual yang dengannya mereka mengalirkan rahmah dan kasih sayang ke seluruh
benda dan makhluq termasuk malaikat, jinn, batu-batuan, hewan, dan tanaman.
Dus, ketika murid dari seorang wali diundang ke suatu tempat mana pun ia pun
harus pergi untuk memenuhi kewajibannya terhadap makhluq-makhluq yang mendiami
tempat itu, mulai dari malaikat hingga batu-batu jalanan, karena mereka pun
memiliki hak untuk mendapat bagian dari cahayanya. Dan ini semua datang dari
Nabi (s) karena beliau adalah Kasih Sayang (Rahmah)
bagi seluruh alam dan tidak hanya bagi manusia dan jinn."
"Suatu saat
seorang laki-laki keluar dari khalwah-nya, saat mana awliya' menyimpan
cahaya-cahaya dalam kalbunya. Ketika ia keluar, pandangannya jatuh pada seekor
anjing. Karena pandangan itu pula, anjing tersebut menjadi sultan dari para
anjing zaman itu. Kapan pun sang Sultan Anjing itu berdiri, mereka (para anjing
lainnya) pun berdiri. Ke mana pun ia melangkahkan kakinya, mereka mengikutinya.
Bagaimana pula dengan manusia yang haus akan curahan-curahan spiritual?"
Dan salawat serta
salam atas Nabi Allah dan atas keluarganya, sahabatnya dan
pengikut-pengikutnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar