Selasa, 20 Januari 2015

Kang Sobary: Para Kekasih Pujaan Media



Para Kekasih Pujaan Media
Oleh: Mohamad Sobary

Kalau kita perhatikan dengan saksama, mungkin kira-kira sejak tahun 1980-an ada orang-orang yang mendapat perhatian agak istimewa dari media kita. Mereka kelihatan begitu menarik bagi media.

Sering mereka menjadi sumber informasi mengenai politik, kepemudaan, dunia kampus, dan masa depan bangsa. Ini semua terasa betul bahwa agaknya idealisme politik media sendiri sesuai dengan pemikiran mereka. Kelihatannya, idealisme media ada pula di dalam sikap dan wawasan politik mereka.

Dalam pengertian tertentu sebenarnya, media sedang mencoba mengetes idealisme mereka sendiri melalui tokoh-tokoh ini. Ada suatu proyek politik mengenai pemuda, kebebasan ekspresi dan masa depan bangsa. Kita memahami hal ini sebagai ungkapan suasana sumpek di bawah rezim Orde Baru yang tak memberi sama sekali kesempatan pada masyarakat, termasuk media, untuk bernapas agak leluasa di dalam politik.

Termasuk politik kepemudaan yang diberangus menteri pendidikan dan kebudayaan, yang ganasnya bukan main terhadap pemuda dan mahasiswa. Media yang baik hati, dan yang berpikir agak jauh ke depan mengenai demokrasi dan kebebasan warga masyarakat, termasuk kebebasan mimbar akademik, tidak tinggal diam.

Media bersedia membuang banyak waktu berpikir tentang masa depan, mengeluarkan dana dan mencari tokoh-tokoh yang bisa bersuara, seperti suara aspirasi media sendiri. Diskusi, pertemuan informal, seminar dan begitu banyak forum dibentuk. Para tokoh media tadi diundang dan diminta berbicara.

Laporan mengenai diskusi, pertemuan informal dan seminar, serta berbagai macam forum itu ditulis di ruang khusus, dengan ulasan serius. Jangan lupa, forum-forum tadi juga melibatkan para tokoh lain, para ilmuwan kita di berbagai bidang, untuk memperkuat pemikiran tokoh-tokoh utama, tamu utama, sumber informasi utama, yaitu para kekasih pujaan media tadi.

Atas nama dan demi aspirasi kultural masyarakat, yang juga aspirasi media sendiri, muncul suatu corak pemberitaan yang menggambarkan kehausan kita, juga kehausan media, akan perlunya suatu ”public sphere ” di dalam masyarakat kita. Ini merupakan suatu pencarian, boleh juga kerinduan, di kalangan kelas menengah kita pada tahun 1980-an tadi.

Gejala kegelisahan itu sudah disuarakan media. Dan ditampilkan secara khusus, dengan berbagai cara. Laporan-laporan media memperlihatkan gerak maju, di jalan sempit dan berbahaya itu. Dan sekali lagi, media yang baik, yang merasa memiliki tanggung jawab sosial, pelan-pelan, dan sangat berhati- hati, berani mengambil risiko.

Tak jarang media ditelepon oleh pusat kekuasaan di bidang politik dan keamanan, dengan teguran keras, dengan gertak, dan disertai ancaman seperlunya, agar suatu berita, atau suatu laporan diskusi politik tak disiarkan. Tak jarang ancaman itu bahkan melampaui batas keperluan.

Jadi jelas betul kita rasakan, sikap ”overakting ” kalangan militer, yang hendak memperlihatkan bahwa mereka lebih patriotik, dan lebih heroik dibanding siapa pun di bawah langit dan di atas bumi pertiwi kita ini. Media ”manut” saja. Tapi itu bukan tanda takluk. Media, demi aspirasi kultural dan citacita masyarakat mengenai perlukan suatu ruang publik tadi, harus pura-pura tuli.

Ada hal yang didengar. Tapi banyak hal yang seolah tak didengar. Berita, tulisan atau ulasan khusus, esai,dan reportase yang nakal, sejauh itu memiliki kaitan dan napas demokrasi, diterbitkan, untuk siap menerima telepon dari ”yang berkuasa” di negeri ini. Telepon itu kadang datang, dengan ancaman dan aneka corak kekerasan. Tetapi kadang sama sekali tak terjadi apa-apa.

Kita menduga, aparat keamanan, yang merasa paling memiliki negeri ini, saat itu mungkin sedang tidur. Tak mengherankan tokohtokoh yang dipuja media tadi, berbicara lebih gencar. Ada di sana suatu semangat gerilya dan usaha mengisi kesempatan.

Mumpung aparat keamanan sedang tidur, mumpung kesempatan- kesempatan terbuka, gerilya media dilancarkan dengan penuh tanggung jawab, yang tak kalah penting, dan tak mungkin kalah mutu politik dan kemanusiaannya dibanding semangat heroik aparat keamanan.

Dekade 1980-an itu tadi bergulir terus menjadi tahun 1990- an, tahun yang lebih aman secara politik. Para kekasih pujaan media tadi hilang lenyap tanpa jejak, entah ke mana. Pelan-pelan, kita temukan, mereka sudah tak lagi punya gairah hidup seperti pada tahun 1980-an lalu idealisme mereka sudah pupus. Media tak bisa bekerja sama dengan mereka.

Dalam arti tertentu mereka, yang selama itu menjadi kekasih pujaan media, sudah tak bisa lagi diajak berpikir bersama, demi kepentingan politik yang dibayangkan bakal penting buat masa depan kita. Idealisme mati muda. Sebetulnya ini tak mengejutkan kita.

Para tokoh mahasiswa, yang disebut tokoh Angkatan 66, dulu memberi mereka pelajaran politik penting: berjuang tak mungkin selamanya. Ada masa ketika pejuang harus menikmati kemewahan, untuk tak lagi berjuang. Ada yang menikmati kemewahan karena posisi-posisi politik, bisnis, dan kekuasaan lain, telah mereka raih.

Dalam masa sesudah hasil perjuangan ”diraih”, buat apa lagi berjuang? Kira-kira para tokoh tahun 1980-anj tadi, yang belum tua, dan masih layak disebut muda, menjadi lebih tak sabar lagi. Mereka, sekali lagi, lenyap dalam kegelapan struktur politik-ekonomi negeri ini.

Masing-masing merasa sudah saatnya menikmati hasil perjuangan. Hasil? Betapa jemawa. Siapa bisa kasih bukti bahwa apa yang terjadi di dalam tatanan politik yang sudah berubah pada tahun 1990-an itu merupakan hasil perjuangan para tokoh itu? Apakah mereka mengira, yang berjuang pada tahun 1980-an itu hanyalah mereka yang masuk media tadi?

Apakah perubahan tatanan politik, yang dahulunya otoriter, dan menjadi lebih demokratis itu hanya merupakan hasil perjuangan mereka sendiri? Dari mana rumusan pemikiran tentang ”saatnya” menikmati hasil perjuangan itu? Hasil perjuangan siapa? Hak apa, dan dari mana datangnya, yang mereka anggap hasil perjuangan itu? Kita tidak tahu. Tapi kita tahu mereka sudah lenyap dari pandangan. Masingmasing sudah menguburkan diri di dalam wilayah nyaman yang mereka incar sejak lama.

Dan kita tahu, rupanya, yang selama ini disebut perjuangan itu ialah masa muda, masa menganggur, masa belum punya pekerjaan, dan masa itu mereka isi dengan kegiatan-kegiatan berbau politik, dan ketika tatanan politik berubah, mereka merasa sudah sukses.

Sekali lagi, masa muda, masa belum punya pekerjaan, masa menganggur, masa berdiskusi, dianggap masa perjuangan. Ketika mereka menemukan momentum ekonomi dan politik yang bisa dan bersedia mengakomodasi mereka dengan baik, masa itu disebut menikmati hasil perjuangan? Media ditinggal sendirian.

Para kekasih pujaan media itu juga kekasih pujaan sontoloyo, yang juga berkhianat, seperti kekasih dalam roman picisan, yang minggat begitu saja ketika bertemu kekasih baru, yang serba lebih, serba menarik, dibanding kekasih lama.

Kita tidak tahu mengapa. Apakah mereka memang sontoloyo? Ataukah media yang sangat naif memandang manusia lain. Kita tidak tahu. []

Koran SINDO, Selasa, 13 Januari 2015
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar