Lokomotif
Kedua yang Juga Sudah Tersedia
Catatan
Dahlan Iskan untuk Aceh (2)
21
Desember 2014
Dari 12
tahun berpengalaman mengurus barongsai, baru bulan lalu saya menemukan keunikan
yang satu ini. Dan kekhasan itu hanya terjadi di Aceh: acara barongsai di Aceh
hari itu didahului dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran.
Marilah
kita cari lokomotif kedua. Bulan lalu saya juga ke Banda Aceh. Untuk melantik
pengurus daerah Barongsai Aceh. Sudah 12 tahun lebih menjadi ketua umum pusat
organisasi barongsai. Sejak namanya masih Persobarin (Persatuan Seni dan
Olahraga Barongsai Indonesia) sampai sekarang menjadi FOBI (Federasi Olahraga
Barongsai Indonesia). Sejak barongsai masih dilarang tampil di depan umum,
sampai sekarang ini FOBI sudah resmi menjadi anggota KONI.
Dari 12
tahun berpengalaman mengurus barongsai, baru bulan lalu saya menemukan keunikan
yang satu ini. Dan kekhasan itu hanya terjadi di Aceh: acara barongsai di Aceh
hari itu didahului dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Acara juga dibuka
dengan doa khusu’ secara Islam. Bahkan hanya di Aceh ini pertunjukan liong
(tari naga), dikombinasikan dengan tari daerah Aceh yang sama-sama dinamisnya.
Sangat menarik kolaborasi pertunjukan yang saya lihat malam itu.
“Saya
memang lebih bangga menyebut diri sebagai orang Aceh,” ujar Kho Khie Siong,
Ketua FOBI Aceh yang sehari-hari menjadi pengusaha asuransi itu. A-Khie, nama
panggilannya, adalah juga ketua organisasi suku Gek, salah satu suku dalam
lingkungan masyarakat Tionghoa. “Bahasa mandarin pun saya sudah tidak bisa. Pak
Dahlan malah lebih pandai,” katanya sambil mengarahkan jari ke saya. Kalau ada
anak muda Aceh yang bertanya apakah dirinya Tionghoa, A-Khie sambil bergurau
selalu balik bertanya: “kamu umur berapa? Saya lebih banyak kale pajoh asam
sunti Aceh dari kamu,” guraunya.
Pun,
penabuh genderang barongsai di Aceh sudah campuran. Hanya beberapa yang anak
Tionghoa. Lebih banyak pribuminya. Bahkan ada yang pakai jilbab. Ini sih memang
sudah menjadi gejala di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur, misalnya, banyak
pemain barongsai dari suku Madura atau Jawa.
Mungkin
masyarakat Tionghoa Aceh yang fanatik ke-Acehannya seperti A-Khie bisa ikut
diminta membantu menciptakan salah satu dari lima lokomotif itu. Kelenteng,
barongasai, dan kolaborasi dengan tari daerah, bisa dikemas yang jitu. Yang
akan bisa ikut menarik gerbong wisata di Aceh. Terutama wisatawan suku Tionghoa
dari Penang, Kuala Lumpur dan Malaka. Toh wisatawan Tionghoa dari daerah-daerah
di Malaysia tersebut sudah sangat familiar dengan adat istiadat melayu dan
kebiasaan dalam masyarakat Islam. Mereka tidak akan kaget menemukan Aceh yang
sangat Islami. Kelak wisatawan Tionghoa dari Malaysia itu yang akan jadi corong
Aceh untuk menarik wisatawan Tionghoa dari negara yang lebih jauh seperti
Hongkong, Taiwan dan Tiongkok.
Itulah
lokomotif kedua yang bisa disiapkan dengan semangat kebersamaan.
Lokomotif
kedua itulah yang saya pikirkan menjelang tidur di rumah Cipta Makmur, di Jalan
xxxxxx Banda Aceh, Kamis malam lalu. Minum kopi Solong dan makan durian Aceh
tidak membuat saya sulit tidur. Mata memang sudah mengantuk. Maklum sudah jam
00.00.
Malam itu
saya tidur 4 jam. Meski di Aceh waktu subuhnya setelah jam 05.00 tapi kebiasaan
bangun jam 04.00 terbawa ke Aceh.
Begitu
bangun kami langsung siap-siap ke Masjid Raya untuk sholat subuh. Ceramah ba’da
subuh yang bertemakan aqidah yang disampaikan ustadz Drs H. Karim Syech MA,
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Banda Aceh, sangat menarik. Saya
mengikutinya sampai selesai. Terutama ketika beliau menguraikan perayaan tahun
baru dan Natal. Dari masjid itu kami langsung berolahraga. Jalan cepat keliling
pusat kota. “Kenapa jalannya begitu cepat pak Dahlan?,” tanya Mirza.
Lalu saya
jelaskan, apa itu definisi olahraga. “Olahraga adalah gerak tubuh yang membuat
jantung berdetak minimum 115 kali, selama 15 menit terus menerus”. Di situ ada
unsur gerak tubuh, ada unsur detak jantung, ada unsur 15 menit, dan ada unsur
terus menerus. Memang bisa saja ada orang yang jantungnya berdetak 115 kali
tanpa tubuhnya bergerak. Tapi itu pasti bukan karena olahraga. Itu karena
kaget, misalnya.
Jalan
cepat yang benar itu juga tidak boleh sebentar-sebentar berhenti. Detak jantung
yang sudah mencapai 115 kali bisa turun lagi. Maka berjalan itu harus cepat.
Tidak usah lama. Cukup 15 menit. Asal jangan berhenti atau menurunkan kecepatan
sama sekali.
Bagi aaya
jalan santai itu bukan olahraga. Lalu, apakah jalan santai ramai-ramai itu
jelek? Tidak. Itu bagus juga. Tapi kategorinya bukan olah raga, melainkan
rekreasi. Pagi itu, saya, Mirza, Cipta dan Fuad benar-benar berjalan cepat,
kira-kira 6 km/jam. Terus menerus. Selama 15 menit. Kok ya tepat, ujung akhir
jalan cepat itu di lokasi yang sangat menyenangkan: warung nasi guri pak
Rasyid. Makanan khas Aceh kembali menggoda saya: nasi guri daging, dendeng
Aceh, bergedel dan rombongannya.
Setelah
kenyang, kami pun kembali ke rumah Cipta: mandi. Lalu kami ke sebuah kantor
yang belum pernah saya kunjungi: kantor harian Rakyat Aceh. Inilah untuk
pertama kalinya saya ke kantor Rakyat Aceh. Alamatnya pun saya tidak tahu.
Mirza sampai harus bertanya-tanya di mana lokasi kantor Rakyat Aceh. Saya
pernah ke lokasi itu, hampir 10 tahun lalu, tapi ketika tanahnya masih milik
orang lain. Saya ke situ untuk membelinya.
Sejak itu
saya tidak pernah tahu apakah jadi dibeli atau tidak. Kalau jadi, apakah sudah
dibangun atau belum. Ternyata di lokasi itu kini sudah bediri bangunan kantor
dan percetakan harian Rakyat Aceh. Hanya pertamanannya yang masih belum
disentuh. Saya sendiri tidak mengenali lagi lokasi itu. Dulu, rasanya jauh
sekali dari pusat kota. Dan tersembunyi di jalan kecil. Sekarang, sudah ada
jalan aspal dua arah di depannya. Persis berhadapan dengan gedung xxxxxxxx.
Selama
menjabat Dirut PLN/menteri BUMN saya memang sering ke Aceh. Tapi tidak mau ke
kantor Rakyat Aceh. Kurang sopan. Kok masih ke kantor perusahaannya sendiri.
Tapi karena kini sudah “merdeka” saya ingin bertemu teman-teman di Rakyat Aceh.
Memang saya tidak memberi tahu kedatangan saya ini, tapi dengan cepat
teman-teman Rakyat Aceh berkumpul. Saya mendapat info bahwa enam bulan terakhir
ini Rakyat Aceh mengalami kemajuan yang pesat. Terutama setelah koran ini
dicetak di Banda Aceh, dengan mendatangkan mesin cetak yang berwarna.
Alhamdulillah.
Dari
Rakyat Aceh inilah saya mengunjungi salah satu obyek yang mungkin bisa menjadi
lokomotif ketiga dari lima lokomotip yang diperlukan Aceh untuk mensukseskan
wisatanya. []
(Bersambung)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar