The
Politics of Kissing Hands
Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Seorang
pembaca harian ini dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang
bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya — sejak beberapa bulan yang
lalu menuntut saya agar menuliskan lewat rubrik ini suatu masalah yang ia
sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting,
dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.
Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga
sangat concern terhadap soal ini, terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang
khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt sendiri — sepengetahuan saya —
soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh
hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.
Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal
mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan
acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang
bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan
prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.
Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia
memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa
diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara
Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu malaikat
menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu — dari
“cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu
pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan
kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari
kehinaan dan kesengsaraan.
Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun
kosakata yang sama.
Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan
penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi
Qur’aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa
dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif,
dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding
keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan
bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi
“cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki “tembok
statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang
mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat,
sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih
rendah dibanding iblis dan setan.
Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah regenerasi” —
maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas
alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak kemarin sore” kok mau sok memimpin.
Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki
sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi
khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan,
sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika
diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?
Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah
“pengembaraan ke cakrawala kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang, waktu
dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib menghormati.
Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses memposisikan diri untuk
dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke
manapun mereka pergi.
Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja
atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru
menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki
dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis —
berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.
Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh
cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu
tempat berdiri nilai — yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati
oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa
juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas
istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang ‘alim
— sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat
untuk selalu sowan kepada umara.
Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan
kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat
rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu
retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan
dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.
Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka
selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya
di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium
punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak
cerita mengenai ‘kesombongan’ ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena
derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan
dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak
ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana
penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa
menghadap penguasa.
Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa
kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama
kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah
simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama.
Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan,
keamanan politik praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi — meskipun
sekedar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.
Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah
Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa mereka adalah
ulama. []
Pernah dimuat di Keranjang Sampah Harian Umum Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar