Zakat Harta Simpanan dan
Penyalurannya
Pertanyaan:
Saya ingin mengeluarkan zakat maal dari uang
simpanan saya yang insyaAllah sudah sampai nisab dan haulnya. Apakah boleh saya
berikan dalam bentuk sembako kepada yang berhak menerimanya ataukah harus
berwujud uang?
Seandainya boleh, manakah yang lebih afdhal
diantara keduanya dan adakah dalilnya? Mohon pencerahannya pak Ustad supaya
kami mantap hati dalam pengamalannya. Semoga pencerahannya bisa menjadi ilmu
yang bermanfaat bagi saya dan menjadi simpanan pahala yang berlimpah bagi Pak
Ustad. Terimakasih. Wassalamu’alakum Wr. Wb.
(Muhidin)
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah Swt. Kami memberikan apresiasi yang luar biasa atas kesadaran Bapak dalam
membayar zakat, yang tentunya itu lahir dari keimanan yang kuat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai soal
boleh atau tidaknya membayar zakat uang atau emas dengan harta atau benda lain
yang senilainya (qimah), atau bukan dari jenisnya. Misalnya zakat disalurkan
dalam bentuk sembako. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada yang mengatakan boleh.
Perselisihan pendapat ini lahir pada dasarnya
karena perbedaan dalam melihat hakikat dari makna zakat itu sendiri. Kalangan
yang tidak memperbolehkannya lebih cendrung memaknai zakat sebagai bentuk
ibadah semata dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karenanya, harus
mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan dalam nash.
Sedang kalangan yang memperbolehkan cenderung
melihat zakat sebagai hak yang ditetapkan dalam harta orang-orang kaya untuk
kalangan fakir-miskin. Dengan kata lain, zakat adalah hak material (haqqun
maliyyun) yang diperuntukkan untuk menutupi kekurangan kalangan fakir-miskin.
Karenanya, menurut mereka diperbolehkan membayar zakat dengan yang senilainya.
Salah satu dalil mereka adalah apa yang dilakukan Mu’adz bin Jabal Ra kepada
penduduk Yaman:
وَقَالَ
طَاوُسٌ: قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ اليَمَنِ ائْتُونِى
بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ
وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ --رواه البخاري
“Thawus berkata, bahwa Mu’ad bin Jabal
berkata kepada penduduk Yaman: Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian-
khamish (pakaian yang panjangnya sekitar lima dira’) atau baju lainnya
sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Dan hal tersebut lebih mudah bagi
kalian dan lebih baik bagi para shahabat Nabi saw di Madinah” (H.R. Bukhari)
Dalam pandangan mereka, dalil di atas
menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat sesuatu yang senilai dengannya, bukan
dengan gandum dan jagung sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
Hemat kami, kedua pandangan yang saling
bertentangan yang lahir dari cara pandangan yang berbeda dalam melihat zakat
tidak perlu dipertentangkan dengan tajam. Sebab, zakat pada dasarnya mengandung
dua pengertian sekaligus. Yaitu disamping sebagai bentuk ibadah kepada Allah,
zakat juga mengandung pengertian sebagai hak yang ditetapkan dalam harta
orang-orang kaya untuk kalangan fakir-miskin.
Karena itu, maka kedua pendapat di atas bisa
digunakan sepanjang membawa kemaslahatan. Artinya, kita bisa memilih pendapat
yang pertama jika memang hal itu dianggap yang paling membawa kemaslahatan bagi
si penerima zakat. Sama halnya pilihan terhadap pendapat yang kedua. Jadi dalam
perbedaan pendapat ini acuannya adalah kemaslahatan.
Penjelasan tersebut, jika ditarik ke dalam
konteks pertanyaan di atas, maka zakatnya uang tetap diberikan berupa uang
dengan mengacu kepada pendapat pertama dan didasarkan atas pertimbangan
kemaslahatan. Namun boleh juga—dengan mengacu kepada pendapat kedua—zakatnya
uang diganti, misalnya dengan sembako yang senilai, dengan catatan hal itu
dipandang lebih membawa kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang-orang yang
berhak menerima zakat.
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan, semoga bisa menjadi bahan pertimbangan yang berarti. Dan semoga
dengan berzakat, harta Bapak bisa menjadi bersih dan berkah. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar