Segerakan UU Pemilu 2019
Oleh: Moh Mahfud MD
Meski pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh
pertikaian politik yang sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan
politik menjadi lebih sejuk. Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat
sudah mencapai titik temu dan menyadari kekisruhan politik yang bertendensi
zero sum game dan saling memboikot hanya akan merugikan semuanya, terutama
rakyat. Tahun 2015 memberi harapan untuk normalnya interaksi politik baik
antara pemerintah dan DPR maupun antarkoalisi di DPR.
Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan tugasnya masingmasing sesuai
konstitusi. Di antara banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR
dan pemerintah adalah membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu
legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu
2019 harus segera diselesaikan agar cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan
partai-partai politik untuk melakukan berbagai persiapan.
Ada dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan
evaluasi atas sistem pemilu dengan urutan suara terbanyak yang ternyata,
setelah dua kali kita mengalaminya, menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada
2019 pileg dan pilpres harus dilaksanakan serentak. Tidak dapat disangkal Pileg
2014 menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan ditengarai penuh
kecurangan.
Jual beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan
terlemparnya kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam
Pileg 2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem
proporsional tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin
saja dilakukan dan tidak perlu dipertentangkan dengan putusan MK.
Sebab, pileg dengan suara terbanyak itu sebenarnya bukan perintah
putusan MK, melainkan memang merupakan isi UU Nomor 10/2008 yang dibuat oleh
DPR bersama Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang sangat tidak adil.
Pileg dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan
adalah lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam Pasal
214 huruf a, b, c, d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu dapil
ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat suara
minimal 30% dari BPP.”
Menurut MK ketentuan ambang 30% itu tidak adil sehingga MK
membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari
BPP.” Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau menggunakan sistem proporsional
atau sistem distrik itu sama konstitusionalnya dan merupakan opened legal
policy yang bisa dipilih yang mana saja yang akan diberlakukan oleh DPR dan
pemerintah.
Karena penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan
undang-undang oleh legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa
saja UU Pileg itu diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan
sistem nomor urut. Sepenuhnya hal itu menjadi hak lembaga legislatif.
Pilpres 2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor
14/PUU-XI/ 2013 harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut
dengan sendirinya menuntut dibuatnya undangundang baru yang bisa mencakup
mekanisme pemilihan dan penetapan capres/cawapres dan caleg sekaligus.
Untuk pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah
memakai presidential threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu
memakai threshold sehingga semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru
langsung bisa mengajukan capres/cawapres.
Ada yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol
tetap menggunakan threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar
mendapat dukungan sejumlah minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua
ini, yang boleh mengajukan capres/cawapres hanya parpol yang mencapai
thereshold pada Pileg 2014 dan mempunyai kursi di DPR RI sekarang.
Kelompok yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun
bisa berbeda ke dalam dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol
yang sudah mencapai parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar
Pileg 2014 langsung boleh mengajukan capres/cawapres.
Kedua, yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20%
berdasar hasil Pileg 2014 sehingga capres/ cawapres hanya bisa diajukan oleh
parpol atau gabungan parpol yang sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua
alternatif masih terbuka untuk diperdebatkan dan tergantung alternatif mana
yang nanti akan dipilih oleh lembaga legislatif.
Diskusi dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus
segera dimulai pada 2015 dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir
2016. Dengan demikian, jika ada pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang
terkait dengan UU Pemilu bisa diproses dan diselesaikan pada 2017 sehingga
mulai 2018 semuanya sudah bisa melakukan persiapan dengan undang-undang yang
sudah jelas.
Jangan sampai terjadi UU Pemilu baru selesai menjelang pemilu dan
pengujiannya ke MK masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan-tahapan
pemilu sudah dimulai. Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019
bukan hanya untuk mengatasi kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak
dari kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Jika undang-undang bisa
diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan dan manuver politik tidak akan
terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar. []
KORAN SINDO, 03 Januari 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar