Belokan Pluralisme Gus Dur
Oleh: Moh Mahfud MD
Tiga hari lagi, genap lima tahun kita ditinggalkan oleh Presiden
Republik Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang wafat pada 30
Desember 2009.
Di Indonesia, kalau orang berbicara Gus Dur, tak bisa dilepaskan
dari gerakan pluralisme sebagai bagian penting dari paham kebangsaan kita. Tak
kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa Gus Dur
adalah Bapak Pluralisme Indonesia, seperti yang diucapkan pada sambutan
resminya saat pemakaman Gus Dur di kompleks Ponpes Tebuireng, Jombang.
Gus Dur memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat
Indonesia. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah fakta dan keharusan karena perbedaan
primordial antarmanusia ke dalam berbagai agama, ras, suku, daerah, bahasa
takmungkin dihindari. Orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah
yang menciptakan perbedaan itu.
Maka itu kita harus mau hidup di dalam perbedaan primordial,
tetapi bersatu dalam kesamaan tujuan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya,
bangsa ini harus menerima Pancasila sebagai dasar negara untuk kemudian
perbedaan-perbedaan yang niscaya ada di dalam masyarakat yang plural harus
diatur dengan prinsip dan sistem demokrasi.
Di dalam demokrasi harus ada persamaan dan kebebasan tetapi harus
dikawal dengan tegaknya hukum. Itulah sebabnya pluralisme
tidakdapatdipisahkandari kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan hukum
(nomokrasi) dan ketaatan pada konstitusi sebagai dasardasar pengaturan
berdemokrasi dan bernomokrasi.
Bagi Gus Dur, mengonsepkan pluralisme tak perlu rumit-rumit,
apalagi sampai menggeser debat konsep ke debat kusir. Kata Gus Dur, bayangkan
saja kita hidup di sebuah rumah besar yang banyak kamarnya dan kita mempunyai
kamar sendiri-sendiri.
Saat di dalam kamar maka masing-masing pemilik kamar bisa
menggunakan dan merawat kamarnya sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di
dalamnya, tetapi ketika ada di ruang keluarga atau di ruang tamu maka
kepentingan masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan rumah bersama.
Penghuni rumah, tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing,
harus bersatu merawat rumah itu dan mempertahankannya secara bersama-sama dari
serangan yang datang dari luar. Begitulah gambaran pluralisme. Kita mempunyai
rumah besar NKRI yang sudah dibangun dengan fondasi kokoh Pancasila dan yang
terdiri dari kamar-kamar primordial.
Kita harus bersatu menjaga rumah NKRI ini tanpa kehilangan
identitas primordial masing-masing. Tentu saja sangat banyak pejuang pluralisme
lainnya di Indonesia, tetapi Gus Durlah yang paling efektif memperjuangkannya
sebab dia mempunyai puluhan juta umat NU yang tawadu terhadapnya. Terlebih lagi
keulamaan dan intelektualitas Gus Dur sangat mumpuni.
Mengapa dan sejak kapan Gus Dur meyakini dan kemudian
memperjuangkan pluralisme? Pertanyaan ini penting karena kalau mau jujur
sebenarnya pada awalnya NU maupun Gus Dur berada dijalur perjuangan Islam
eksklusif. Pada tahun 1945 di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tokoh NU Wachid Hasyim berada di barisan
kelompok pejuang dasar negara Islam bersama Agus Salim, Ki Bagoes Hadikusumo,
dan tokoh-tokoh lain yang kemudian ikut aktif menyusun Piagam Jakarta.
Wachid Hasyim pun membantah ketika Hatta menyatakan bahwa perubahan
Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD 1945 sudah di-mintakan persetujuan
terhadap empat tokoh Islam, termasuk dirinya. Dalam perjuangan di Konstituante,
NU berada dalam satu barisan dengan Masyumi memperjuangkan dasar Islam bagi
Indonesia.
BPUPKI dan Konstituante memang forum resmi untuk memperjuangkan
dasar negara secara sah, sehingga pilihan politik NU pun saat itu adalah sah.
Gus Dur sendiri saat mudanya adalah pengikut paham al-Ikhwan al-Muslimun satu
gerakan politik Islam yang sangat radikal di bawah pimpinan Hasan al Banna.
Menurut Syafii Anwar pada 1963 Gus Dur sempat membuka cabang al-
Ikhwan al-Muslimun sendiri di Jombang tetapi Greg Barton mengatakan, Gus Dur
belum sempat mendirikan cabang Ikhwan meskipun memang penganut politik gerakan
tersebut. Keduanya mengonfirmasi bahwa Gus Dur adalah penganut Ikhwan.
Yang kita tahu, sepulang dari studinya di Mesir dan Irak, Gus Dur
tampil sebagai penganut inklusivisme Islam serta pejuang pluralisme yang paling
berpengaruh di Indonesia. Bahkan ketika masih banyak kaum muslimin menolak asas
tunggal Pancasila, pada tahun 1984, Gus Dur berduet dengan K. Achmad Sidiq
menyatakan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak banyak yang tahu, bagaimana dan kapan belokan dari eksklusivisme ke
pluralisme itu terjadi.
Saya sendiri hanya pernah mendengar cerita kecil. Pada suatu hari
di tahun 1970-an Gus Dur mampir ke perpustakaan di Kota Fes, Maroko. Setelah
hampir seharian membaca sebuah buku Gus Dur menangis tersedu-sedu sampai
menarik perhatian petugas perpustakaan yang kemudian menanyakan kalaukalau
dirinya sakit dan perlu bantuan.
Gus Dur bercerita bahwa di perpustakaan itu dia membaca karya
filosof Yunani Aristoteles, “Etika Nikomakean”. Dari buku itu dirinya menemukan
filsafat yang sangat tinggi tentang manusia, masyarakat, dan negara yang
dasar-dasarnya juga ada di dalam Quran dan Sunah Nabi.
Di dalamnya ada penjelasan tentang asal-muasal (di dalam Islam
disebut fitrah) manusia, adanya perbedaan-perbedaan, dan tuntutan etik yang
harus dilaksanakan oleh manusia. Tentu saja, kisah buku Ethika Nomkeia di Fes
itu hanya setetes peristiwa yang ikut membangun falsafah pluralisme Gus Dur.
Secara akademis, kita masih ingin tahu lebih rinci tentang kapan dan bagaimana
belokan ke pluralisme itu terjadi. Kami selalu berdoa untukmu, Gus. []
KORAN SINDO, 27 Desember 2014
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar