JK Punya Cerita
Oleh: Komaruddin Hidayat
Seperti biasanya, setiap menemani Pak Jusuf Kalla (JK) bermain
golf sambil menikmati jalan pagi di atas rumput yang hijau, selalu saja ada
obrolan menarik untuk saya tulis dan dibagi dengan teman-teman.
Kali ini Pak JK memulai obrolannya dengan sebuah pertanyaan: sejak
kapan ibu-ibu rumah tangga itu berubah ritme dan gaya hidupnya? Pertanyaan itu
dijawabnya sendiri. Perubahan yang mencolok sejak mereka menggunakan mesin
cuci, memiliki kulkas dan microwave. Pekerjaan mencuci yang semula mesti
dilakukan berjam-jam dengan tangan, sekarang dilakukan oleh mesin cuci.
Tenaga dan waktu menjadi sangat berkurang sehingga ibu-ibu rumah
tangga bisa melakukan pekerjaan lain. Soal belanja, dulu setiap mau masak mesti
pergi ke warung atau toko. Sekarang ibu-ibu bisa belanja sekali untuk keperluan
seminggu dengan cara diawetkan di dalam kulkas.
Bahan makanan tetap segar. Asal punya uang, kapan saja bisa
belanja membeli bahan makanan yang segar di supermarket. Masakan yang berlebih
pun dapat dihangatkan kembali dengan microwave. Jadi, dengan teknologi rumah
tangga ini para ibu menjadi dimanjakan dan dengan sisa waktu yang ada sebagian
mereka lalu bekerja mencari nafkah di luar rumah.
Makanya tidak mengherankan bila sekarang banyak pasangan
suami-istri yang sama-sama bekerja kantoran karena urusan dapur dan
masak-memasak tidak serumit dan serepot pada generasi pendahulunya. Namun yang
menarik dan perlu dicermati adalah kehadiran televisi ke dalam rumah.
Dengan waktunya yang semakin luang, ibu-ibu lalu menjadi pemirsa
setia acara televisi dengan aneka ragam menu dan kualitasnya. Oleh pemilik TV,
perubahan ritme dan gaya hidup ibu-ibu sungguh merupakan pasar yang
menggiurkan. Sebagian besar acara didesain untuk konsumsi ibu-ibu.
Ada beberapa sinetron yang sudah memasuki serial tayangnya di atas
150 kali, yang alur ceritanya dibuat ngalor-ngidul tidak karuan, tetapi sangat
menghibur dan menemani ibu-ibu di rumah. Tidak sekadar menghibur, yang lebih
penting lagi adalah mengejar rating jumlah pemirsa sehingga dengan mudah
mendapatkan sponsor iklan.
Di sinilah ibu-ibu mulai digiring masuk perangkap konsumerisme
yang dilakukan secara agresif, canggih, dan halus. Acara sinetron itu isinya
menjual mimpi-mimpi yang diiringi dengan iklan yang menjadi selera dan idaman
ibu-ibu. Iklan-iklan itu mengajak pemirsa membayangkan memiliki mobil produk
mutakhir, tinggal di kompleks perumahan yang tertata rapi, dilengkapi dengan
peralatan rumah yang serbaluks dan stylish, juga makanan-makanan cepat hidang.
Akibatnya, belanja rumah tangga membengkak untuk memenuhi
kebutuhan sekunder bahkan tersier. Dampak lebih jauh tentu saja dirasakan suami
untuk selalu mencari penghasilan lebih dan lebih. Acara arisan dan pengajian
ibuibu muncul di mana-mana. Artinya, mereka juga memerlukan kendaraan dan sopir
yang tentu saja meningkatkan jumlah belanja keluarga.
Tak ketinggalan adalah juga konsumsi gadget handphone yang selalu
muncul model baru setiap tahunnya. Semua ini, menurut Pak JK, merupakan situasi
dan perkembangan sosial yang mudah diamati. Tentu saja banyak perkembangan dan
cerita positif dari dunia ibu-ibu ini. Banyak success story.
Misalnya mereka yang berkarier dalam dunia politik, birokrasi,
pendidikan, ilmuwan, dan bisnis di mana wanita Indonesia lebih menikmati
kebebasan dibandingkan di dunia Arab. Pak JK menyinggung ibuibu muda Jepang
yang mendapatkan cuti kerja sehabis melahirkan selama lima tahun.
Ibuibu di sana jam kerjanya lebih sedikit dengan alasan demi
menyiapkan generasi penerus yang unggul, yaitu mendampingi pertumbuhan dan
pendidikan anak-anaknya. Rupanya ada pertimbangan human investment di balik
pengurangan jam kerja ibu-ibu muda di Jepang. Bukannya alasan diskriminasi.
Perhatian ibu-ibu muda pada pendidikan anak-anak juga menonjol pada masyarakat
Korea Selatan (Korsel).
Banyak bapak-bapak yang kesepian sehabis pulang kerja karena
istrinya menemani anaknya belajar di luar negeri, terutama di negara english
speaking countries. Produk ekspor Korsel senantiasa membutuhkan ahli-ahli
pemasaran yang lancar berbahasa Inggris dan berwawasan global.
Jadi, di zaman modern ini peran dan gaya hidup wanita memiliki
peluang dan pilihan yang semakin terbuka dan beragam. Berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dari yang lain. Berbeda antara kelas bawah, kelas
menengah, dan kelas atas secara ekonomi dan pendidikan.
Kembali cerita di seputar kita, dulu para pembantu rumah tangga
kalau memiliki uang lebih selalu dibelikan hiasan emas sebagai tabungan atau
dikirim ke keluarga di kampungnya. Sekarang dibelanjakan untuk membeli
handphone dan pulsa. Kalau pulang mudik Lebaran masing-masing memegang
handphone.
Menonton TV, SMS-an atau bergosip lewat telepon merupakan fenomena
baru berkat kemajuan teknologi rumah tangga, tetapi tidak selalu dimanfaatkan
secara optimal untuk menambah pengetahuan dan peningkatan kualitas diri. Dulu
sewaktu di kampung ibu-ibu mengobrol sambil mencuci atau mandi ramai-ramai di
kolam besar atau sungai. Sekarang mengobrol lewat telepon sambil menonton TV
yang penuh iklan itu. []
KORAN SINDO, 09 Januari
2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar