Kamis, 22 Januari 2015

Kang Komar: Awan Politik Cumulonimbus



Awan Politik Cumulonimbus
Oleh: Komaruddin Hidayat

Presiden Joko Widodo sebagai pilot Kabinet Kerja mesti ekstrahati-hati menjalankan pemerintahannya dan mengambil keputusan politik yang strategis.

Jika salah, bisa masuk pusaran awan politik cumulonimbus yang sangat membahayakan. Bisa-bisa patah sayapnya atau oleng dan rakyat sebagai penumpangnya yang akan jadi korban. Dalam pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri, posisi Jokowi memang dilematis. Dia terjepit di antara banyak kekuatan dan kepentingan.

Salahsalah mengambil keputusan, dampaknya sangat besar bagi pemerintah dan bangsa. Dari aspek hukum formal dan keputusan politik, bisa saja Budi Gunawan disahkan dan dilantik sebagai kepala Polri menggantikan Sutarman yang hampir berakhir masa jabatannya. Tetapi, mengingat posisi Budi Gunawan sebagai tersangka KPK, legitimasi moral kepala Polri akan sangat lemah.

Padahal salah satu agenda besar Jokowi adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, baik secara hukum maupun moral. Dalam pidato kampanye menjelang pemilu, Jokowi tegas mengatakan, dirinya tidak akan mengangkat pembantunya yang bermasalah. Janji Jokowi itu dibuktikan dengan melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menjaring calon-calon menterinya.

Dikabarkan, ada beberapa calon yang gagal karena diberi label kartu merah oleh KPK dan PPATK. Tetapi, dalam pencalonan kepala Polri, Jokowi mengambil jalan berbeda. Dia menggunakan hak prerogatifnya sebagai presiden, mengajukan calon tunggal ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. It’s done.

Komisi III DPR meloloskan. Beberapa anggota DPR memuji-muji Budi Gunawan sebagai orang yang tepat dan memiliki visi serta program bagus untuk menjadi kepala Polri. Beberapa relawan penggerak Konser Tiga Jari di Senayan dulu dibuat bingung dan gelisah. Mereka khawatir, jika Jokowi salah mengambil keputusan politik, bulan madu dengan massa pendukungnya akan berakhir lebih cepat dari yang diharapkan dan dibayangkan.

Para relawan ini berkorban tanpa minta imbalan upah dan jabatan, melainkan semata ingin menitipkan harapan pada sosok Jokowi bagi kebangkitan dan kemajuan rakyat agar bangsa ini bangkit, mandiri, dan terhormat dalam pergaulan dunia. Kekayaan alam dan penduduk Indonesia hendaknya melahirkan prestasi yang mampu menyejahterakan dan membanggakan rakyat.

Saya sendiri belum tahu, sebagai pilot, langkah dan keputusan politik apa yang akan diambil Jokowi mengenai pencalonan Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Di Indonesia terdapat tiga lembaga andalan untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi yaitu institusi kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Dari tiga lembaga tersebut, yang memperoleh kepercayaan rakyat paling tinggi adalah KPK.

Idealnya, tiga pilar tersebut merupakan kekuatan tiga serangkai yang bekerja secara kompak dalam penegakan hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih. Kalau saja pemerintahan ini—ibarat tubuh—sudah sehat segar bugar bebas dari korupsi, KPK itu tidak diperlukan. KPK itu lembaga ad hoc. Tetapi, selama korupsi masih tumbuh subur, justru KPK yang mesti diperkuat lagi.

Lalu, apa yang akan dilihat dan dipikirkan rakyat andaikan sosok kepala Polrinya adalah jadi tersangka KPK? Ibarat tangan dan kaki yang mestinya saling membantu berperang menghadapi musuh, tetapi sesama organ tubuh malah berantem. Kalau itu terjadi, pasti menimbulkan anomali dan tragedi bagi bangsa dan pemerintah yang tengah memacu diri memberantas korupsi, sementara sesama pasukan penegaknya sibuk berkelahi.

Situasi ini bisa berkembang menjadi awan politik cumulonimbus yang akan dihadapi pemerintahan Jokowi. Mumpung belum, mesti ekstrahati- hati. Jangan sampai terulang lagi tragedi “Cicak lawan Buaya”. KPK berhadapan dengan kepolisian. Memang ada suara dari pihak-pihak yang ingin mengerdilkan peran KPK karena dirinya merasa terancam dan dirugikan oleh sepak terjang lembaga ini.

Tetapi, mesti diingat, sampai hari ini rakyat masih percaya dan menaruh harapan besar pada KPK ketimbang lembaga penegak hukum lain. Jadi, rakyat akan selalu mengikuti alur cerita ke depan, bagaimana kelanjutan dari pencalonan Budi Gunawan ini. Jangan sampai harapan dan pengorbanan rakyat untuk menyukseskan pemilu yang baru saja berlalu disepelekan dan dilupakan. Pada era demokrasi ini kedaulatan rakyat semakin mengemuka. Banyak cara dan saluran untuk bersuara.

Kadangkala bahkan berseberangan dengan suara yang dikemukakan oleh wakil-wakilnya di Senayan. Orang tua punya nasihat, orang berjalan itutak akan tersandung gunung. Yang kadang bisa membuat terpeleset itu justru tersandung batu kerikil atau lubang kecil yang tak terlihat atau political blind spot. []

Koran SINDO, Jum'at,  16 Januari 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar