Pemerintah Tunggangi Kisruh Golkar
Oleh: Bambang Soesatyo
Keputusan Kementerian Hukum dan HAM mengakui dua formasi
kepengurusan Partai Golkar periode 2014-2019 sama sekali tidak masuk akal.
Bukan hanya mengeskalasi masalah, pemerintah juga jelas-jelas telah menunggangi
kisruh internal Partai Golkar dengan target utama memperlemah peran dan fungsi
DPR yang didominasi Koalisi Merah Putih (KMP).
Sikap dan posisi yang dipilih pemerintah atas kisruh Partai Golkar
bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga tidak beretika. Dengan mengakui Munas
Ancol, pemerintah tidak mengakui dan tidak menghormati Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar yang menjadi pijakan bagi semua agenda
kepartaian. Terlihat jelas betapa pemerintah berperilaku tidak etis.
Dengan mengakui Munas Ancol Jakarta, nafsu pemerintah menunggangi
kisruh Partai Golkar begitu nyata. Dengan model keputusan seperti itu,
pemerintah bahkan telah melakukan intervensi terbuka terhadap Partai Golkar. Dengan
mengakui kepengurusan ganda di tubuh Partai Golkar, pemerintah telah
menggunakan wewenangnya untuk mengadu domba faksi-faksi di tubuh partai agar
kisruh semakin berlarut-larut.
Sejak awal pemerintah memang sudah berniat untuk tidak bersikap
bijaksana dalam merespons persoalan Partai Golkar. Karena itu, sikap dan posisi
yang diambil pemerintah pun lebih dilandasi kalkulasi politik, bukan aspek
legal berdasarkan konstitusi Partai Golkar. Kalkulasi politiknya, bagaimana
memperlemah peran dan fungsi KMP di DPR. Inilah yang menjadi tujuan akhir
pemerintah.
Dengan membiarkan kisruh Partai Golkar berlarut-larut, pesan yang
ingin disampaikan adalah ketidak percayaan pemerintah terhadap KMP di DPR.
Pemerintah menolak memosisikan KMP sebagai mitra kritis. Lebih ekstrem lagi,
pemerintah tidak punya kemauan politik sedikit pun untuk percaya kepada KMP
sebagai mitra kritis.
Rupanya, rivalitas pemilihan presiden (pilpres) Jokowi-JK versus
Prabowo-Hatta belum berhenti. Memang, dalam banyak kesempatan, Presiden
berulang menegaskan pilpres sudah selesai. Sayangnya, rivalitas pilpres itu
justru dilanjutkan dan terus diaktualisasikan oleh pemerintahan Presiden Joko
Widodo.
Memberi pengakuan atas kepengurusan ganda Partai Golkar adalah
cerminan dari kelanjutan rivalitas itu. Dari disharmoni di tubuh Golkar,
pemerintah berharap KMP tidak efektif sebagai mitra kritis. Bahkan sudah muncul
dorongan untuk membubarkan KMP. Semangat membubarkan KMP sudah terang-terangan
dinyatakan oleh kelompok yang diduga menjadi agen atau tunggangan pemerintah.
Artinya, pemerintahan Presiden Jokowi sejatinya tetap berambisi
mengontrol dan mengendalikan DPR. Dengan begitu, publik bisa memahami bahwa
Presiden menolak kesetaraan eksekutif-legislatif. Kini bahkan terlihat bahwa
pemerintah justru proaktif mencegah kesetaraan itu.
Bagaimana strateginya? Karena Partai Golkar berperan dominan dalam
menentukan arah KMP, pemerintah harus mencari cara agar disharmoni di tubuh
Partai Golkar makin berlarut-larut. Diakuilah kepengurusan ganda di Partai
Golkar melalui keputusan yang tidak etis itu.
Minus Kompetensi
Sekali lagi, Munas IX Partai Golkar di Bali sah secara hukum.
Munas itu dilaksanakan sesuai AD/ART Partai Golkar dan Undang-Undang No 2/2011
tentang Partai Politik. Karena itu, munas yang sah itu tidak patut untuk
dipadankan dengan forum lain yang mengatasnamakan Partai Golkar.
Dasar hukum bagi Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan formasi
kepengurusan Partai Golkar produk Munas IX di Bali tentu tak perlu dipersoalkan
lagi. Sebaliknya, perlu dipertanyakan kepada Menteri Hukum dan HAM tentang
dasar hukum apa yang digunakan untuk mengesahkan sekelompok orang yang
mengklaim juga sebagai pengurus Golkar, padahal mereka nyata-nyata
menyalahgunakan identitas Partai Golkar.
Ketika mengesahkan kelompok ini sebagai pengurus Partai Golkar,
argumentasi Menteri Hukum dan HAM terdengar dangkal alias asal-asalan. Apakah
para pengurus yang menyalahgunakan identitas Partai Golkar itu datang dari
langit atau lahir dari sebuah forum yang tidak diatur dalam AD/ART Partai
Golkar?
Kalau pengurus partai lahir dari forum yang tidak diatur oleh AD/
ART partai diakui keabsahannya, pemerintah bukan hanya tidak etis, melainkan
juga punya motif yang tidak terpuji. Kalau nanti motif tak terpuji itu
terbukti, menkumham patut didakwa menyalahgunakan kekuasaan.
Forum Partai Golkar itu tidak layak disebut munas. Karena itu,
forum itu tidak punya kompetensi untuk melahirkan atau membentuk DPP Partai Golkar.
Penyelenggaraan forum yang kemudian disebut Munas Ancol Jakarta itu tidak
mengikuti mekanisme yang telah diatur AD/ART Partai Golkar. Forum itu
terselenggara karena kehendak segelintir orang yang tergabung dalam Presidium
Penyelamat Partai, bukan kehendak atau rekomendasi DPD maupun DPD I Partai
Golkar se-Indonesia.
Dengan begitu, menjadi sangat aneh jika Kementerian Hukum dan HAM
masih berani mengakui produk dari forum tersebut. Bandingkan dengan proses
persiapan dan penyelenggaraan Munas IX Partai Golkar di Bali. Munas Bali
terselenggara karena kehendak DPD dan DPD I Partai Golkar se-Indonesia, yang
kemudian ditetapkan pada forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII di
Yogyakarta.
Semua tahapan dan prosesnya transparan serta legal seturut AD/ART
Partai Golkar. Munas IX Partai Golkar 2014 di Bali pun berjalan lancar dan
sudah menetapkan program kerja serta formasi kepengurusan. Aspirasi semua DPD I
dan DPD II terakomodasi. Tidak ada penolakan atau keberatan atas formasi
kepengurusan yang dibentuk dari forum Munas IX di Bali.
Sejatinya, Partai Golkar tidak pernah pecah, apalagi ada
kepengurusan ganda. Maka itu, sangat jelas bahwa dengan mengakui kepengurusan
ganda di Partai Golkar, pemerintah tidak mau bersikap jernih dalam memahami
persoalan Partai Golkar. Karena tidak jernih, seorang ahli hukum mencibir
pemerintah yang bermain api dalam kasus ini.
Sudah terbukti bahwa pemerintah sedang dan terus berupaya
menggerogoti soliditas KMP. Perilaku tidak etis itu terlihat dari perlakuan
terhadap Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ternyata,
pemerintahan Jokowi belum siap menghadapi kesetaraan eksekutif-legislatif.
Modus menghancurkan lawan seperti yang dilakukan pemerintah secara
terang-terangan dan tanpa rasa malu terhadap Partai Golkar dan PPP secara
sistematis itu telah menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia. Sikap
tidak ksatria tersebut berpotensi melahirkan dendam politik di kemudian hari.
[]
KORAN SINDO, 26 Desember 2014
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR
RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar