Keharusan Seleksi Hakim MK
Oleh: Moh Mahfud MD
Rabu, 7 Januari 2014 pekan ini, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
yang baru, I Gede Palguna dan Suhartoyo, mengucapkan sumpah di hadapan Presiden
untuk mulai bertugas sebagai hakim konstitusi.
Palguna terpilih menggantikan Hamdan Zulfa sebagai hakim yang
diajukan oleh Presiden, sedangkan Suhartoyo menggantikan Fadlil Sumadi sebagai
hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA). Menurut Pasal 24C ayat (3) UUD
1945, hakim konstitusi terdiri atas sembilan orang yang diajukan (nominated)
oleh tiga lembaga negara, yakni tiga orang diajukan oleh presiden, tiga orang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diajukan oleh MA.
Harus ditegaskan, menurut konstitusi kesembilan hakim tersebut
”bukan mewakili”, melainkan hanya diajukan atau diusulkan oleh ketiga lembaga
negara tersebut. Semua hakim konstitusi haruslah independen dan tidak bisa
dipengaruhi oleh lembaga negara yang mengusulkannya. Meskipun ditetapkan dengan
keputusan presiden (kepres), hakim MK tidak bertanggung jawab dan tidak
mewakili presiden, sebab kepres hanya bersifat administratif untuk meresmikan.
Sekarang ada kemajuan. Terpilihnya hakim I Gede Palguna dilakukan
melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif, sesuai dengan perintah
Pasal 19 UU MK. Ini jauh berbeda dari penetapan hakim-hakim sebelumnya. Pada
periode pertama, saat pertama kali MK dibentuk tahun 2003, pengajuan hakim-hakim
MK memang lebih bersifat langsung diajukan oleh tiga lembaga negara, tidak
banyak melibatkan partisipasi publik karena saat itu memang belum menarik
perhatian publik.
Meski begitu, mungkin karena masih berimpit atau dekat dengan awal
sejarah dan segala idealisme pembentukan MK, pengusulan hakim-hakim periode
pertama yang tanpa isu dan intrik politik telah melahirkan figur-figur yang
baik dan berintegritas. Di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie hakim-hakim MK
periode pertama mampu meletakkan dasar-dasar MK sebagai pengawal konstitusi
yang kokoh dan disegani.
Namun, sesudah habisnya masa jabatan periode pertama mulai muncul
aspirasi agar hakim-hakim MK berikutnya diseleksi secara terbuka. Sejak
rekrutmen hakim MK periode kedua, masyarakat mulai mengkritik calon-calon hakim
yang berlatar belakang parpol. Ketika saya mengikuti seleksi sebagai calon
hakim MK dari DPR pada tahun 2008, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW)
mempersoalkan saya karena saya berasal dari parpol.
Tetapi ketika itu saya terus maju karena menurut undang- undang
tidak ada syarat calon hakim MK harus bukan orang parpol. Yang penting kalau
sudah menjadi hakim MK mereka bukan lagi orang parpol atau keluar dari parpol.
Ketika itu saya bilang, saya tak pernah terlibat korupsi. Sebaliknya saya bisa
menunjukkan, banyak orang yang berlatar belakang LSM terlibat korupsi.
Hakim-hakim periode pertama pun banyak yang mempunyai kaitan
dengan parpol. Sebutlah Roestandi yang menjadi penasihat PPP atau Harjono dan I
Gede Palguna yang duduk di MPR mewakili PDI Perjuangan. Toh, mereka bisa
bekerja dengan baik. Yang menarik adalah perkembangan pengajuan hakim-hakim MK
yang dari presiden sejak periode kedua.
Untuk pengajuan hakim MK pada periode kedua (2008) Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menerima usulan dari tim seleksi terbuka yang dipimpin oleh
Adnan Buyung Nasution. Namun, untuk pengajuan hakimhakim MK berikutnya Presiden
SBY tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung
ditetapkan oleh Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar
dari masyarakat.
Menurut pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and
proper test oleh tiga menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan
Menkumham. Tetapi siapa pun tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang
transparan dan partisipatif, melainkan lebih politis. Untungnya, terlepas dari
prosesnya yang banyak dipersoalkan, pengangkatan Hamdan yang cukup dikritik;
ternyata dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri tugasnya.
Namun, ketika ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat
lagi Patrialis Akbar tanpa seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya
mengkritik, melainkan langsung memerkarakannya ke PTUN. Terpilihnya Palguna
sebagai hakim MK haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses yang
transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK.
Palguna tidak ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui
seleksi terbuka yang bertahap. Bahwa ada yang mengkritik atas penetapannya
karena dia pernah punya kaitan dengan partai politik adalah biasa di dalam
negara demokrasi. Siapa pun yang ditetapkan oleh presiden pasti akan ada yang
mengkritik, tetapi siapa pun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin
berlebihan.
Kritik bahwa kalau punya latar belakang parpol cenderung korup
tentu harus dikritik balik karena hal itu tidak faktual dan ngawur. Faktanya,
lihat saja, orang-orang yang dipenjara karena korupsi ternyata bukan hanya
mereka yang berlatar belakang parpol, melainkan juga mereka yang datang dari
berbagai latar belakang profesi dan organisasi seperti parpol, birokrasi,
perguruan tinggi, pengusaha, bahkan dari LSM.
Seleksi untuk memilih hakim MK harus lebih dikaitkan dengan
integritas dan kapabilitas, bukan dengan latar belakang profesi atau
organisasinya. Pada masa-masa mendatang pembentukan tim seleksi yang independen
untuk menyeleksi hakim MK harus ditradisikan, bukan hanya oleh presiden, tetapi
juga oleh DPR dan MA. []
KORAN SINDO, 10 Januari 2015
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar