Qira’at Syadzdzah sebagai Hujjah Istinbat
Hukum
Judul
buku : Implikasi Qira’at
Syadzdzah terhadap Istinbat Hukum (Analisis terhadap
Penafsiran Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith)
Penulis
: Romlah
Widayati
Penerbit
: Kementerian Agama RI Jakarta
Cet/Tahun
: Cetakan I, Desember 2014
Tebal
: 303 halaman
Pesesensi
: Ahmad Badrus Q., peminat studi ilmu
Al-Qur'an dan sastra pesantren, tinggal di Depok.
Tidak banyak yang mempelajari adanya variasi
bacaan atau qira’at ketika melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Yang paling populer
dikenal istilah qiraat sab’ah (qira’at tujuh) atau bacaan yang diriwayatkan
oleh tujuh ulama qira’at terkemuka. Namun sebenarnya ada beberapa versi
qira’at. Ada qira’at
asyrah (qira’at sepuluh) dan qira’at arba’a Asyrah (qira’at empat belas).
Bahkan buku ini mengkaji versi bacaan yang disebut qira’at syadzdzah atau
bacaan yang asing atau bacaan yang tidak umum.
Dalam bukunya “Implikasi Qira’at Syadzdzah terhadap
Istinbat Hukum: Analisis terhadap Penafsiran Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr
al-Muhith” seorang ahli qiraat dari Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Jakarta Romlah Widayati membuktikan bahwa qira’at syadzdzah yang dinilai asing
itu tidak saja dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman) dalam menafsirkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an, tetapi juga dapat dijadikan hujjah untuk istinbat hukum atau menggali hukum
Islam.
Qira’at syadzdzah adalah qira’at yang
tidak memenuhi semua kriteria keabsahan yang ditetapkan oleh ulama. Qira’at ini
mungkin sesuai dengan rasm mushaf Utsmani atau ejaan yang dipakai oleh
kebanyakan umat islam dan memenuhi tata bahasa Arab tetapi tidak mempunyai
sanad (riwayat) yang shahih, atau mempunyai sanad yang shahih dan sesuai tata
bahasa Arab tapi tidak sesuai rasm mushaf Utsmani. Qira’at syadzdzah juga bisa
berarti qiraat yang mempunyai sanad yang shahih dan sesuai tata bahasa Arab,
namun tidak diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak ulama) tapi hanya oleh
ulama tertentu saja.
Membaca buku ini akan membuka wawasan kita
karena banyak memberikan informasi baru dalam periwayatan al-Qur’an yang
disajikan. Misalnya pada surat al-Maidah [5] ayat 89, Ubai bin Ka’ab, Abdullah
ibn Mas’ud dan Ibnu Abbas membaca فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ dengan
meriwayatkan tambahan kata مُتَتَابِعَاتٍ
Riwayat yang tidak mutawatir seperti ini juga
termasuk dalam kategori syadzdzah karena hanya diriwayatkan oleh tiga ulama,
dan jika digunakan sebagai hujjah pasti akan berbeda makna dan konsekwesnsi
hukumnya dengan riwayat lain.
Buku Romlah Widayati merupakan adaptasi dari
disertasinya di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2009). Kementerian
Agama RI memilih disertasi ini sebagai salah satu karya unggulan dan patut
diterbitkan. Disertasi ini merupakan antitesis dari pendapat mayoritas yang
menolak qira’at syadzdzah dijadikan hujjah dalam istinbat hukum. Penulisnya
mengemukakan bahwa qira’at syadzdzah bisa dijadikan sebagai hujjah sepanjang
tidak menyimpang dari kaidah bahasa Arab, memiliki riwayat yang shahih dari
Nabi, meskipun tidak diriwayatkan secara mutawattir.
Sumber utama dari disertasi ini adalah kitab al-Bahr al-Muhit yang
disusun oleh Abu Hayyan (654H/1256 – 754H/1344). Kitab ini banyak melansir
qira’at syadzdzah dan melakukan pembelaan kepada model bacaan seperti itu untuk
dijadikan hujjah dalam menafsiri Al-Qur’an. Bahkan disebutkan oleh Romlah dalam
disertasinya, dalam 168 ayat yang berbicara masalah hukum (ayat ahkam), Abu
Hayyan menggunakan qira’at syadzdzah sebagai hujjah.
Buku ini memberikan banyak contoh mengenai
perbedaan qiraat baik yang mutawattir atau yang syadzdzah. Misalnya dalam ayat
keempat surat al-Fatihah ملك يوم الدين Kata
ملك bisa dibaca مَلِكِ atau
مَالِكِ atau مَالَكَ sesuai versi riwayatnya. Dan perbedaan bacaan akan
menyebabkan perbedaan makna. Penulis buku Implikasi Qira’at Syadzdzah terhadap Istinbat Hukum
menegaskan bahwa perbedaan qira’at hakikatnya memberikan keleluasaan dan
wawasan yang memperkaya dan menambah alternatif hukum Islam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar