Tahun Baru Tanpa Harapan
Oleh: Mohamad Sobary
Apa gunanya tahun baru kalau masa depan sama gelapnya dengan masa
lalu? Masa depan yang dekat gelap. Masa depan yang masih jauh dan belum
kelihatan pun kegelapannya sudah terasa.
Soalnya, di depan sana tidak ada apa-apa yang bisa menjadi harapan
bersama. Dengan kata lain, masa depan sama saja dengan masa lalu. Semua yang
terjadi pada masa yang sudah lama lewat itu suasana gelap gulitanya, pedih, dan
duka nestapanya seperti baru terjadi kemarin. Kita tahu karena kepedihan tak
mungkin membiarkan kita lupa. Masa lalu tidak menjadi kenangan menyejukkan,
tapi merupakan trauma menakutkan.
Apa gunanya organisasi yang bernama negara dan pemimpinpemimpin
yang dipilih dengan hati gembira kalau masa depan sama gelapnya dengan masa
lalu? Apa gunanya jaminan konstitusi kalau jaminan itu hanya merupakan selembar
cek kosong, tanpa isi, tanpa arti? Tahun lalu hanya menjadi riwayat. Dengan
catatan, di dalamnya hanya ada apa yang pedih. Tahun lalu merupakan riwayat
kepedihan.
Bagaimana kepedihan dikenang? Mungkin kita mengenang secara khusus
untuk melupakannya. Janji-janji yang tak pernah dipenuhi, kita lupakan. Hati
kita memang selebar tujuh samudera raya, ditambah tujuh kali yang sudah ada
itu. Kita melupakan semua kesalahan masa lalu dengan jiwa besar. Jauh lebih
besar dari sejuta pohon beringin, ditambah sebanyak itu pula.
Jiwa kita besar tak terkira. Karena begitu, masa depan berlalu dan
segenap kesalahan kita lupakan. Kita menghadap ke depan dengan harapan siapa
tahu masa depan lebih baik. Tapi, kenyataannya masa depan sama buruknya dengan
masa lalu. Para pemimpin hanya sibuk berebut kursi. Ketika kursi belum
diperoleh, kekuasaan belum di tangan, betapa indah mereka punya janji.
Tapi, begitu masa depan itu sehari demi sehari berlalu dan
tahu-tahu sudah menjadi masa lalu, kita hanya bertemu omong kosong. Ada kalanya
kita bertemu para pemimpin yang dikirim ke penjara oleh KPK. Kita tidak tahu,
apakah itu jawaban atas cita-cita atau harapan kita? Kita berharap makmur, tapi
yang kita jumpai hanya para pencuri kemakmuran kita yang dipenjara.
Dapatlah kita merasa makmur hanya karena pencuri-pencuri
ditangkap, ditahan, dan dipenjara? ”O, memang bukan kemakmuran yang kita
jumpai, tapi keadilan.” ”Dapatkah kita merasa telah memperoleh keadilan, hanya
karena para pencuri diadili?” ”Seharusnya bisa” ”Seharusnya? Siapa yang
mengharuskan? Pencuri dihukum mungkin cermin keadilan.
Tapi, warga negara yang punya hak hidup layak, cukup sandang,
cukup papan, cukup pangan, dan rasa damai, apa berarti semuanya telah kita
dapatkan ketika seorang pencuri, atau beberapa puluh pencuri, diadili dan
dihukum?” Negara hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Tata negara punya aturan
dan hukumhukum yang mengatur hidup kenegaraan yang baik. Tapi, kesibukan di
bidang itu tak berarti bahwa negara atau para pejabat negara telah mengatur
kehidupan rakyat.
Dalam kesadaran para penyelenggara negara, rakyat itu tidak
ada. Bagi mereka, yang ada negara dan aturanaturan ketatanegaraan yang ruwet
itu. Selebihnya, yang ada diri mereka sendiri. Mereka yang mengatur kemakmuran
dan diri mereka sendiri yang diutamakan. Mereka menjadi yang paling utama, tapi
belum cukup. Pencurian besar-besaran masih terus terjadi. Penyelenggara negara
tak perlu merasa malu.
Di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat politik, kalau ada
pejabat tertangkap, dia dianggap bodoh. Di sini urusannya jelas: bodoh berarti
tidak rapi, tidak cermat, tidak hati-hati, dan ceroboh karena meninggalkan
jejak. Seharusnya mereka lebih lihai lagi. Tidak ada yang berkata: seharusnya
sudah cukup dengan gaji yang ada. Seharusnya lebih dari cukup untuk hidup
dengan kekayaan yang ada. Atau, seharusnya kita menjaga kredibilitas moral dan
keluhuran agama.
Pencurian tidak disesali karena itu salah, tapi karena pencuri
yang tertangkap itu ceroboh. Pencurian tidak ada sangkut pautnya dengan etika
bahwa pencuri menodai hak hidup orang banyak. Pencurian tak dilihat sebagai
dosa sosial, dosa politik, dosa kemanusiaan, dan dosa keagamaan. Di masyarakat
politik dan di dalam lingkungan birokrasi pencurian tidak ada hubungannya
dengan etika dan agama atau hukum.
Sekali lagi, pencurian disesali karena tidak terampil, tidak
hati-hati, dan tidak cermat. Pak Jokowi. Kita tahu Sampean itu pemimpin yang
tulus, lebih dari yang lain-lain. Tapi, tulus jangan disimpan di hati. Tulus
jangan hanya dibawa ke Tanah Suci dan di rumah-rumah suci yang Sampean
kunjungi.
Tahun baru tak membawa harapan. Pejabat-pejabat baru tak
menjanjikan kebersihan diri untuk tak mencuri. Bagi mereka, mencuri salah hanya
kalau tertangkap. Kalau cermat, lihai, dan profesional, mencuri tak ada
masalah. Uang negara boleh dirampok semua. Negara boleh bangkrut, tapi pencuri
harus tak ketahuan.
Ketulusan itu ”kapital”. Pak Jokowi harus ”mengapitalisasikannya”
dengan baik dan berani. Bukankah Sampean tidak takut berjuang demi negara dan
rakyat di dalamnya supaya rakyat hidup lebih baik, lebih makmur, lebih adil?
Sampean presiden. Tugas presiden mengubah yang gelap menjadi terang.
Menciptakan suasana tanpa harapan menjadi sebaliknya. Selebihnya
Pak, orang tulus, yang apa adanya, dan tak berharap yang bukan-bukan, bisa
mengubah masa lalu yang gelap menjadi masa depan yang terang. Masa lalu tidak
sama dengan masa depan.
Masa lalu boleh gelap, tapi masa depan tidak. Pak Jokowi, jangan
biarkan tahun baru dan masa depan tanpa harapan. Tapi, jangan pula hanya
memberi harapan karena meskipun tanpa harapan itu mengecewakan, kalau harapan
sekadar harapan, itu membunuh kemanusiaan dan keadilan? []
KORAN SINDO, 29 Desember 2014
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar