Demokrasi
dan ‘Egomania’
Oleh:
Emha Ainun Nadjib
Saya
menduga keras bahwa secara ilmu bahasa, istilah ‘egomania’ tampaknya tak bisa
dibenarkan. Tetapi saya tidak sanggup menjumpai idiom lain untuk mewakili apa
yang hendak saya jelaskan.
Ialah suatu kondisi mentalitas di mana ‘kosmos kepribadian’
seseorang hampir seluruhnya diisi oleh hanya dirinya sendiri. ‘Dirinya sendiri’
itu mungkin lebih gamblang kalau saya sebut ego-pribadi, atau bahasa umum menyebutnya
‘interest pribadi’. Idiom yang saya gunakan itu memakai kata ‘mania’ untuk
menerangkan kadar kepenuhan interest pribadi itu di setiap sepak terjang
seseorang. ‘Stadium tinggi’ egoisme itu membuat orang tersebut tidak memiliki
aktivitas sosial, karena setiap perilaku ‘sosial’nya sesungguhnya merupakan
aktivitas pribadi. Dengan kata lain, seluruh dunia ini, orang lain, lingkungan,
fasilitas-fasilitas kehidupan, hanyalah ‘bagian’ dari egonya.
Anda boleh membayangkan jika —misalnya— negara, partai politik,
lembaga-lembaga sosial, rakyat, tanah, hasil bumi, atau lebih eksplisit:
institusi Ikadin atau AAI umpamanya hanyalah bagian dari egoisme atau interest
pribadi-pribadi.
Sesungguhnya Anda boleh percaya bahwa hal demikian sudah merupakan
pemandangan ‘lumrah’ di sekitar kita. ‘Pancasila’, ‘Islam’, ‘Kesatuan dan
Persatuan’, ‘Manusia Indonesia Seutuhnya’, ‘Konstitusi’, atau apapun, amat
sering diucapkan tidak sebagai kebenaran diri idiom-idiom itu sendiri,
melainkan sebagai alat dari proyek interest-interest pribadi. Pancasila
seringkali hanyalah berfungsi instrumental, sedang yang substansial adalah
‘egomania’.
Sesungguhnya pula, jika Anda memasuki hakekat realitas dunia
perpolitikan — dalam konteks sempitnya maupun konteks luasnya — pandangan mata
Anda insyaallah akan bergelimangan egomania. Lantas Anda akan juga merasa
tergetar apabila menyaksikan betapa batu cadas egomania itu dikonstruksikan
dengan pilar-pilar kekuasaan politik, fundamental-fundamental beton
persenjataan, serta dinding-dinding tebal kulturalisme dan ‘birokratisme’.
Jika sebuah komunitas, atau setidaknya sebuah organisasi,
mengalami keretakan: Anda silahkan bersangka baik bahwa itulah mekanisme
demokrasi. Itulah potret pluralitas di mana perbedaan pendapat dan kehendak
boleh dipergunakan.
Akan tetapi jika kemudian Anda menjumpai bahwa itu bukanlah
perbedaan pendapat tentang kebenaran, melainkan benturan
kepentingan-kepentingan ‘egomania’, persilahkanlah hati nurani Anda menitikkan
air mata.
Apalagi jika cara untuk berbeda yang dipakai oleh kaum
intelektual, priyayi modern, pengemban prinsip hukum, serta teladan bagi jutaan
rakyat yang selalu dituduh ‘buta hukum’ — persis dengan cara para korak atau
gali membenturkan perbedaan.
Kita adalah manusia modern yang tak tahu diri. []
Pernah dimuat di Rubrik Wall Pass, Yogya Post, Jumat Pon, 3
Agustus 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar