Teror Paris, Memperkuat Islam Wasathiyah
Oleh: Azyumardi Azra
SANGAT memprihatinkan penembakan membabi buta di kantor majalah
satire Charlie Hebdo di Paris pekan lalu menewaskan 12 jiwa, termasuk pemimpin
redaksi, empat kartunis, dan dua polisi. Dua hari kemudian, penyanderaan yang
terkait menambah lagi korban tewas dua orang.
Charlie Hebdo menjadi target penembakan brutal beberapa kali atas
karikatur yang meledek Nabi Muhammad. Majalah yang juga pernah melecehkan Yesus
Kristus, Paus Benediktus, orang Yahudi, dan para pejabat negara itu telah
sering mendapat ancaman. Walau tingkah polah Charlie Hebdo dapat sangat
menyinggung sensitivitas keimanan, aksi teror balasan tidak dapat dibenarkan
dengan alasan dan justifikasi apa pun. Aksi kekerasan itu adalah kejahatan luar
biasa terhadap kemanusiaan dan peradaban.
Aksi itu bisa dipastikan membuat citra Islam dan kaum Muslimin
kian tercemar, tidak hanya di Perancis, tetapi juga di kawasan Eropa lain,
Amerika, dan dunia lebih luas. Walau pelakunya adik kakak, Cherif Kouachi (32)
dan Said Kouachi (34), dan Hamyd Mourad adalah warga kelahiran Perancis yang
berbicara bahasa Perancis tanpa aksen, yang menonjol dalam pemberitaan media
dunia adalah bahwa mereka Muslim.
Aksi terorisme di Paris patut menjadi peringatan bagi seluruh
aparat pemerintah dan warga Indonesia, khususnya umat Islam Wasathiyah (jalan tengah),
yang jauh dari ekstremisme dan radikalisme. Peristiwa Paris dapat menjadi
pelajaran, di negara maju sekalipun, dengan pengamanan sangat ketat, tetap saja
ada orang yang ingin menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.
Potensi teror juga masih cukup besar di Tanah Air. Kepala BIN
Marciano Norman menyatakan, setiap ada insiden terkait teroris di negara lain,
(kelompok dan sel teror di Indonesia) biasa memanfaatkan. ”Biasanya kelompok
teroris (di Indonesia) melakukan aksinya setelah terjadi serangan (teroris) di
satu negara atau daerah tertentu”.
Masih gentayangannya kelompok dan sel teror di Indonesia
terindikasi dari travel warning atau sedikitnya travel advisory yang
dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada 5 Januari 2015, disusul Inggris
dan Australia. Peringatan atau advis perjalanan mereka keluarkan karena menurut
informasi intelijen mereka ada info spesifik tentang rencana peledakan bom
warga Barat di Jakarta atau Surabaya atau Bali.
Meski pejabat tinggi seperti Wapres Jusuf Kalla melunakkan (play
down) travel warning itu, sulit mengingkari gejala peningkatan kegiatan
kelompok atau sel teroris. Sejak Agustus 2014 ketika marak berita Negara Islam
di Irak dan Suriah (NIIS) yang melakukan perekrutan di Indonesia, sel teroris
lama yang beroperasi di Indonesia seakan kembali menemukan momentum dengan
melakukan aksi baiat—bahkan di penjara—kepada ”kekhalifahan” Abu Bakar
al-Baghdadi; mengadakan pengajian lengkap dengan bendera NIIS sampai melukis
mural simbol NIIS.
Gejala meningkatnya geliat kelompok dan sel teroris itu bisa
disimak dari aksi Polri/ Densus 88 terhadap sejumlah orang yang terduga
terorisme dalam dua bulan terakhir. Densus 88 melakukan aksi antara lain
penangkapan terduga teroris AM di Banyuwangi (22/12/2014) serta DK di Sukoharjo
dan TS di Lamongan (23/12/2014), penahanan 12 orang (15/12/2014) dan enam orang
lainnya di Bandara Soekarno-Hatta yang diduga mau bergabung dengan NIIS
(27/12/2014), penangkapan dua terduga teroris di Bima (8/1/2015), serta penembakan
sampai tewas satu orang dan penangkapan dua terduga teroris Poso di Luwu Utara
(10/1/2015).
Melihat peningkatan aktivisme kelompok dan sel teror di Indonesia,
penanganannya jelas tidak memadai dengan hanya mengandalkan aparat keamanan.
Perlawanan terhadap terorisme harus merupakan agenda semesta pemerintah dan
warga. Seluruh warga perlu meningkatkan sikap waspada (alert) terhadap orang
baru yang menunjukkan perilaku tidak lazim, seperti tidak pernah bergaul atau
sering kumpul-kumpul tertutup. Mereka patut diamati lebih dekat dan dilaporkan
kepada Polri. Saat yang sama, warga harus menghindarkan diri daripada
terjerumus ke aksi main hakim sendiri.
Banyak kalangan luar menilai Indonesia mendapat berkah sangat
bernilai dari Allah; tidak hanya kekayaan alam dan sosial budayanya, tetapi
juga dengan Islam Wasathiyah-nya. Dalam dua konferensi tentang hubungan
Arabia-Asia dan Arabia-Asia Tenggara pada pekan pertama Januari 2015—penulis
juga menjadi narasumber—para pembicara non-Indonesia melihat Islam Wasathiyah
Indonesia dengan lingkungan agama dan sosial-budayanya yang hidup berdampingan
damai memberikan lebih banyak peluang dan janji mengantarkan umat Islam beserta
umat lain ke alam kemajuan.
Di tengah audiens Arab di kedua konferensi itu, penulis mengemukakan
ortodoksi Islam Indonesia—yakni teologi Asy’ariyah, fikih mazhab Syafi’i, dan
tasawuf Ghazali- an—bukan lahan subur bagi radikalisme anutan kelompok Salafis,
Wahabi, Neo-Khawarij, dan jihadis. Aliran ini terlalu literal, kering, dan
keras bagi banyak Muslim Indonesia yang senang mempraktikkan Islam
berbunga-bunga (flowery Islam).
Meski demikian, Muslim Wasathiyah Indonesia pemegang teguh
ortodoksi Islam Indonesia, yang diwakili ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah,
dan banyak ormas semacamnya, tetap perlu diperkuat. Mereka telah tegas
menyatakan terorisme—seperti terakhir dilakukan NIIS dan Kouachi bersau-
dara—bukan jihad. Aksi terorisme mereka mencemarkan Islam dan kaum Muslim.
Penguatan itu kini kian diperlukan ketika seorang Abu Jandal
al-Tamimi al-Yamani al-Indonesia, misalnya, mengancam lewat Youtube untuk
menghancurkan TNI, Polri, dan Banser Ansor NU. Meski ancaman itu absurd, tetap
saja umat Islam Wasathiyah beserta pemerintah dan aparat keamanan wajib
meningkatkan kewaspadaan. []
Kompas, 13 Januari 2015
Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar