Efek Jera dan Darurat Narkoba
Oleh: Bambang Soesatyo
Sudah waktunya negara bertindak tegas-lugas untuk
merespons status Indonesia yang darurat narkoba (narkotika dan obat-obatan
terlarang). Tindakan tegas-lugas sangat perlu untuk menumbuhkan efek jera bagi
para produsen dan pengedar narkoba.
Masalahnya, sindikat narkoba lokal dan internasional kini tak hanya membidik komunitas pemadat, tetapi juga memperkuat cengkeramannya dengan menyusup ke tubuh birokrasi negara. Dengan begitu, urgensi dari tindakan tegas-lugas itu bukan semata-mata melindungi generasi muda dari ancaman narkoba, tetapi juga sebagai serangan balik terhadap sindikat narkoba yang coba membangun kekuatan dan menanamkan pengaruhnya di tubuh birokrasi negara.
Sebaliknya, jika sistem hukum Indonesia terus minimalis menyikapi kondisi negara yang darurat narkoba seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin birokrasi negara nantinya bisa dikendalikan sindikat narkoba. Keberhasilan sindikat narkoba menyusup ke tubuh birokrasi negara sudah bukan rahasia lagi. Oknum kepala lembaga pemasyarakatan (LP) hingga sejumlah sipir sudah dikendalikan sindikat itu.
Oknum polisi, jaksa, hakim dan oknum militer pun berhasil digarap untuk menjadi bagian dari sindikat narkoba. Para anggota sindikat pun sudah menguasai beberapa kampus perguruan tinggi. Fakta yang paling heboh adalah kontroversi grasi untuk terpidana kasus narkoba Meirika Franola alias Ola yang sempat dikabulkan Presiden. Begitu berangnya sehingga Ketua MK (saat itu) Mahfud MD menuduh sindikat narkoba sudah berhasil menyusup istana presiden.
Kalau penyusupan sindikat narkotika itu tidak dihentikan atau diperangi, Indonesia bukan lagi berstatus darurat narkoba, melainkan bisa berada dalam cengkeraman sindikat narkoba lokal maupun internasional. Dalam konteks ini, kesulitan Meksiko memerangi kartel narkoba bisa dijadikan contoh kasus sekaligus pembelajaran bagi semua unsur penegak hukum di Indonesia.
Ada begitu banyak fakta yang sudah terungkap tentang kekuatan dan keberingasan kartel-kartel narkoba di Meksiko. Tapi kasus Maria de los Angeles Pineda Villa menjadi contoh paling relevan dengan kekhawatiran terhadap keberhasilan sindikat menyusup ke tubuh birokrasi negara. Senin lalu (5/1), seorang hakim di negara bagian Guerreros, Meksiko Selatan, mengeluarkan perintah penahanan prasidang terhadap Pineda, dari tahanan rumah ke penjara Tepic di Mexico City.
Pineda adalah istri mantan Wali Kota Iguala, Jose Luis Abarca. Sebelum menikahi Abarca, Pineda sudah menjadi pemimpin kartel narkoba Guerreros Unidos yang didirikan oleh orangtuanya. Pineda menjadi pemimpin kartel itu setelah orang tuanya dipenjara dan dua saudara laki-lakinya tewas dalam bentrok antargeng kejahatan. Tindakan paling biadab dari Pineda adalah mendalangi penculikan serta pembunuhan 43 mahasiswa calon guru, sebuah tragedi yang mengguncang Meksiko pada September 2014.
Pineda, yang pada periode itu sedang giat berkampanye
untuk menggantikan posisi suaminya, marah karena terganggu oleh aksi para
mahasiswa itu. Polisi yang korup diperintahkan menyerang dan menculik puluhan
mahasiswa itu. Para mahasiswa itu kemudian diserahkan ke anggota kartel
Guerreros Unidos untuk dibunuh dan jasad mereka kemudian dibakar.
Modus Pineda bisa saja mengilhami sindikat narkoba yang sedang membangun kekuatan di Indonesia. Mereka bisa menjadi penyokong politisi dan peserta pilkada di berbagai daerah, untuk kemudian mengendalikan roda pemerintahan daerah. Harap diingat bahwa untuk saat ini, baru komunitas koruptor yang menjadi kekuatan atau unsur ilegal dalam penyelenggaraan pilkada atau agenda politik lainnya. Suatu saat nanti, peran para koruptor itu bisa digeser oleh sindikat narkoba mengingat kekuatan dana serta jaringan mereka yang nyaris tak terbatas.
Pesan
Sebelum keadaannya bertambah buruk, negara harus berani bertindak tegas-lugas terhadap produsen dan pengedar narkoba. Salah satu tindakan tegas-lugas itu adalah berani mengeksekusi mati para terpidana kasus narkoba yang grasinya sudah ditolak presiden. Keberanian negara menghukum mati para terpidana kasus narkoba lambat laun akan menumbuhkan efek jera, baik terhadap produsen dan pengedar, maupun terhadap para pemadat.
Keberanian negara sudah terlihat baru-baru ini ketika sejumlah institusi pemerintah, institusi hukum, dan Komnas HAM membahas proses eksekusi mati bagi terpidana kasus narkoba. Ada kesepakatan bahwa bagi terpidana mati yang grasinya sudah ditolak, eksekusi harus dilaksanakan. Keputusan MK tentang peluang para terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) berkalikali tidak menjadi faktor penghalang eksekusi.
Kejaksaan Agung RI juga menegaskan akan secepatnya mengeksekusi terpidana mati yang permohonan grasinya sudah ditolak. Kejaksaan Agung sedang melakukan persiapan dalam hal waktu dan tempat eksekusi serta berkoordinasi dengan institusi lain. Adapun Kapolri Jenderal Sutarman menegaskan bahwa Polri telah menyiapkan regu tembak untuk mengeksekusi terpidana mati.
Berita tentang kesiapan Indonesia melaksanakan eksekusi mati ini kiranya sudah menumbuhkan efek jera, baik bagi pimpinan sindikat lokal maupun sindikat internasional. Karena itu, pemerintah atas nama negara tidak boleh lagi mundur dari posisi itu, demi alasan apa pun. Pelaksanaan eksekusi mati harus dijadikan pesan kepada siapa pun bahwa Indonesia tidak memberi toleransi lagi kepada pelaku kejahatan narkoba.
Kalau Indonesia berani bersikap tegas kepada pelaku pencurian ikan dengan menenggelamkan kapal-kapal nelayan asing, akan menjadi sangat aneh jika Indonesia memberikan toleransi berlebih terhadap para pelaku kejahatan narkoba. Padahal, ancaman narkoba sudah sangat serius bagi generasi muda, bahkan bisa menjadi ancaman bagi ketahanan nasional.
Ketika pihak berwajib mulai menenggelamkan kapal-kapal
pencuri ikan di perairan Indonesia, sejumlah negara mulai bereaksi. Artinya,
esensipesanyang begitutegasdari penenggelaman kapal-kapal itu sudah diterima
dan disikapi. Maka, kalau institusi hukum juga mulai merealisasi tindakan
tegas-lugas berupa eksekusi kepada terpidana mati kasus narkoba, pesan itu pun
akan diterima dan disikapi mereka yang selama ini telah menjadikan Indonesia
sebagai pasar untuk barang haram itu.
Seperti apa ekses dari peredaran dan perdagangan narkoba serta dampaknya bagi para pemakai, sudah digambarkan dalam ragam ilustrasi. Setiap hari, jutaan orang tua diselimuti gelisah, takut anak-anak mereka terperangkap dalam penggunaan obat-obatan terlarang. Kecenderungan ini terus menguat karena Indonesia darurat narkoba. Nyaris tidak ada lagi ruang yang steril dari peredaran narkoba.
Barang haram itu diperjualbelikan di tempat kerja, di kampus, dan di permukiman masyarakat. Sebuah kampus di Jakarta terbuktimenjaditempat jual-beli dan pemakaian narkotika. Seorang profesor ditangkap saat mengonsumsi sabu-sabu bersama mahasiswi binaannya. Berdasarkan gambaran tentang rangkaian ekses itu, tidak ada lagi alasan untuk menoleransi pelaku kejahatan narkoba. Ujung dari kejahatan mereka adalah pembunuhan.
Mereka memang tidak langsung membunuh, tetapi dengan menjual barang dagangannya, produsen dan pengedar membunuh para pemadat secara perlahan- lahan. Data hasil survei terbaru menyebutkan bahwa di Indonesia 40 orang tewas setiap harinya akibat mengonsumsi narkoba. Maka hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba menjadi setimpal dengan perbuatan mereka.
Dan, dengan menghukum mati para terpidana kasus narkoba, diharapkan muncul efek jera. Tidak kalah penting adalah mencegah penyusupan sindikat narkoba ke tubuh birokrasi negara maupun birokrasi daerah. Eksekusi terhadap terpidana mati akan membuat jera oknum birokrat agar berani menolak ketika diajak bekerja sama oleh sindikat narkoba. []
Koran SINDO , Selasa, 20 Januari
2015 − 12:34 WIB
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai
Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar