Selasa, 09 November 2021

(Ngaji of the Day) Kebijakan Impor Daging dan Problem Halal-Haramnya

Berdasarkan hasil laporan sejumlah pelaku peternakan di lapangan, biaya produksi unggas di Indonesia terbilang mahal. Akibatnya, penjualan produk hasil peternakan juga mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Itu pun masih dibayangi informasi kerugian dari peternak perunggasan.

 

Masyarakat sendiri selaku konsumen, juga sudah ada yang mengeluhkan harga produk ayam di pasaran terbilang mahal. Sudah pasti, mahalnya produk tersebut berbanding lurus dengan ongkos produksinya.

 

Pemerintah, lewat Kementerian Peternakan (Kementan), pernah menyampaikan bahwa akan ada produk daging impor dari Brazil ke Indonesia. Namun, belakangan hal itu direvisi lagi, mengingat permasalahan di WTO (World Trade Organization). Para peternak perunggasan juga sudah lama menyerukan penolakan tersebut. Namun, kita hari ini tidak membahas mengenai permasalahan jadi atau tidaknya impor daging dari Brazil, kita hanya akan mengulas mengenai sisi kehalalan produk daging impor.

 

Problem Kebijakan Impor Produk Daging

 

Negara mana yang tidak melakukan hubungan bilateral ekspor-impor? Tak ada negara di dunia ini yang tidak melakukannya. Bagaimanapun juga, setiap negara pasti memiliki kebijakan strategis untuk melakukan ekspor impor. Tidak hanya berupa bahan industri, akan tetapi juga bahan-bahan makanan pun tak luput dari kebijakan ekspor-impor. Jadi, impor-ekspor adalah sebuah keniscayaan, dalam rumah tangga suatu negara.

 

Delik permasalahannya adalah ketika negara itu dihuni oleh mayoritas Muslim. Sementara, produk yang hendak diimpor adalah berupa produk daging hewan yang status halalnya harus melewati proses penyembelihan. Dilematisnya adalah siapa yang menyembelih hewan tersebut? Bagaimana produk daging itu diolah? Apakah sudah memenuhi standar produk syariah? Pertanyaan pamungkas, siapa yang harus melakukan inspeksi ke lokasi pabrik dan memberi tahu sejak awal informasi produk?

 

Permasalahan ini sudah pasti cukup menarik bagi kita semua khususnya masyarakat Muslim Indonesia. Ada beberapa penyebab, yaitu:

 

1.     Indonesia merupakan negara berpenghuni mayoritas Muslim

2.     Status impor produk ini tidak ada sangkut pautnya dengan tingkat kedaruratan. Bahkan, misalnya untuk produk daging unggas dan peternakan besar lainnya, stok produk peternakan dalam negeri kita masih terbilang mencukupi.

3.     Kehalalan suatu produk bagi masyarakat Muslim adalah tidak hanya berhenti pada jenis binatang yang dikonsumsi, melainkan juga cara penyembelihannya

4.     Negara asal pengimpor daging unggas (sebut misanya: Brasil) adalah dihuni oleh kurang lebih 89% umat katolik dan protestan. 10,5%-nya terdiri dari penganut kepercayaan Spiritisme dan Budhisme. Dan hanya 0,01% terdiri dari penduduk Muslim.

 

Jika memandang fenomena semacam ini, pertanyaan lanjutannya adalah: halalkah produk daging ayam impor dari Brasil tersebut dikonsumsi oleh masyarakat kita? Ada sebuah catatan menarik yang barangkali kita juga bisa turut menyertakannya, yaitu impor produk daging hasil peternakan seperti Brasil ini, tidak hanya dinikmati di Indonesia, melainkan juga negara-negara di wilayah Asia Tengah, bahkan Saudi Arabia dan notabene negeri Muslim lainnya.

 

Untuk menjawab masalah ini semua, maka dalam hal ini penting bagi kita menyuguhkan beberapa batas-batas kehalalan suatu produk daging impor dari sisi fikihnya.

 

Batasan Halal-Haram Produk Daging Impor

 

Ada beberapa ketentuan yang sudah tertuang di dalam kutub al-turats mengenai sejumlah batasan produk daging impor. Beberapa batasan tersebut adalah sebagai berikut:

 

Pertama, Kunci Kehalalan Produk

 

Di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, juz 3 halaman 326, disampaikan mengenai kemafhuman halal haramnya sebuah produk daging, sebagai berikut:

 

وتحرم مذبوحة ملقاة، وقطعة لحم بإناء إلا بمحل يغلب فيه من تحل ذكاته، وإلا إن أخبر من تحل ذبيحته، ولو كافرا بأنه ذبحها

 

“Haram hukumnya: temuan berupa buangan daging hewan yang disembelih, atau potongan daging hewan yang disembelih dan ditaruh dalam suatu wadah, kecuali di tempat tersebut hidup seseorang yang halal sembelihannya. Paling tidak, jika ada informasi bahwa daging tersebut disembelih oleh orang yang halal sembelihannya, meskipun pemberi informasi itu seorang kafir.”

 

Berdasarkan ibarat ini, bahwa kunci kehalalan produk sebuah daging itu, bisa ditentukan apabila:

1.     Di wilayah daging itu berasal, hidup pihak-pihak yang halal sembelihannya

2.     Kepastian adanya pihak yang halal sembelihannya ini, cukup hanya berdasarkan informasi. Artinya, bukan tayaqqunan (secara yaqin) melainkan cukup secara dhannan (dugaan).

 

Kedua, Sumber Informasi yang bisa digunakan untuk menyatakan Kehalalan Produk

 

Syekh Abdurrahman Ba’alawy menyampaikan di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin, halaman 37 mengenai sumber informasi yang bisa dijadikan rujukan kehalalan produk, yaitu:

 

فائدة : لا يقبل خبر الفاسق إلا فيما يرجع لجواب نحو دعوى عليه ، أو فيما ائتمنه الشرع عليه ، كإخبار الفاسقة بانقضاء عدتها ، أو إخباره بأن هذه الشاة مذكاة فيحكم بجواز أكلها ، وكذا بطهارة لحمها تبعاً ، وإن كان لا يقبل خبره في تطهير الثوب وتنجيسه وإن أخبر عن فعل نفسه ، اهـ لكن اعتمد ابن حجر والشيخ زكريا ، قبول قوله طهرت الثوب لا طهر

 

“Faedah: Khabar orang fasiq tidak bisa dijadikan rujukan kecuali dalam beberapa hal, yaitu: untuk menjawab dakwaan, atau menjawab informasi yang dibutuhkan terkait dengan perkara syara yang dipercayakan kepadanya, misalnya informasi perempuan fasiq mengenai selesainya masa iddahnya, atau informasi mengenai seekor kambing, bahwa kambing tersebut telah disembelih secara syar’i sehingga boleh dikonsumsi. Hal yang sama berarti juga berlaku atas sucinya daging kambing tersebut, karena mengikut pada asal. Namun, informasi dari pihak fasiq ini tidak bisa diterima bila isinya adalah 1) berkaitan dengan sucinya pakaian atau sebaliknya najisnya pakaian. Atau 2) dia menginformasikan mengenai perbuatan yang telah ia lakukan. Ada catatan bahwa Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalany dan Syekh Zakaria al-Anshary menyatakan bisa diterimanya ucapanya orang fasiq dalam hal sucinya pakaian, sebaliknya tidak diterima perihal penyuciannya pakaian.

 

Kandungan yang bisa kita ambil dari ibarat ini bila dikaitkan dengan konteks daging impor adalah:

1.     Butuh adanya pihak yang memberi informasi mengenai cara penyembelihan, pelaku penyembelihan hewan yang halal dikonsumsi oleh Muslim tersebut.

2.     Kebenaran informasi yang disampaikan tidak harus bersifat tayaqqunan (benar-benar meyakinkan), melainkan dhannan (dugaan kuat). Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi

 

Ketiga, Jenis Informasi Kehalalan Hewan yang diimpor

 

Di dalam kitab Hasyiyah I’anatu al-Thalibin, juz 1 halaman 125, Syekh Abdurrahman Bakri bin Syatha’ menjelaskan:

 

ولو شك أنه لبن مأكول أو لحم مأكول أو غيره، أو وجد شاة مذبوحة ولم يدر أن ذابخها مسلم أو مجوسي، أو نباتا وشك أنه سم قاتل أم لا، حرم التناول، ولو أخبر فاسق أو كتابي بأنه ذكاها قبل

 

"Jika terjadi keraguan mengenai informasi asal susu atau daging hewan yang ma’kul al-lahmi (bisa dikonsumsi) atau tidak, misalnya ada seekor kambing yang sudah disembelih, namun tidak diketahui siapa penyembelihnya, apakah Muslim atau majusy (penyembelah api), atau ada sebuah tumbuhan, namun tidak diketahui apakah tumbuhan itu beracun yang bisa membunuh atau tidak, maka haram hukumnya menkonsumsi itu semua. Akan tetapi, bilamana terdapat seorang fasiq yang memberikan informasi (misalnya) bahwa hewan itu telah ia sembelih maka informasi itu bisa diterima.”

 

Kandungan yang bisa dipetik dari ibarat ini adalah bahwa kehalalan suatu produk daging impor adalah bergantung pada:

 

1.     Butuh keberadaan pihak yang mau menjadi informan mengenai cara penyembelihan dan pelaku penyembelihan hewan yang halal dikonsumsi oleh Muslim.

2.     Kebenaran informasi yang disampaikan tidak harus bersifat tayaqqunan, melainkan dhannan. Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi

 

Keempat, Kriteria Penyembelih Produk Hewan yang Diimpor

 

Berdasarkan penjelasan dari kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz 13, halaman 298, disampaikan mengenai kriteria informasi tentang penyembelih sebagai berikut:

 

لو وجدت شاة مذبوحة فقال ذمي : ذبحتها حلت، على أن قولهم لو وجد قطعة لحم في إناء أو خرقة ببلد لا مجوس فيه أو والمسلمون فيه أغلب فطاهرة لأنه يغلب على الظن أنها ذبيحة مسلم يقتضي تصديق المسلم إليه مطلقا لتأييد دعواه بغلبة الظن المذكورة

 

"Andaikata ditemukan adanya kambing yang disembelih, lalu seorang kafir dzimmy mengaku bahwa ia telah menyembelihnya, maka halal kambing sembelihan itu. Hal ini berdasarkan pendapat para ulama bahwa jika suatu ketika ditemukan adanya sekerat daging dalam suatu wadah, atau dibungkus dalam suatu kemasan, dan terdapat di suatu negeri yang penduduknya bukan kaum majusi (ubadatu al-ashnam), atau di negeri itu ada warga Muslim yang menduduki mayoritas, maka daging tersebut dihukumi suci karena alasan kuatnya dugaan (ghalabat al-dhan) bahwa itu adalah sembelihannya orang Muslim. Sasaran dari qaul ini sebenarnya adalah penyandaran kebenaran atas orang Muslim secara mutlaq, demi menjaga dakwahnya agar terus berjalan. Oleh karenanya, ditetapkan batasan ghalabat al-dhan sebagaimana yang telah dituturkan.”

 

Mahfum dari ibarat ini adalah:

1.     Bahwa dalil asal sembelihan yang sah secara syara’ adalah sembelihannya orang Muslim

2.     Sembelihannya kafir kitaby hukumnya adalah halal, berdasarkan istishab. Tujuan dari istishab ini adalah untuk menjaga agar dakwah Muslim tetap berjalan di negara daging impor itu berasal.

3.     Yang mengundang permasalahan kita adalah kehalalan itu masih ada hubungannya bila kondisi Muslim masih digambarkan sebagai yang mayoritas. Namun, setidaknya ada penegasan bahwa sembelihannya kafir dzimmy (kitaby) adalah halal.

 

Kelima, Jenis Hewan yang dijadikan Produk Impor

 

Penting untuk kita ketahui bahwa dalil ashal kehalalan suatu produk adalah bergantung pada jenis asal hewan yang diproduksi. Jika berasal dari jenis hewan halal, maka secara umum, produk tersebut adalah halal. Bila berasal dari hewan haram, maka haram.

 

Imam Nawawi rahimahullah, dengan mengutip pandanga Imam al-Mutawally rahimahullah, menyampaikan dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, halaman 210, sebagai berikut:

 

(فرع) هذا الذى ذكرناه كله فيما علم أن أصله الطهارة وشك في عروض نجاسته أما ما جهل أصله فقد ذكر المتولي فيه مسائل يقبل منه بعضها وينكر بعض فقال لو كان معه إناء لبن ولم يدر أنه لبن حيوان مأكول أو غيره أو رأى حيوانا مذبوحا ولم يدر أذبحه مسلم أم مجوسي أو رأى قطعة لحم وشك هل هي من مأكول أو غيره أو وجد نباتا ولم يدر هل هو سم قاتل ام لا فلا يباح له التناول في كل هذه الصور لانه يشك في الاباحة والاصل عدمها هذا كلام المتولي

 

"Permasalahan Cabang: Semua yang telah kita tuturkan ini, pada dasarnya berangkat dari pengetahuan bahwa ashal (daging hewan yang disembelih, bisa dipastikan) adalah berasal dari hewan suci. Keraguan terjadi terhadap penilaian sisi kenajisan, khususnya apabila daging itu tidak diketahui asal hewannya. Imam al-Mutawalli menyampaikan, pada kasus tidak diketahuinya asal daging semacam ini terdapat beberapa masalah. Di satu sisi, ada indikasi bisa diterima kehalalannya, namun di sisi lain tidak bisa diterima. Selanjutnya, al-Mutawalli menyampaikan: “andaikata ada sebuah wadah berisi susu sebelanga, namun tidak diketahui asa muasal susu itu, apakah dari binatang ma’kul al-lahmi atau tidak, atau ada seekor hewan yang sudah disembelih, dan tidak diketahui siapa penyembelihnya, apakah Muslim atau majusi, atau dilihat adanya sekerat daging yang diragukan apakah ia berasal dari hewan yang halal dikonsumsi atau tidak, atau ada tumbuhan yang diragukan apakah beracun atau tidak, maka dalam kondisi keraguan semaacam ini, tidak dibenarkan mengkonsumsi itu semua dengan alasan syak (keraguan) terhadap status kebolehannya. Sebagaimana kaidah: al-ashlu adamuha (Dalil asal mengkonsumsi sesuatu adalah ketidakbolehannya (sebab adanya keraguan)). Ini adalah pernyataan Syekh al-Mutawalli.”

 

Berdasarkan penjelasan dari ibarat ini, maka kita bisa memutuskan hukum dari produk daging impor dari wilayah mayoritas non Muslim, sebagaimana Brazil itu sebagai berikut:

 

1.     Daging impor dari Brasil atau negara lainnya yang mayoritas non-Muslim itu, harus terdiri dari hewan yang secara dhahir merupakan ma’kul al-lahmi (halal dikonsumsi dagingnya oleh Muslim).

2.     Jika kriteria pertama ini sudah terpenuhi, maka selanjutnya berlaku hukum asal mengkonsumsi daging hewan ma’kul al-lahmi tersebut adalah boleh.

3.     Kehalalan produk bisa diperkuat dengan data bahwa di wilayah negara asal daging itu diproduksi (misalnya: Brasil), terdapat ketegasan, bahwa a) mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik dan Protestan, yang secara umum dikelompokkan dalam kafir kitaby, dan b) Ada penduduk Muslim yang tinggal di sana, meskipun tidak menempati mayoritas.

 

Penutup

 

Satu hal yang penting untuk diberikan catatan adalah bahwa semua hal di atas masih memiliki kerangka yang erat hubungannya dengan keberadaan suplai informasi. Untuk itu, perlu adanya lembaga yang dapat memberikan informasi dan berkompeten dalam produk halal itu, dibanding kita mendapatkan informasi dari kalangan yang fasiq (misalnya). Alhasil, pendirian lembaga itu sebagai menempati posisi krusial bagi Muslim Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Aswaja NU Center – PWNU Jawa Timur; sarjana biologi UIN Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar