Senin, 15 November 2021

KH Nahrawi Abdussalam, Santri Betawi yang Disegani Ulama Timur Tengah (Bagian 4) - Selesai

Kembali dan Berkhidmah di Tanah Kelahiran

 

Pada tahun akhir tahun 1989 pada usianya yang ke-58, KH Nahrawi Abdussalam dan keluarganya pulang ke Indonesia, Jakarta, tempat terakhir pengabdian dirinya sampai akhir hayat. Di Jakarta, ia mendirikan Yayasan An-Nahrawi yang di antaranya bergerak di bidang pencetakan kitab-kitab karyanya sendiri, seperti Kitab Muhammad fil Quran dan lainnya. Namun, yayasan ini belum aktif lagi setelah ia wafat.

 

Seperti ulama Betawi lainnya, selama di Jakarta, Kiai Nahrawi mengajar juga di beberapa majelis taklim di berbagai masjid, di antaranya di Masjid AI-Munawar, Pancoran, Jakarta Selatan, yang dekat dengan rumahnya, Masjid Agung At-Tin, dan Masjid Istiqlal.

 

Kiai Nahrawi juga mengajar di Majlis Al-Bahtsi wat Tahqiq As-Salam yang mengkaji kitab karyanya “Al-Imam As-Syafi’i fi Madzabihil Qadim wal Jadid“ yang kemudian diteruskan oleh KH Ahmad Kazruni Ishaq dan sekarang diteruskan oleh Dr KH Ahmad Lutfi Fathullah.

 

Majlis Al-Bahtsi wat Tahqiq As-salam yang jika diterjemahkan bisa diartikan sebagai majelis pembahasan dan penjelasan ‘Assalaam’. Namun, pengertian tahqiq atau penjelasan dari majelis ini adalah pendalaman kitab dengan seksama, memperjelas hal-hal yang kurang jelas dari kitab. Kitab yang dimaksud adalah tentu saja Kitab Imam Syafi’i fi Mazhabaihi, Al-Qadim wal Jadid sehingga nama majelis taklim ini sangat erat dengan penulis kitab tersebut.

 

Hal ini dijelaskan oleh Ustadz Imam Syarifuddin, salah seorang pengurusnya, bahwa nama majelis taklim ini terbentuk melalui musyawarah yang dihadiri ulama dan dipimpin oleh Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdussalam yang sekaligus sebagai penggagas dan pendirinya. Peserta musyawarah sepakat untuk mengambil nama majelis ini dari nama akhir pendirinya (Salam). (Lihat Rakhmad Zailani Kiki, “Majlis Al-Bahtsi wat Tahqiq As-Salam, Majelis Pengkajian Mazhab Syafi`i”, Majalah Info Ulama, Jakarta: MUI Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2014, Edisi 2, hal.42-43).

 

Majelis taklim ini memiliki kekhasan, yaitu ia merupakan pengajian keliling dari masjid ke masjid pada setiap dua pekan sekali, yaitu hari Sabtu, waktunya subuh berjamaah. Sejak tahun 1993 sampai saat ini pengajian sudah diadakan sebanyak 377 kali pengajian. Pengajian berjumlah lebih kurang sebanyak 21 kali pada setiap tahunnya dengan tiga kali pergantian guru.

 

Guru perintis adalah almarhum Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdussalam lalu dilanjutkan oleh guru penerus pertama almarhum KH Abdul Mu’thi, dan kemudian oleh guru penerus, yaitu KH A Kazruny Ishak. Sekarang pengajian ini diteruskan oleh Dr KH Ahmad Lutfi Fathullah. Adapun kitab yang dibaca tetap Kitab Imam Syafi’i fi Mazhabihil Qadim wal Jadid.

 

Selain ulama dan para ustadz, Pejabat Pemprov DKI Jakarta yang pernah aktif mengikuti majelis taklim ini adalah Gubernur Provinsi DKI Jakarta Dr Ing H Fauzi Bowo yang sekarang ini juga menjabat sebagai pembinanya. Ia aktif dalam pengajian ini sejak belum menjabat sebagai wakil gubernur. Lainnya adalah mantan Sekda DKI Jakarta yang pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga JIC H Muhayat.

 

Adapun jamaah majelis ini umumnya datang dari daerah Jakarta Selatan, yaitu Mampang Prapatan dan sekitarnya. Namun tidak sedikit yang datang dari daerah Jakarta Timur dan lain sebagainya dengan jumlah sekitar seribu orang.

 

Alasan penyelenggaraan majelis ini dari masjid ke masjid bertujuan untuk ta’mirul masajid dan agar syiar dan dakwah tidak hanya terfokus di satu tempat saja hingga manfaat. Faedah dari pengajian ini bisa dirasakan oleh orang banyak, dan tali silaturrahmi antara umat Islam khususnya di Jakarta dapat terjalin lebih luas, tidak monoton pada satu tempat saja. Karena kekhasan ini, majelis ini tidak memiliki tempat atau bangunan.

 

Alamat yang tertera dalam kop surat hanya alamat untuk koordinasi jadwal pengajian dan pembuatan undangan. Kediaman pribadi pengurus harian dengan telepon dan mesin fax milik pribadi dapat digunakan sebagai alat koordinasi. Sedangkan masjid-masjid yang mau menerima pengajian didaftarkan oleh pengurus harian dan dijadwalkan sesuai dengan permintaan. Bahkan ada pula masjid yang memang sudah komitmen akan mengambil pengajian di tempatnya setiap tahun.

 

Majelis ini tidak terbatas untuk ulama dan asatidz, tapi untuk masyarakat secara umum. Siapa saja yang ingin mendalami mazhab Imam Syafi’i boleh mengikuti pengajian ini. Satu minggu sebelum pengajian, pengurus harian dari majelis ini mencetak undangan kurang lebih sebanyak 630 lembar dan disebarkan ke masjid-masjid dan mushalla agar diumumkan kepada para jamaahnya. Adapula undangan yang ditujukan kepada pribadi, yaitu alim ulama dan asatidz dan tokoh masyarakat.

 

Masih menurut Ustadz Imam Syarifuddin, alasan dikajinya terus menerus Kitab Al-Imam As-Syafi'i fi Madzabihil Qadim wal Jadid karena mayoritas umat Islam di Indonesia, khususnya di Jakarta adalah bermazhab Syafi’i. Maka, sudah sewajarnya Mazhab Syafi’i dikaji dan dipelajari lebih mendalam oleh masyarakat umum agar mereka tidak menjadi muqallid ‘amiy, yaitu pengikut yang buta–dalam fiqih diumpamakan seperti burung beo yang hanya bisa berucap tapi tidak tahu maknanya–yang hanya ikut-ikutan bermazhab Syafi’i. Pengikut seperti ini sangat rentan ditipu dan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang, aliran-aliran sesat atau bidah yang sesat dan menyesatkan.

 

Selain mengajar di majelis taklim, Kiai Nahrawi Abdussalam juga pernah menjadi dosen di Fakultas Syari’ah lAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Dikarenakan jarak yang jauh dari tempat tinggal dan kesibukan lainnya, ia hanya sempat mengajar di lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama satu semester.

 

Meskipun mengajar di majelis taklim, ia jarang disebut ”Kiai.” Ia lebih sering dipanggil ”doktor” saja atau sering dipanggil ”syekh,” seperti budayawan Betawi, Ridwan Saidi, yang tidak menyebutnya kiai ketika mengisahkannya pada buku karyanya yang berjudul Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. Selain mengajar, Kiai Nahrawi juga tercatat sebagai pengurus pada Majelis Ulama Indonesia Pusat, yaitu pada Komisi Fatwa dan Hukum, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengkajian Obat Makanan (LP-POM) MUI Pusat, dan salah seorang Ketua MUI Pusat.

 

Karya-karya

 

Syekh Dr Nahrawi Abdussalam adalah sedikit dari ulama Betawi yang memilik banyak karya tulis yang diakui secara luas di dunia Islam. Karya-karyanya antara lain Muhammad fil Quran, Mukhtasar al-Bukhari wal Muslim, dan Al-Qiraatul ‘Ashr. Namun, yang monumental adalah kitab karangannya yang berjudul Al-Imam As-Syafi’i fi Madzabihil Qadim wal Jadid yang telah diterjemahkan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) dan diterbitkan bersama penerbit Hikmah pada tahun 2008 H dengan judul Ensikiopedia Imam Syafi’i.

 

Kitab Al-Imam As-Syafi’i fi Madzabihil Qadim wal Jadid merupakan disertasi KH Ahmad Nahrawi Abdussalam untuk meraih gelar Doktor Perbandingan Mazhab Universitas Al-Azhar, Kairo. Menurut Prof Syekh Abdul Ghani Abdul Khaliq, salah seorang guru besar pada universitas tersebut, kitab karya Kiai Nahrawi merupakan karya yang monumental, luar biasa, dan sangat bermanfaat karena membahas semua aspek yang berkaitan dengan Imam Syafi’i.

 

Menurut almarhum KH Saifuddin Amsir, salah seorang Rais Syuriyah PBNU dan pengurus MUI Pusat, tidak ada satu karya yang membahas Imam Syafi’i di dunia Islam selengkap karya Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdussalam ini. Begitu berbobotnya kitab ini, nyaris tidak ada satu pun penulis tentang mazhab Syafi’i, khususnya di Indonesia, yang tidak menjadikan kitab ini sebagai referensinya.

 

Wafat

 

Pada tanggal 21 Syawal 1419 H atau 7 Februari 1999, masyarakat Betawi dan umat Islam di Indonesia, khususnya di Jakarta, kehilangan salah satu ulama terbaiknya, Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdussalam. Kiai Nahrawi wafat di usia 68 tahun dengan meninggalkan karya yang begitu berharga bagi umat Islam. Ia dimakamkan pada pemakaman keluarga di Pedurenan (Belakang JMC, Jakarta Selatan). ***

(selesai...)

 

[]

 

(Rakhmad Zailani Kiki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar