Senin, 22 November 2021

(Hikmah of the Day) 4 Cara Mbah Ngis Mendamaikan Kedua Putranya yang Bertengkar

Pertengkaran antarsaudara kandung atau yang dalam psikologi disebut sibling rivalry sudah terjadi sejak awal sejarah manusia, yakni saat terjadi pertengkaran antara Habil dan Qabil yang berakhir dengan terbunuhnya Habil oleh Qabil. Keduanya adalah putra Nabi Adam ‘alaihis salam. Pertengkaran antarsaudara kandung umum terjadi nyaris di setiap keluarga. Di keluarga Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994 - biasa dipanggil Mbah Ngis) terdapat 13 anak kandung. Mereka tidak luput dari pertengkaran satu sama lain, misalnya antara kedua putranya yang sama-sama masih usia anak SD.

 

Setiap kali terjadi pertengkaran di antara mereka, Mbah Ngis memiliki caranya sendiri dalam melerai, mendamaikan dan merukunkannya kembali. Mbah Ngis adalah seorang ibu berhati lembut. Mbah Ngis tidak menyukai kekerasan. Ketika terjadi pertengkaran fisik di antara dua putranya yang selisih umurnya tidak terpaut jauh karena persoalan tertentu, Mbah Ngis berusaha melerainya dengan cara-cara yang halus.

 

Mbah Ngis memiliki empat cara untuk melerai pertengkaran sekaligus mendamaikan. Cara-cara itu diterapkan secara urut. Artinya, jika cara pertama sudah cukup efektif, maka tidak perlu dilanjutkan dengan cara kedua. Jika cara kedua sudah efektif, maka tidak perlu dilanjutkan dengan cara ketiga. Jika cara ketiga sudah cukup efektif, maka tidak perlu dilanjutkan dengan cara keempat.

 

Cara pertama, Mbah Ngis memberikan nasihat secara lisan. Untuk melerai pertengkaran di antara kedua putranya, Mbah Ngis memberikan nasihat dengan tutur kata yang halus. Mbah Ngis tidak suka membentak-bentak disertai hujatan dan makian, apalagi menggunakan tangannya untuk memukul mereka. Biasanya dalam memberikan nasihat Mbah Ngis mengatakan, “Padudon kuwi dosa. Kuwi bujukane setan. Ayo leren, ora sah padu, ben ora dadi kancane setan (bertengkar itu dosa. Itu bujukan setan. Ayo berhenti bertengkar, biar tidak jadi temannya setan).”

 

Terkadang nasihat lisan ini sudah cukup efektif untuk menghentikan pertengkaran. Namun hal ini bergantung pada tingkat keseriusan masalah yang mereka perselisihkan. Jika masalah mereka sepele, mereka biasanya mudah untuk menerima nasihat dan segera rukun kembali. Sebaliknya jika persoalannya cukup serius atau berat, mereka tidak cukup hanya dengan dinasihati secara lisan.

 

Cara kedua, jika cara pertama tersebut belum membuahkan hasil, maka Mbah Ngis akan menggunakan cara kedua, yakni menggunakan kedua tangannya untuk melerai pertengkaran antara kedua putranya dengan tetap menasihati mereka secara lisan. Jadi cara kedua ini merupakan gabungan antara lisan dengan tangan yang biasanya juga dimanfaatkan Mbah Ngis untuk memediasi mereka.

 

Sebagai mediator Mbah Ngis berusaha bersikap tengah sehingga tidak memihak salah satu pihak. Mbah Ngis tidak selalu menekankan yang besar harus mengalah tetapi bagaimana agar kedua belah pihak bisa menemukan solusi yang bisa disepakati bersama. Untuk itu, Mbah Ngis kadang menawarkan win win solution kepada kedua putranya yang bertengkar itu untuk menerima atau menolaknya. Jika mereka dapat menerima solusi yang ditawarkan Mbah Ngis, maka selesailah sudah permasalahannya. Jika tidak, Mbah Ngis akan menggunakan cara ketiga.

 

Cara ketiga, cara ini adalah dengan menggunakan figur Mbah Kiai Umar bin Abdul Mannan yang tak lain adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta. Mbah Umar adalah sosok yang sangat karismatik dan sangat dihormati di lingkungan pesantren tersebut. Hubungan Mbah Ngis dengan Mbah Umar adalah saudara seayah. Dengan kata lain kedua putra Mbah Ngis adalah keponakan Mbah Kiai Umar. Mbah Ngis menyebutnya “Pakde Umar” untuk mbasakke putra-putrinya.

 

Karisma Mbah Umar tidak hanya memancar kuat di antara para santri dan guru di pondok tersebut tetapi juga di antara kerabat Mbah Umar sendiri termasuk di antara kedua putra-putri Mbah Ngis. Mbah Umar sangat disegani di kalangan putra-putri Mbah Ngis sehingga ketika mereka sulit didamaikan dengan dinasihati secara lisan dan dilerai dengan tangan, maka Mbah Ngis mengancam mereka untuk dilaporkan kepada Mbah Umar.

 

Biasanya begitu diancam akan dilaporkan kepada Mbah Umar, kedua putra Mbah Ngis segera menurunkan sikap permusuhan mereka satu sama lain. Bukan karena Mbah Umar galak atau keras, tetapi kelembutan Mbah Umar dan pancaran karismanya yang kuat sangat berpengaruh terhadap psikologi mereka. Begitu disebutkan nama “Pakde Umar” saja, nyali mereka menjadi ciut ketika mereka sedang berbuat salah seperti sedang bertengkar. Mereka tidak sanggup dihadapkan pada Mbah Umar yang sangat mereka hormati sekaligus segani.

 

Cara keempat, cara ini dilakukan Mbah Ngis sebagai langkah terakhir. Jika cara pertama yang menekankan pada nasihat lisan tidak dihiraukan, demikian pula jika cara kedua yang menekankan pada upaya melerai secara fisik tidak efektif, maka Mbah Ngis akan menempuh cara ketiga sebagaimana disebutkan di atas. Tetapi jika cara ketiga ternyata juga tidak mempan, Mbah Ngis akan menggunakan jurus terakhir, yakni menderaikan air mata sebagai ungkapan kekecewaan sekaligus kesedihan Mbah Ngis yang mendalam atas kedua putranya yang tak mau dilerai. Tangis itu dilakukan Mbah Ngis sambil menyebut-nyebut nama Allah dalam doanya.

 

“Allah, Allah, Astaghfirullah... Ampuni aku ya Allah, ampuni dosa kedua anakku ya Allah. Berilah mereka petunjuk-Mu, bukalah hati mereka untuk lebih memilih cara damai dari pada pertengkaran dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Ya Allah hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan.”

 

Doa itu diulang-ulang Mbah Ngis dalam linangan air mata. Biasanya begitu kedua putra Mbah Ngis tersebut melihat air mata Mbah Ngis bercucuran, mereka menghentikan pertengkaran seketika. Derai air mata yang diikuti doa-doa munujat kepada Allah efektif sekali menyadarkan mereka. Mereka sadar telah mengecewakan Mbah Ngis sebagai ibunya sedemikian rupa. Hati mereka tidak kuat melihat Mbah Ngis menangis. Merekapun ikut menangis dan meminta maaf kepada Mbah Ngis. Mereka akhirnya dapat didamaikan tidak dengan kekerasan tetapi cukup dengan air mata kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. []

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar