Senin, 15 November 2021

KH Nahrawi Abdussalam, Santri Betawi yang Disegani Ulama Timur Tengah (Bagian 2)

Berdagang, Kuliah, dan Berdagang

 

Setamat dari Jami`atul Khair, KH Nahrawi Abdussalam remaja (1931 M-1999 M) sempat kebingungan harus melanjutkan pendidikan ke mana. Sebab saat itu di Jakarta belum ada pendidikan tinggi. Akhirnya, sambil belajar mandiri (otodidak), dia menggunakan sebagian waktunya untuk berdagang minyak kelapa atau minyak goreng.

 

Menurut penuturan Kiai Nahrawi, ketika itu di kampungnya pedagang minyak kelapa masih langka kecuali di daerah Sawah Besar. ”Akhirnya saya berdagang dan besar di sana, di rumah paman saya H Royani (putra tertua Guru Mughni) yang anak-anaknya semua berpendidikan Barat,” ujarnya.

 

Saat sedang berdagang itulah, ia mendengar bahwa telah dibuka Sekolah Tinggi Islam (STI) oleh Masyumi di wilayah Gondangdia, Menteng. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung daftar dan dinyatakan lulus seleksi. Di STI itulah ia untuk pertama kalinya merasakan belajar di perguruan tinggi. Menurut Kiai Nahrawi, STI itu hebat. Pelajarannya sudah tinggi.

 

Di antara guru-gurunya di sana adalah HM Rasjidi dan Sulaiman. Sayang, baru enam bulan kuliah, pasukan NICA Belanda melakukan agresi secara tiba-tiba. STI kemudian dipindahkan ke Yogyakarta bersamaan dengan pemindahan Ibukota Negara Republik Indonesia.

 

Sebenarnya, Kiai Nahrawi juga ingin ke Yogyakarta meneruskan kuliahnya di STI. Namun ibunya, Najmiyah binti Guru Mughni, melarangnya. ”Beliau tidak mau pisah dari saya,” kenangnya. Walhasil, kuliahnya berhenti. Dia kembali berdagang.

 

Menurutnya, ketika bisnis minyak kelapanya mulai maju dia mulai sering keluar kota, keluar daerah, yaitu ke Kerawang (Karawang maksudnya), Cirebon, Semarang, Solo, bahkan Yogyakarta. Perjalanan dan pengalaman dagang serta dari hubungannya dengan para pedagang berbagai jenis barang dari kota atau daerah yang dikunjungi inilah membuatnya tidak hanya menjual minyak kelapa saja, tetapi juga barang lainnya, seperti benang dan hasil bumi.

 

Usahanya saat itu kadang mengalami untung, kadang rugi, bahkan pernah gulung tikar. Namun, saat menetap di Pedurenan, dia banting stir menjadi penjahit wol dan tukang sol sepatu, yang kemudian produknya dijualnya di Pasar Baru. Dagangnya itu ternyata laku dan laris manis, usahanya berkembang.

 

”Di Pedurenan, saya pernah punya pabrik sepatu dengan 40 orang kuli. Dan keuntungan saya selama satu hari bisa mencukupi untuk satu tahun,”ujar Kiai Nahrawi.

 

Meskipun sukses dalam usaha dan tekun menggelutinya, semangat belajarnya tetap seperti dulu, senang belajar. Di sela-selanya belajar, dia meluangkan waktu untuk belajar secara rutin. Bahkan, dia pernah ikut les privat kepada Syihabudin Latief, rekan ayahnya yang juga pernah menjadi Menteri Penerangan pada masa Kabinet Amir Syarifuddin.

 

”Saya belajar banyak pengetahuan umum dengan beliau. Orangnya baik sama saya. Saya dianggap anaknya sendiri. Saya belajar di rumahnya, di Halimun (daerah Setiabudi-Manggarai), tak jauh dari rumah saya,” kenang Kiai Nahrawi tentang gurunya itu.

 

Pada satu saat, ibunya berniat ingin melaksanakan ibadah haji. Atas kesepakatan keluarga dia diminta untuk menemaninya. Dia langsung menyetujuinya dengan perjanjian jika ibadah haji telah selesai dia tidak balik ke Tanah Air, tetapi tetap tinggal di Jeddah. Tujuannya, agar dia dapat mencari-cari informasi untuk dapat belajar ke Mesir.

 

Dia sempat berkonsultasi dengan gurunya, Syihabudin Latief. Latief ini sempat berkata, ”Jika Saudara mau sekolah ke Mesir, biar saya mintakan surat ke Menlu, Haji Agus Salim, teman dekat saya. Nanti tembusannya saya pegang dan aslinya dikirim ke Dubes RI untuk Mesir dan Arab Saudi.”

 

Dia merasa senang sekali atas kebaikan gurunya itu. Sebab yang menjadi Duta Besar untuk Mesir dan Arab Saudi waktu itu adalah HM Rasjidi, gurunya sewaktu kuliah di STI. Apalagi, ini yang penting, pemerintah Mesir ketika itu tengah memberlakukan peraturan bahwa seseorang tidak mungkin bisa sekolah di sana tanpa ada jaminan pemerintah atau pihak swasta dari negara yang bersangkutan. Nah, setelah segala sesuatunya beres, tepat pada tanggal 8 Agustus 1949, saat usianya 18 tahun, Kiai Nahrawi remaja dan ibunya berangkat pergi haji dengan kapal laut.

 

Setelah kira-kira dua minggu berlayar di laut dan sempat merayakan Hari Kemerdekaan RI di kapal laut, sampailah dia dan ibunya di pelabuhan Jeddah. Dengan sabar dan telaten, dia membimbing ibunya melaksanakan ibadah haji. Ketika proses ibadah haji selesai, ibunya kembali ke Tanah Air. Sedangkan dia tetap berada di Tanah Suci, di kota Makkah dan langsung menemui Dubes RI, HM Rasjidi, untuk menanyakan perihal surat rekomendasi Menlu RI yang pernah dijanjikan. Namun ternyata surat tersebut belum juga sampai.

 

”Belum, surat itu belum sampai ke tangan saya. Nanti kalau sudah sampai, saya kasih tahu saudara,” demikian tuturnya menirukan perkataan HM Rasjidi.

 

Sampai satu tahun menunggu, dia belum juga berhasil mendapatkan surat rekomendasi itu. Akhirnya, untuk mengisi waktu luangnya, dia memutuskan untuk belajar di Masjidil Haram.

 

Sebetulnya, menurut cerita Kiai Nahrawi, di Arab Saudi ketika itu sudah ada beberapa sekolah yang bisa dan layak dijadikan tempat belajar, seperti Darul `Ulum, Al-Falah, dan lain-lain. Namun, dia sama sekali tidak tertarik untuk masuk ke sana karena tujuannya datang ke Timur Tengah sudah dengan tekad yang bulat: hanya ingin belajar di Mesir, bukan di Arab Saudi.

 

Ngaji dan Insiasi Merintis Ikatan Pelajar Indonesia di Makkah

 

Keputusannya untuk ngaji di Masjidil Haram tidak sia-sia. Walau hanya belajar secara informal, dia bisa hafal Al-Qur’an dalam waktu tiga bulan sepuluh hari! Dia juga sempat menghafal Kitab Jam`ul Jawami dan Matnul Fiqih lil Imam As-Suyuthi.

 

”Itu semua dapat saya lakukan karena banyak sekali waktu yang terluang. Juga karena keadaan di Makkah sangat mendukung konsentrasi saya. Saya rajin sekali waktu itu. Saya bisa baca Al-Qur’an 8 juz sehari. Setiap jam 12 malam ke atas, saya mulai menghafal, tempatnya di bawah Hijir Ismail,” kenangnya.

 

Waktu di Makkah ini, dia sudah memiliki banyak teman, khususnya yang berasal dari Indonesia. Dari hasil pertemanannya yang cukup kental itu, dia memiliki kesan bahwa para pelajar Indonesia yang belajar di Makkah memiliki ciri yang-menurut istilahnya sendiri-”kesantri-santrian” dan ”keortodoks-ortodoksan.”

 

Menurutnya, mereka kebanyakan datang dari kampung-kampung, berbeda dengan dirinya yang, meski keturunan orang Betawi Pedurenan (Jakarta Selatan), tapi pendidikan dasarnya sudah agak berbau ”luar” karena pernah belajar di sekolah Belanda. Dari situlah muncul keinginannya untuk membentuk sebuah organisasai ikatan pelajar Indonesia.

 

Sayangnya, pada waktu itu, di Arab Saudi berlaku larangan untuk membuat organisasi, termasuk ikatan, apalagi dari kalangan pelajar. Tapi untunglah, karena dia pandai bergaul dengan siapa saja, akhirnya dia punya bekingan (pendukung) yang cukup kuat dari opsir Arab Saudi bernama Syekh Abdul Jalil (dari Jabal Abi Qubais) dan Dr Sulaiman. Nama terakhir ini tentu tidak asing lagi baginya karena Dr Sulaiman yang waktu itu menjadi Staf Dubes RI di Arab Saudi ini adalah mantan gurunya juga di STI, seperti juga HM Rasjidi.

 

”Saya dekat sekali dengan Pak Sulaiman. Setiap ada tamu negara (dari Indonesia) datang ke Arab Saudi, saya selalu dipilih menjadi guide untuk mengantar mereka ke mana-mana,” kenangnya.

 

Akhirnya, dia berhasil membentuk organisasi bernama Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH). Tujuannya antara lain melayani jamaah haji dari Indonesia. Juga melatih anggota IPIH dengan berbagai keterampilan, seperti cara berpidato, bergaul, belajar dan lain-lain.

 

Menurutnya, dari berbagai keterampilan yang diberikan IPIH kepada anggotanya, banyak perubahan pada diri anggota IPIH tersebut: dari yang ortodoks menjadi agak terbuka, yang pendiam atau pemalu jadi pandai bicara dan banyak lagi.

 

Kawan-kawannya, saat itu, antara lain Zainuddin Mansyur (mantan Anggota DPR RI), Usman Yahya (mantan Rektor IAIN Ar-Raniri, Aceh), Abdul Qadir Bugis, dan Mukmin Mercik. Relasinya pun kian luas, termasuk dengan para pejabat Kerajaan Arab Saudidan Kedutaan Besar RI. Misalnya, Imron Rosyadi, Idham Khalid (KH Idham Khalid, mantan Ketua Umum PBNU), Abi Suja, Hasan Nasir (mantan gurunya di STI), Hasyim (Palembang), dan lain-lain.

 

Kedua nama terakhir, yaitu Hasan Nasir dan Hasyim, yang kemudian membuat jalannya ke Mesir semakin terbuka. Hasyim mengusulkan agar dia menjadi turis dulu ke Mesir, kemudian menjadi pelajar. Hasyim juga menyarankan agar dia mengajak teman-temannya yang lain.

 

Dia amat senang, dan langsung mengajak teman-temannya, yaitu Zainuddin, Usman, Qadir dan Mukmin. Namun karena dirinya lagi bokek (tidak ada uang) dia-dibantu kawan-kawannya di IPIH, seperti Noer Hasan, Salam Jaelani, dan lain-lain-terpaksa cari uang dulu: dari menjahit pakaian haji, sampai jadi guide jamaah haji sambil jualan es dan kacang goreng!

 

”Selama dua bulan, kami benar-benar banting tulang. Tapi, syukurlah waktu itu kami bisa untung sampai 3000 riyal, bisa naik haji dan pergi ke Mesir lagi,” kenang Kiai Nahrawi bangga. []

 

(bersambung...).

 

(Rakhmad Zailani Kiki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar