Kamis, 02 Maret 2017

Azyumardi: Standardisasi Pesantren (2)



Standardisasi Pesantren (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Jika diikuti lebih lanjut, apa yang disebut sebagai standardisasi kurikulum ponpes kelihatan boleh-boleh saja. Ini bisa disimak dari pernyataan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Mochsen.

Dia menyatakan, standardisasi kurikulum ponpes dimaksudkan untuk memastikan terselenggaranya pendidikan yang bertanggung jawab dengan kualitas yang terpelihara. Sekali lagi, meski standardisasi kurikulum ponpes mengandung niat baik, bisa diduga perdebatan pro dan kontra muncul tidak hanya di kalangan pengasuh pesantren, tetapi juga pemikir dan praktisi pendidikan Islam umumnya.

Masalahnya, dengan kompleksitas pendidikan yang ada di pesantren, kurikulum mana yang mau distandardisasikan? Dengan berbaik sangka, wacana tentang standardisasi kurikulum ponpes itu mengandung niat baik meningkatkan kualitas pendidikan Islam yang dilaksanakan lembaga pendidikan Islam di lembaga pesantren, pondok, dayah, dan surau.

Meski kian banyak jumlah pondok atau pesantren atau ponpes yang menunjukkan kemajuan fenomenal dalam tiga dasawarsa terakhir, jelas masih banyak yang harus dilakukan untuk lebih memajukan kualitas pendidikannya. Dalam konteks itu, gagasan dan praksis untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan pesantren-dengan begitu sekaligus memajukan kualitas santrinya-mesti didukung.

Dengan peningkatan kualitas pendidikannya, pondok/pesantren dapat tetap relevan dan kontekstual merespons perubahan, khususnya pendidikan nasional dan global. Masalahnya kemudian, sekali lagi, apakah perlu standardisasi (kurikulum pendidikan) pesantren?

Apakah standardisasi kurikulum pesantren itu feasible dan viable? Apa dampak dan konsekuensi standardisasi terhadap pesantren atau pendidikan Islam secara keseluruhan. Banyak pertanyaan lain bisa diajukan menyangkut gagasan standardisasi kurikulum pesantren tersebut.

Pertama-tama, harus ditegaskan, banyak ponpes dalam tiga dasawarsa terakhir telah berkembang menjadi institusi induk (holding institution). Ponpes-ponpes besar khususnya, memiliki beberapa anak lembaga pendidikan sejak dari PAUD, madrasah sejak tingkat ibtidaiyah sampai aliyah. Banyak juga ponpes yang mengembangkan pendidikan umum sejak dari SD, SMP, SMA (jurusan IPA dan IPS), sampai SMK.

Semua lembaga pendidikan ini menerapkan kurikulum nasional yang ditetapkan Kemendikbud. Mereka tidak memiliki kurikulumnya sendiri; paling banter mereka hanya melakukan pengayaan dengan memperbanyak subjek agama untuk memperkuat pemahaman dan praksis keagamaan santri.

Pada tingkat pendidikan tinggi, terdapat pula kian banyak ponpes yang memiliki perguruan tinggi semacam STAIS atau IAIS yang menginduk pada Kemenag. Mereka menerapkan kurikulum yang ditetapkan Kemenag yang sering dilengkapi pengasuh ponpes dengan pengayaan kurikulum guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa, seperti ada dalam Kitab Kuning.

Selain itu, kian banyak pula ponpes yang mengembangkan pendidikan tinggi umum, seperti Stikes, STIE, dan universitas dengan lebih banyak prodi-prodi umum. Perguruan tinggi umum ini menerapkan kurikulum yang kini menjadi tanggung jawab Kemenristekdikti. Lagi-lagi, ponpes hanya bisa memperkaya kurikulum umum ini untuk memperkuat pengetahuan dan pemahaman keilmuan agama para santri tingginya.

Dalam konteks berbagai lembaga pendidikan yang ada di lingkungan ponpes, standardisasi kurikulum mana yang akan dilakukan Kemenag?

Jelas, kurikulum yang kini diterapkan ponpes umumnya sudah distandardisasikan; madrasah oleh Kemendikbud; pendidikan tinggi Islam oleh Kemenag sendiri, dan pendidikan umum dasar dan menengah juga oleh Kemendikbud; dan pendidikan tinggi umum atau prodi umum oleh Kemenristekdikti.

Dengan begitu, jika Kemenag ingin melakukan standardisasi kurikulum, hanya ada salah satu dari dua kemungkinan berikut: pertama, menyederhanakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah; dan pendidikan tinggi (bersama kementerian terkait) yang terlalu berat. Akibatnya sudah sering dibahas, para peserta didik mengalami semacam siksaan dalam proses pembelajaran.

Kedua, mengembangkan subjek-subjek agama (mata pelajaran atau mata kuliah) yang ada dalam kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.

Bukan rahasia lagi, berbagai subjek agama ini tak begitu berhasil meningkatkan pemahaman dan praksis keagamaan peserta didik, misalnya, tentang Islam Nusantara, Islam Indonesia atau Keislaman-keindonesiaan. Subjek-subjek agama sampai sekarang ini masih sangat doktrinal dan normatif. Ditambah dengan proses pembelajaran yang lebih bertumpu pada kognisi-bukan secara simultan juga menekankan aspek afektif dan psikomotorik, subjek-subjek agama akhirnya hanya menjadi sekadar hafalan untuk lulus ujian.

Selain itu, subjek-subjek agama yang disampaikan pada peserta didik hampir tidak mengandung konteks dengan keindonesiaan. Bahkan, ada buku teks dan buku pendamping yang mengandung paham radikal. Keadaan ini kian parah dengan kian meningkatnya jumlah guru atau dosen yang terpengaruh paham dan praksis Islam transnasional. []

REPUBLIKA, 02 March 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar