Pergantian tahun 2021 menuju 2022 meninggalkan catatan menarik dalam kasus perceraian. Pembaca bisa googling, laporan gugat cerai istri kepada suami di beberapa kota mencapai angka 1.000 lebih. Sekadar contoh Klaten 1.268, Madiun 1.185, dan Pasuruan 1.362 kasus. Bermacam latar belakang gugatan cerai istri diajukan, dari perselingkuhan, ekonomi, hingga pertengkaran yang tidak berkesudahan.
Memang, umumnya kehidupan keluarga tidak terlepas dari ujian. Hampir jarang
sekali ada keluarga yang bebas dari ujian hidup. Namun demikian yang paling
penting adalah bagaimana masing-masing suami istri menyikapinya, sehingga
hubungan antara keduanya tetap dalam suasana sakinah, mawaddah, wa rahmah,
dalam kondisi apapun. Fragmen kehidupan sepasang suami istri sahabat Nabi saw
berikut—sebagaimana dihikayatkan oleh Syekh Abddurahman bin Abdissalam
as-Shafuri (wafat 894 H/1489 M), sejarawan berdarah Yordania—adalah teladannya.
Konon kehidupan sepasang suami istri dari generasi sahabat ini sangat nyaman.
Nyaris tidak ada masalah apapun dalam keluarga mereka.
Suatu malam, suami meminta istrinya untuk mengambil minuman. Setelah istri bergegas mengambilkannya, ia temukan suami sudah tidur sangat nyenyak. Sebagai istri shalihah, ia tetap berdiri di dekat kepala suami, menunggunya hingga pagi hari.
Suami kaget dan keheranan, saat bangun ternyata si Istri masih berdiri di sisi
kepalanya. “Udah kamu ingin minta apa?” ucapnya secara spontan. Di luar dugaan
si istri menginginkan permintaan yang di luar nalar. “Ceraikan aku,”
tegasnya.
Mendengar permintaan gugat cerai itu tentu si suami tercengang dan enggan
menurutinya. Namun si istri bersikeras meminta cerai. “Bila kamu mau membalas
kebaikanku, maka ceraikan aku,” kata. Kemudian mereka sepakat untuk mengadukan
kasus ini kepada Nabi saw, dan berangkatlah mereka untuk menghadapnya.
Di tengah jalan, belum juga sampai ke tempat Nabi saw, suaminya tersandung dan
kakinya pecah berdarah. Melihat kondisi suaminya, muncul pikiran lain dari si
istri.
“Sekarang pulang saja, tidak ada alasan lagi bagiku untuk menggugat cerai
kepadamu. Sebab kamu pernah berkata kepadaku, dari Nabi saw, bahwa beliau
bersabda, ‘Siapa saja yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah
akan memberi ujian kepadanya.’ Selama hidup setahun bersamamu hampir kamu tidak
mendapatkan ujian hidup apapun, maka kuduga pasti Allah ta’ala tidak
mencintaimu. Sekarang ketika kamu mendapat ujian tersandung di jalan ini, aku
sadar bahw Allah benar-benar mencintaimu,” tukas si Istri penuh keyakinan.
(Abdurrahman bin Abdissalam as-Shafuri, Nuzhatul Majâlis wa Muntakhabun
Nafâ-is, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], halaman 100).
Hadits yang dimaksud istri sahabat itu secara lengkap adalah hadits shahih
sebagaimana berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ. رواه البخاري
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw
bersabda: ‘Siapa saja yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka Allah akan
memberinya ujian’.” (HR Al-Bukhari).
Dari sepenggal kisah pasangan dua sahabat dapat diambil hikmah, dalam
menghadapi ujian hidup, utamanya ujian dalam kehidupan berkeluarga, baik ujian
ekonomi, kesehatan atau lainnya, sudah semestinya suami istri menghadapinya
secara bijak.
Bukan masalah seberapa besar ujian yang menyapa, tapi tentang bagaimana cara
menghadapinya. Ujian bukan mala petaka, namun tanda cinta dari Tuhan terhadap
para hamba-Nya. Sehingga dalam kondisi apapun, keluarga yang dibina dapat menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Keluarga yang tangguh dalam
menghadapi segala medan kehidupan. Wallâhu a’lam. []
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar