Ramadhan adalah madrasah. Ruang belajar yang harus dimasuki manusia. Ruang didik yang harus diduduki manusia. Di dalamnya, terdapat banyak pelajaran tentang perbaikan diri; tentang pengembangan rasa, dan tentang peluasan persepsi. Dengan menyelaminya, manusia bisa memasuki reaktualisasi diri, yang akan menyegarkan sekaligus membarukan cara kerja jiwanya selama ini.
Hal-hal yang kita sepelekan atau abaikan, tiba-tiba menjadi begitu berharga di
bulan penuh berkah ini. Level apresiasi kita bertambah dan meningkat. Hanya
saja, peningkatan itu terjadi sesaat dan cenderung tidak dikenali. Setelah
berbuka, atau setelah Ramadhan berlalu, peningkatan itu akan terlupakan begitu
saja, seperti yang sudah-sudah. Untuk lebih jelas, mari kita bahas bersama.
Manusia, pada umumnya, adalah makhluk yang mudah takjub dan heran. Akal
pikirannya akan bekerja, bertanya-tanya, dan berusaha memahami suatu peristiwa
menakjubkan atau benda aneh di depannya. Misalnya, ketika kita pertama kali
melihat pesawat terbang, kita takjub dan heran, seakan-akan bertanya, bagaimana
mungkin benda sebesar dan seberat itu bisa terbang; bagaimana caranya; siapa
yang membuatnya, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya. Namun, ketika kita
sudah sering melihatnya, ketakjuban kita perlahan-lahan memudar, kita tidak
lagi menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan kita tidak lagi
mempedulikannya.
Dengan demikian, ketakjuban dan daya kritis manusia bisa memudar dengan mudah
tanpa perlu mendapatkan jawaban memuaskan. Selama hal-hal yang ditakjubi dan
diherankannya sudah menjadi kebiasaan, dia perlahan-lahan abai akan hal itu.
Begitu pun dengan puasa. Ketika kita berpuasa, apresiasi kita terhadap hal-hal
yang sering kita abaikan meningkat, seperti terhadap air putih dan nasi
misalnya. Kita yang biasanya melihat itu “sepintas lalu” menjadi sangat
berharga. Artinya, makanan dan minuman kembali pada nilai asalnya yang
berharga.
Karena itu, puasa harus dijadikan titik ulang untuk menyemai kembali rasa
syukur kita akan segala sesuatu. Diawali dengan kebutuhan pokok (makanan dan
minuman), kemudian berlanjut ke pelbagai hal. Tapi sebelum itu, kita harus
memahami terlebih dahulu, apa itu “syukur”.
Dalam kitab Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Imam
Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) membagi syukur dalam
tiga kategori. Dia mengatakan:
والشكر
علي ثلاثة أضرب: شكر بالقلب، وهو تصور النعمة. شكر باللسان، وهو الثناء علي
المنعم. وشكر بسائر الجوارح، وهو مكافأة النعمة بقدر استحقاقه
“Syukur terdiri dari tiga tipe: (1) syukur dengan hati, yaitu pembayangan (atau
penggambaran) nikmat (dalam hati), (2) syukur dengan lisan, yaitu pujian kepada
pemberi nikmat, dan (3) syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas
kenikmatan dengan kadar (atau derajat) yang pantas (didapatkan tubuh)” (Imam
Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî
Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyyah,
1996, juz 3, h. 334).
Itu artinya, syukur harus dilatih dan dihadirkan. Dan puasa adalah aktivitas
pelatihan yang tepat untuk itu. Seperti yang disebutkan di atas, dengan puasa,
tanpa sadar kita mulai mengapresiasi hal-hal yang seharusnya diapresiasi,
seperti air minum, makanan dan lain sebagainya, yang sebelumnya sering kita
abaikan nilainya.
Karena itu, kita harus mulai mengambil inisiatif untuk aktif bersyukur.
Melatihnya dari yang paling ringan, bersyukur dengan hati dan lisan, kemudian
meningkat ke arah bersyukur dengan seluruh anggota badan.
Penjelasannya begini, bersyukur dengan hati adalah aktivitas visualisasi nikmat
yang kita dapatkan. Ini penting, karena visualisasi nikmat adalah pintu masuk
menuju syukur dalam wilayah praksis. Tentu, tidak mungkin kita mampu
memvisualisasi seluruh nikmat Tuhan kepada kita, karena jumlahnya tak
berhingga. Namun, aktivitas ini menjadi penting untuk menyadarkan kita dari
perasaan serba malang dan susah. Contohnya, mungkin saja di satu sisi kita
merasa susah dalam hal usaha, tapi di sisi lain kita sukses dalam hal
kesehatan, dan seterusnya.
Kemudian kita akan memasuki syukur dengan lisan, yaitu apresiasi dalam bentuk
ucapan (pujian). Bisa dengan tahmîd, tasbîh, tahlîl dan lain sebagainya.
Bersyukur dengan lisan berkaitan erat dengan bersyukur dengan hati. Sebab,
setelah melakukan proses visualisasi nikmat, kita pasti tersadar bahwa pujian
setinggi dan sebesar apapun tidak akan menyetarai segala nikmat yang diberikan
Allah kepada kita. Di samping kemampuan kita bersyukur juga berasal dari-Nya.
Nabi Dawud ‘alaihissalam ketika mendengar firman Allah (QS. Saba’: 13):
“Bekerjalah, wahai keluarga Daud, untuk bersyukur”, dia berkata:
يا
رب، كيف أشكرك، والشكر نعمة منك؟ قال: الآن شكرتني حين علمت أن النعمة مني
“Wahai Tuhan, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal syukur adalah nikmat
(pemberian)-Mu (juga)?” Allah berfirman: “Sekarang kau telah bersyukur
kepada-Ku, karena kau telah tahu bahwa nikmat itu berasal dari-Ku” (Imam Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: al-Faruq al-Haditshah li al-Thiba’aj
wa al-Nasyr, 2000, juz 11, h. 267).
Perasaan “tahu” atas ketidakmampuan mensyukuri seluruh nikmat Allah sangat
penting dimiliki manusia. Karena dapat mendorong keistiqamahan dalam bersyukur.
Orang yang mengetahui dan menyadari hal ini akan malu jika berhenti, atau akan
terus berusaha untuk terhindar dari kelalaian bersyukur kepada-Nya. Karena ia
tahu, seberapa sering dan banyak syukurnya, tidak mungkin menyetarai nikmat
yang diterimanya. Untuk lebih mendalami soal ini, bisa dibaca di artikel NU
Online lainnya, “Ketika Nabi Dawud Bingung Cara Bersyukur kepada Allah.”
Berikutnya adalah syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas nikmat
dengan perbuatan dan derajat yang pantas didapatkan tubuh. Maksudnya adalah,
memenuhi hak-hak tubuh, baik jasmani maupun ruhani. Hak-hak jasmani seperti
menjaga kesehatan, memenuhinya dengan nutrisi, gizi, makanan halal, dan lain
sebagainya. Hak-hak ruhani seperti menjaga mata, telinga, lidah, tangan, kaki,
dan anggota tubuh lainnya dari hal-hal buruk, dan mengarahkannya untuk melihat,
mendengar, melakukan, dan berjalan kepada kebaikan, pengetahuan dan
keberkahan.
Karena itu, Sayyidina Muhammad bin Ka’b al-Qurdhi (w. 108 H) mengatakan:
الشكر
تقوى الله والعمل الصالح
“Syukur adalah bertakwa kepada Allah dan (melakukan) amal saleh” (Imam Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 11, h. 266).
Bertakwa menjauhi larangan-Nya, mengerjakan perintah-Nya, dan beramal saleh
karena-Nya, merupakan bentuk syukur kepada Allah. Dengan kata lain, anugerah
Allah berupa seluruh anggota tubuh, dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan
kehendak-Nya, yaitu kebaikan dan tidak berbuat kerusakan.
Maka dari itu, bulan Ramadhan merupakan saat terbaik untuk menghadirkan
“syukur” secara nyata, merasai dan melekatkannya dalam kehidupan kita. Karena
pada dasarnya, jika penjiwaan syukur telah tertanam, segala hal akan dikerjakan
sebagai ungkapan syukur atas nikmat-nikmat-Nya, seperti perintah Allah kepada
keluarga Dawud (QS. Saba’: 13): “bekerjalah, wahai keluarga Dawud, untuk
bersyukur.”
Pertanyaannya, siapkah kita memulainya?
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar