Pada era kepemimpinan atau kekhalifahan Umar bin Khattab, upaya memperluas dakwah Islam terus dilakukan ke berbagai negeri, termasuk di Palestina dan Suriah (Syam) yang kala itu masih dikuasai oleh Raja Romawi, Heraklitus. Hampir seluruh wilayah strategis jalur perdagangan antar-negeri diduduki Romawi, termasuk Konstantinopel.
Meskipun musim dingin sedang melanda, hal itu tidak menyurutkan Panglima Abu
Ubaidillah bin Jarrah untuk bergerak ke seluruh tanah Suriah dan Palestina.
Sebelumnya, Umar bin Khattab yang berhasil menaklukkan imperium besar Persia di
bawah komando Khalid bin Walid memerintahkan kepada Panglimanya itu untuk
membantu Abu Ubaidillah bin Jarrah yang saat itu sedang mengurung wilayah
Yerusalem.
Menurut catatan KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren
(2013), Yerusalem yang kala itu di bawah kekuasaan Heraklitus menyerah kepada
Panglima Abu Ubaidillah bin Jarrah pada tahun 636 masehi. Persoalan belum
selesai begitu saja. Kedua pihak menyepakati adanya surat perjanjian penyerahan
Yerusalem.
Saat itu, Panglima Romawi dan Patriarch (Uskup Agung) Sophronius meminta agar
perjanjian penyerahan Kota Yerusalem itu ditandatangani langsung oleh Khalifah
Umar bin Khattab. Awalnya, permintaan tersebut ditolak oleh Abu Ubaidillah dan
Khalid bin Walid beserta pasukan Muslim. Namun, dengan kebijaksanaannya,
Khalifah Umar bin Khattab menyetujui permintaan tersebut.
Baik pembesar-pembesar Muslim maupun Romawi dan pemimpin Kristen siap menyambut
kedatangan Khalifah Umar dari Madinah. Setelah melihat kedatangan Khalifah
Umar, pembesar Romawi dan pemimpin-pemimpin Kristen terkejut karena sang
khalifah menaiki unta tanpa pengawalan besar-besaran. Bahkan Khalifah Umar
hanya ditemani oleh seorang ajudannya.
Mereka tidak menyangka, seorang khalifah yang namanya menggetarkan setiap
lawan, yang perintahnya ditaati dengan kepatuhan penuh oleh
panglima-panglimanya, ternyata hanya seorang laki-laki dengan penampilan yang
sangat sederhana.
Kisah kekaguman bangsa-bangsa besar di dunia kepada Khalifah Umar juga
diceritakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam karyanya al-Matsnawi. Rumi
mengisahkan bahwa pada suatu ketika seorang penasihat kekaisaran Bizantium dari
Konstantinopel datang untuk menghadap Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.
Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendekiawan, dan negarawan terkemuka.
Setelah memasuki Madinah, utusan dari Bizantium itu merasa heran karena tidak
melihat adanya istana kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang
penduduk Madinah. “Dimanakah istana raja kalian?” tanya sang utusan.
Orang yang ditanya oleh ksatria Bizantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya:
“Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati
dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”
Utusan kekaisaran Bizantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu
dimanakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua,
penakluk dua imperium, Persia dan Bizantium itu?” tanya sang utusan.
“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati
itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?”
kata seorang penduduk Madinah.
“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran. “Itulah sang khalifah
dambaan kami, Umar bin Khattab. Ia tengah memberi makan dan
memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.”
Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar
yang sangat bersahaja. “Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,”
kata sang utusan Romawi.
“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan
cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan
melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun
bisa memasuki istana itu bersamanya.”
Utusan itu kemudian mendekati Khalifah Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan
pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal
tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya?
Lalu Khalifah Umar berkata, “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah
milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi
tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan
kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan
merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku.”
Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama
ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya.
Tak lama kemudian, sang utusan Bizantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan
keislamannya di hadapan Khalifah Umar. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar