Mendengar istilah Sidratul Muntaha, benak pikiran kita mungkin langsung tertuju pada kisah perjalanan Isra’-Mi’raj Rasulullah saw. Pasalnya, Sidratul Muntaha memang termasuk salah satu keagungan Allah yang diperlihatkan kepadanya.
Istimewanya, hanya Rasulullah saw yang mampu memasuki Sidratul Muntaha.
Malaikat Jibril sendiri selaku pendamping Rasulullah saw tidak
diperkenankan memasukinya.
Dalam Al-Qur’an istilah sidr atau sidrah disebutkan dalam empat ayat, yakni
surat Saba’ [34] ayat 16 dengan makna pohon bidara; surat al-Waqi’ah [56] ayat
28 dengan makna pohon bidara yang tidak berduri; serta surat an-Najm [53] ayat
14 dan 16, yang juga bermakna pohon namun hanya Allah yang mengetahui
hakikatnya.
Namun, dalam surat an-Najm ayat 14 istilah Sidratul Muntaha disebutkan secara
eksplisit, “Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (Jibril
dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha,”
(QS. an-Najm [53]: 13-14).
Lantas seperti apa gambaran jelasnya Sidratul Muntaha yang disaksikan
Rasulullah saw sewaktu Isra’-Mi’raj?
Seperti digambarkan dalam ayat di atas, Sidratul Muntaha merupakan tempat
dimana Rasulullah saw melihat malaikat Jibril dalam rupa aslinya. Dijelaskan
dalam salah satu hadits, saat di Sidratul Muntaha, rupa asli malaikat Jibril
memiliki enam sayap. Dari bulu-bulunya, ia mengibaskan butiran-butiran yaqut
dan permata.
Kemudian, keberadaan Sidratul Muntaha sendiri berada di dekat surga,
sebagaimana ayat, “Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Nabi Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya.”
(QS. an-Najm [53]: 13-14).
Dijelaskan para ulama, maksud sesuatu yang melingkupi di atas adalah cahaya.
Demikian sebagaimana yang digambarkan hadits berikut:
لَمَّا
عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ رُفِعْتُ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، فَرَأَيْتُ
عِنْدَهَا نُورًا عَظِيمًا، وَإِذَا وَرَقُهَا مِثْلُ آذَانِ الْفُيُولِ، وَإِذَا
نَبْقُهَا مِثْلُ قِلَالِ هَجَرَ، وَإِذَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ يَخْرُجُ مِنْ
أَصْلِهَا نَهَرَانِ ظَاهِرَانِ وَنَهْرَانِ بَاطِنَانِ فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا
جِبْرِيلُ؟ قَالَ: أَمَا الْبَاطِنَانِ فَنَهَرَانِ فِي الْجَنَّةِ، وَأَمَّا
الظَّاهِرَانِ فَالنِّيلُ وَالْفُرَاتُ
Artinya, “Ketika dimi’rajkan ke langit, aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha.
Kemudian, aku melihat cahaya yang agung. Daun-daun Sidratul Muntaha itu seperti
kuping-kuping gajah dan buah-buahnya seperti kendi besar. Di sana ada empat
sungai yang dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Saat itu,
aku bertanya, ‘Apa ini, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Dua sungai dalam adalah dua
sungai di surga, sedangkan dua sungai luar adalah sungai Nil dan Eufrat,’” (HR
Ahmad).
Dinamakan Sidratul Muntaha karena tempat pohon merupakan puncak segala sesuatu
yang naik dari bumi dan yang turun dari langit. Pangkalnya yang turun dan naik
tersebut berada di Sidratul Muntaha.
Dinamakan Sidratul Muntaha juga karena menjadi pohon tempat terakhirnya arwah
para syuhada yang senantiasa mendapat karunia rezeki Allah. Pohon tersebut
berada di atas langit ketujuh, di sebelah kanan ‘Arasy, dengan daun-daun
seperti kuping-kuping gajah, buah-buahnya seperti kendi besar, dahan-dahannya
berupa mutiara, yaqut, dan, zabarjad. (Lihat: Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz
IV/160).
Setiap daunnya ditempati malaikat yang selalu berzikir pada Allah sehingga
Sidratul muntaha layak disebut puncak ketinggian yang diketahui makhluk. Itu
pun hanya Rasulullah saw yang mengetahuinya. Sampai-sampai malaikat Jibril pun
tidak bisa memasukinya. Demikian seperti yang diakui Jibril sendiri:
إني
لم أجاوز هذا الموضع، ولم يؤمر أحد بالمجاوزة عن هذا الموضع غيرك
Artinya, “Aku tidak bisa melewati tempat ini. Tidak ada satu pun yang
diperintah melewati tempat ini kecuali engkau.”
Setibanya di Sidratul Muntaha, salam yang terucap dari lisan Rasulullah saw.
adalah, “At-tahayiyyatul mubarakatus shalawatu lillah." Dijawab oleh
Allah, “Assalamu alaika ayyuhan-nabiyy warahmatullahi wabarakatuh.” Dijawab
lagi oleh Rasulullah saw, “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahis shalihin.”
Bacaan inilah yang hingga sekarang menjadi bacaan tahiyat shalat kita selaku
umat Rasulullah saw. (Lihat: Tafsir az-Zamarqandi, juz I/189).
Dikisahkan pula oleh Rasulullah saw, “Di sana aku disuguhi dua gelas minuman.
Yang satu berisi susu, yang satu berisi khamr. Keduanya ditawarkan kepadaku.
Dan aku memilih susu. Disampaikan kepadaku, ‘Engkau sudah benar! Melaluimu,
Allah telah menempatkan umatmu sesuai fitrah.’”
Di sana pula Rasulullah saw mendapat perintah shalat lima puluh waktu yang
diusulkan Nabi Musa as. untuk dikurangi hingga akhirnya ditetapkan 5 waktu.
Meski hanya lima waktu, tetapi keutamaan dan keunggulannya menandingi 50 waktu.
(Lihat: Tafsir Yahya bin Salam, juz I/104).
Maha Besar Allah yang telah memperlihatkan sebagian kekuasaan kepada hamba-Nya.
Betapa mulia hamba yang telah menyaksikannya. Sungguh dia (Muhammad)
benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat
besar. (QS. an-Najm [53]: 18). Wallahu a'lam.
[]
Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa
Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar