Fenomena baru saat Bulan Ramadhan tahun 1443 Hijriah terjadi di berbagai masjid di Indonesia. Bila umumnya masjid ramai karena tarawih dan tadarus di malam hari, maka saat ini ada kegiatan baru berupa vaksinasi Covid-19.
Vaksinasi dengan berbagai varian produk, termasuk vaksinasi dosis pertama,
dosis kedua, maupun vaksinasi booster digelar setelah shalat tarawih di
kompleks masjid di berbagai daerah. Kerjasama antara pemerintah dengan pengurus
masjid dalam kegiatan vaksinasi ini juga ada yang diiringi dengan pembagian
minyak goreng gratis dan berbagai hadiah.
Sangat kontras dengan masa awal pandemi, saat itu masjid sering dituduh sebagai
klaster penularan Covid-19. Pihak-pihak yang belum memiliki bukti kuat sering
menuduh berbagai kegiatan di masjid seperti shalat tarawih maupun ibadah
berjamaah lainnya sebagai sumber penyebaran Covid-19.
Media pun menampilkan narasi yang kurang seimbang sehingga cenderung
memberitakan klaster masjid dengan merugikan citra kaum muslimin. Kenyataan
menunjukkan bahwa ada orang yang dikelompokkan ke klaster masjid, padahal sama
sekali tidak pernah hadir di masjid. Hal-hal tersebut sangat menyudutkan dan
melukai hati kaum muslimin sehingga diharapkan tidak terjadi lagi di masa-masa
yang akan datang.
Aktivitas vaksinasi saat ini membuat masjid sebagai tempat ibadah
bertransformasi menjadi wahana untuk menyehatkan masyarakat. Sempat mengalami
pembatasan aktivitas di awal pandemi dan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya,
masjid kini bangkit menjadi ujung tombak vaksinasi.
Tahun ini, semarak kegiatan Ramadhan telah kembali di masjid bak gayung
bersambut dengan kerinduan jamaah. Jamaah pun menyambut baik kegiatan vaksinasi
di masjid ini. Animo masyarakat selalu tinggi untuk mengikuti vaksinasi
sebagaimana animo untuk shalat tarawih di masjid.
Keberkahan Bulan Ramadhan dan langkah-langkah kaum Muslimin ke masjid seolah
berpadu harmonis. Bacaan tadarus Al-Qur’an pada Bulan Ramadhan juga menjadi
penguat kaum muslimin untuk mencapai kehidupan yang sehat.
Sejarah pandemi memang mencatat bahwa aktivitas religius seperti beribadah di
masjid dan membaca Al-Qur’an sebagai “booster” iman sangat erat kaitannya
dengan motivasi masyarakat untuk sehat. Imam as-Suyuthi dalam kitab Ma
Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun mengisahkan kejadian unik saat pandemi yang
juga terjadi pada Bulan Ramadhan, yaitu Thaun Ghurab di Basrah.
“Ibnu Sa’ad berkata, Ali bin Abdullah mengabarkan, Sufyan menceritakan bahwa
dia mendengar Dawud bin Abu Hind berkata, ‘Aku pernah terpapar thaun, lalu
pingsan. Dalam kondisi itu, seakan-akan ada dua sosok yang mendatangiku. Sosok
pertama memegang bagian tengah lisanku. Sosok kedua memegang punggung kedua
kakiku. Lalu ada yang bertanya, ‘Apa yang engkau dapatkan?’ Sosok itu pun
menjawab, ‘Tasbih, takbir, langkah ke masjid, dan beberapa bacaan Al-Qur’an.’
Dia (Dawud) berkata, ‘Padi hari itu aku memang belum membaca Al-Qur’an.’ Dia
melanjutkan, ‘karena pada hari itu aku pergi untuk suatu keperluan dan aku
berkata bahwa aku akan mengingat Allah setelah memenuhi kebutuhanku.’ Dia
melanjutkan, ‘Lalu aku pun siuman dan langsung mengambil Al-Qur’an serta
mempelajarinya.’” (as-Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Tha’un, Penerbit
Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: halaman 189).
Dalam kisah tersebut, seorang saleh yang sakit karena terdampak pandemi
ternyata mampu bangkit dengan motivasi yang kuat sebagai buah keberkahan pergi
ke masjid serta bertadarus/mempelajari bacaan Al-Qur’an. Keberkahan aktivitas
religius tersebut memperkuat semangat seseorang yang semula sakit untuk sehat
kembali.
Dalam konteks saat ini, pandemi yang belum berakhir tetapi sudah melandai
memerlukan upaya ekstra untuk dijaga. Aktivitas masyarakat yang telah
dilonggarkan dari berbagai pembatasan perlu diiringi dengan penguatan protokol
kesehatan dan vaksinasi. Masyarakat menemukan momentum ini di masjid saat Bulan
Ramadhan. Ketika semangat beribadah masyarakat meningkat, pemerintah juga
menyelenggarakan program vaksinasi yang memudahkan masyarakat muslim untuk
mengaksesnya.
Di tahun ketiga pandemi, semakin banyak masyarakat muslim yang menyadari
pentingnya vaksinasi. Apabila kesadaran kolektif kaum muslimin ini diiringi
dengan teladan dan kepemimpinan publik ulamanya, efek positif yang ditimbulkan
akan luar biasa. Peran ulama yang mampu menggerakkan umat untuk mau divaksinasi
terbukti dapat mengikis ketakutan sebagian masyarakat terhadap program
vaksinasi.
Ketaatan masyarakat muslim Indonesia terhadap ulama dan pemerintah, khususnya
untuk mendukung vaksinasi di tahun ketiga pandemi tak perlu dipungkiri lagi.
Mulai dari penerapan protokol kesehatan dengan bermasker saat berkegiatan di
masjid hingga besarnya kesadaran untuk vaksinasi merupakan cerminan kepedulian
jamaah terhadap penjagaan jiwa atau hifzhun nafs.
Kementerian Agama juga telah memberikan panduan ibadah dengan menerapkan
protokol kesehatan untuk mencegah munculnya penularan baru pandemi Covid-19 di
lingkungan tempat ibadah.
Keberhasilan protokol kesehatan dan program vaksinasi pemerintah yang melibatkan
masjid juga terbukti tidak lepas dari peran ulama. Para kiai dan imam masjid di
berbagai daerah juga menyambut baik program vaksinasi di kompleks masjid. Tidak
hanya masjid yang terletak di lingkungan pemukiman, masjid di pesantren yang
diasuh oleh kiai pondok juga sangat potensial untuk memperluas cakupan program
vaksinasi. Tokoh-tokoh agama seperti kiai, imam, dan takmir masjid inilah yang
juga diharapkan tetap mengingatkan jamaah untuk menjaga protokol kesehatan.
Keteladanan kiai pondok untuk menjaga kesehatan saat pandemi seringkali
terlupakan oleh masyarakat. Kesan pondok sebagai tempat yang rentan terhadap
penyakit perlu disingkirkan dari benak masyarakat. Jauh sebelum masa pandemi
Covid-19, sudah ada keteladanan kiai pondok untuk menjaga kesehatan
lingkungannya yang terekam dalam sejarah.
Ada salah satu contoh teladan kiai pondok pada masa kolonial Belanda di Cirebon
untuk menjaga kesehatan santrinya. Imas Emalia menyebutkan sebuah kisah dalam
buku Wabah Penyakit di Cirebon 1906-1940 sebagai berikut:
“Kiai Abbas (1879-1946), seorang kiai di Pesantren Buntet, di samping
mengajarkan ilmu agama, juga mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan. Jika di antara santrinya ada yang sakit, Kiai Abbas lebih dahulu
mengingatkan kebersihan lingkungan pesantren dan menganjurkan santrinya untuk
melakukan pengobatan sendiri sambil zikir atau pasrah kepada Allah.” (Imas
Emalia, Wabah Penyakit di Cirebon 1906-1940, Penerbit Ombak, Yogyakarta, tahun
2020: halaman 362).
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, pesantren dengan komponen kiai, santri, dan
masjidnya merupakan satu kesatuan yang mendukung terwujudnya kesehatan
lingkungan saat terjadi pandemi. Meskipun demikian, dulu para kiai sempat
dituduh berseberangan dengan pemerintah kolonial. Hal ini semata-mata karena
pemerintah kolonial sentimen terhadap umat Islam. Pada halaman yang sama, Imas
Emalia menjelaskan tentang kejadian ini:
“Pada tahun 1915, ketika terjadi wabah kolera di Kota Cirebon, para kiai yang
oleh pemerintah dipandang sebagai dukun, dianggap berbahaya. Padahal, mereka
ikut mempropagandakan kebersihan di lingkungan pesantren dan pemukiman
masyarakat. Para kiai menyampaikan kepada para santri dan masyarakat bahwa
lingkungan yang kotor dapat menyebabkan penyakit perut. Namun, pemerintah tetap
mencurigai tindakan ini." (Imas Emalia, 2020: 362).
Kejadian yang kurang nyaman juga sempat dialami oleh kiai pada masa pandemi
Covid-19. Ada imam mushola yang didatangi oleh aparat karena menyelenggarakan
shalat tarawih saat Bulan Ramadhan pada masa pandemi. Mereka dipandang tidak
sejalan dengan peraturan pada kondisi pembatasan, padahal tarawih yang digelar
secara terbatas sudah diupayakan untuk menerapkan protokol kesehatan dengan
tidak melibatkan banyak jamaah.
Pesantren juga banyak yang akhirnya membatasi kegiatannya. Seiring dengan
waktu, pendekatan terhadap masyarakat mulai berubah. Masjid dan pesantren dapat
beraktivitas kembali meskipun di tengah berbagai pembatasan untuk kebaikan
bersama.
Santri pondok pesantren yang berasal dari berbagai daerah sebenarnya juga dapat
menjadi agen perubahan untuk menyehatkan masyarakat. Sebagaimana kondisi
pandemi Covid-19, pengalaman di pondok ketika menerapkan protokol kesehatan
sangat potensial untuk dibawa dan diteruskan ke tempat asal para santri
tersebut ketika mereka kembali.
Booster imun sebagaimana vaksinasi yang saat ini digencarkan di masjid pada
Bulan Ramadhan hendaknya membuka mata banyak pihak. Umat Islam adalah umat yang
berkomitmen untuk menjalankan ajaran agamanya sekaligus memperhatikan kesehatan.
Mereka senang beribadah dan mampu mematuhi anjuran pemerintah.Oleh karena itu,
umat Islam juga perlu dijamin untuk mendapatkan vaksin yang berkualitas dan
halal serta memperoleh keamanan dalam rangkaian proses kegiatan vaksinasinya.
Saat beribadah di masjid pada bulan Ramadhan, sesungguhnya mereka juga sedang
mem-booster imannya. Ketika vaksinasi sebagai booster imun bertemu dengan
kegiatan ibadah sebagai booster iman, maka peningkatan citra masjid, tarawih,
maupun tadarus di Bulan Ramadhan selayaknya didukung dan diberitakan dengan
penuh kegembiraan. Hal ini diperlukan agar umat Islam semakin bangga dengan
keislamannya dan menyadari peran penting untuk ikut aktif mendukung kesehatan
bangsanya. []
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar