Berdasarkan proses tashih dan pengumpulan yang dilakukan oleh KH Ishomuddin Hadziq (cucu KH Hasyim Asy’ari), Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari telah menulis 20 buah kitab. Termasuk kitab Dhau’ al-Misbah fi Bayani Ahkam an-Nikah yang diterjemahkan oleh Yusuf Suharto.
Kitab tersebut memuat penjelasan Kiai Hasyim Asy’ari terkait dengan hukum-hukum
nikah, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab yang ditulis oleh ayah KH
Wahid Hasyim ini sangat ringkas. Setelah diterjemahkan dalam bentuk buku hanya
memuat 71 halaman.
Tetapi, masyarakat perlu mengetahui sebab-musabab kenapa Kiai Hasyim Asy’ari
menuliskan kitab nikah sebegitu singkatnya. Dalam mukadimahnya, setelah
mengucap rasa syukur dan menyampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad, Kiai
Hasyim Asy’ari memberikan penjelasan:
"Inilah risalah yang berisikan beberapa hukum pernikahan. Adapun yang
mendorong saya menulis risalah ini adalah banyaknya orang awam di negeri saya
ini yang hendak menuju jenjang pernikahan tetapi tidak mempelajari terlebih
dahulu syarat, rukun, dan etikanya. Padahal bagi mereka mempelajari semua itu
adalah wajib.
Saya sempat mengamati penyebabnya mengapa mereka tidak mempelajari rukun,
syarat, dan etika pernikahan. Ternyata penyebabnya adalah pembahasan pernikahan
berada dalam kitab-kitab besar dan berjilid-jilid. Akibatnya mereka tidak
bersemangat mempelajarinya."
Itulah penggalan dua paragraf dari mukadimah kitab Dhau’ al-Misbah fi Bayani
Ahkam an-Nikah yang diutarakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Di situ jelas sekali
ditulis bahwa Kiai Hasyim berupaya menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan
kewajiban nikah dalam bentuk risalah atau kitab yang lebih singkat sehingga
mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat luas.
Kiai Hasyim Asy’ari menyarikan risalah singkat ini dengan merujuk kepada
kitab-kitab karya ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Buku ini layaknya
seorang dosen menyusun diktat kuliah bagi para mahasiswanya berdasar
sumber-sumber primer. Namun, bukan berarti masyarakat tidak perlu mempelajari
lebih jauh lagi keterangan para ulama dari kitab-kitab yang berjilid-jilid itu.
Orang awam yang dimaksud Kiai Hasyim Asy’ari tentu masyarakat zaman dulu,
ketika mereka belum memiliki kesadaran kuat dalam mempraktikkan ibadah sesuai
syariat Islam, yaitu pernikahan. Bagi kaum santri dan kalangan pesantren,
mempelajari syariat berdasarkan kajian berbagai kitab mungkin sudah terbiasa.
Tetapi bagi masyarakat awam, seorang ulama harus pandai menyiasati dakwahnya,
baik dakwah dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Dari sudut pandang demikian, Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mumpuni dalam
keilmuan agama Islam, tetapi ia juga memahami kondisi sosial masyarakatnya
sehingga dakwah yang berusaha disampaikannya mudah diterima dan dipahami.
Kiai Hasyim tidak mau membandingkan antara kemampuan dan ghirah santri dalam
menuntut ilmu agama dengan masyarakat yang membutuhkan sajian praktis dalam
memahami ilmu agama. Sebab itulah risalah singkat tentang syarat, rukun, dan
etika pernikahan ini merupakan pegangan yang sangat penting bagi masyarakat
umum. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar