Momen Idul Fitri menuntut setiap umat Islam untuk meminta dan memberi maaf atau maaf-memaafkan. Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) memberikan penjelasan terkait dengan sikap yang perlu dilakukan manusia dalam menghadapi seseorang yang melakukan kesalahan.
Jika merujuk pada Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 134, dijelaskan bahwa seorang
Muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan untuk mengambil paling tidak satu
dari tiga sikap dari seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya, yaitu
menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya.
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan
Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134)
Lain halnya ketika seseorang yang menekadkan diri untuk tidak berbuat baik
kepada yang berbuat salah kepadanya. Bahkan ia berani bersumpah untuk tidak
berbuat baik terhadap seseorang yang melakukan kesalahan kepadanya. Maka
Al-Qur’an menganjurkan agar ia memaafkan dan melakukan apa yang diistilahkan
oleh Al-Qur’an dengan al-shafhu (kelapangan). Hal ini seperti yang
diterangkan dalam Surat An-Nur ayat 22:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara
kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya),
orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS An-Nur: 22)
Dari kedua ayat yang dikutip di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya ada
tingkatan yang lebih tinggi daripada sekadar memberi dan meminta maaf
(dijelaskan di bagian akhir tulisan ini). Hal tersebut akan terlihat jelas
ketika seseorang memahami apa itu istilah maaf. Kata maaf berasal dari
Al-Qur’an al-afwu yang berarti menghapus, karena yang memaafkan menghapus
bekas-bekas luka di hatinya.
Artinya, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika
masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang
dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu
berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru
bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.
Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang
memohon maaf atas kesalahannya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali
perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf
sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka
materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan
itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya.
Keterangan di atas juga menjadi syarat bertaubat seorang hamba kepada Tuhannya.
Taubat menuntut penyesalan yang mendalam atas segala salah, khilaf, dan dosa
yang diperbuat seorang hamba. Esensi taubat juga bukan hanya satu arah saja,
yakni hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga mengubah perilaku sosialnya di
tengah masyarakat menjadi laku yang positif. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar