Gerakan Pemuda Ansor merupakan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) yang bergerak di bidang kepemudaan. Organisasi ini lahir pada 24 April 1934 hasil ketetapan Muktamar Ke-9 NU di Banyuwangi, Jawa Timur yang diselenggarakan pada 21-26 April 1934. Kini, Ansor telah genap berusia 88 tahun.
Eksistensi dan keberadaan Ansor selama puluhan tahun itu tidak bisa terlepas
dari sosok KH Abdul Wahab Chasbullah yang menjadi penggagas awal berdirinya
sebuah organisasi yang mewadahi para pemuda di lingkungan NU ini.
Gagasan pendirian Ansor bermula dari Kiai Wahab Chasbullah yang pada awal tahun
1920-an telah membentuk sayap pemuda dari Nahdlatul Wathan yaitu Syubbanul
Wathan pimpinan Abdullah Ubaid, Da’watus Syubban pimpinan Thohir Bakri, dan
Jam’iyyah Nashihin (kelompok pemuda peserta kursus yang dibina Kiai Wahab).
(Safrizal Rambe, Sang Penggerak Nahdlatul Ulama: KH Abdul Wahab Chasbullah
Sebuah Biografi, Jakarta, 2020).
Pada 1932, dua tahun sebelum Muktamar Ke-9 NU di Banyuwangi, ketiga organisasi
kepemudaan itu membentuk wadah baru bernama Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama
(PPNU) yang kemudian berganti nama menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU).
Lalu dalam Muktamar NU di Banyuwangi, Thohir Bakri mengajukan PNU untuk diakui
sebagai wadah resmi pemuda NU. Saat itu, para ulama peserta muktamar kaget karena
persoalan kepemudaan tidak dibahas di dalam rapat-rapat jajaran syuriyah tetapi
tiba-tiba aspirasi tersebut mengemuka.
Kiai Wahab kemudian menjelaskan kepada kalangan ulama bahwa pendirian PNU
adalah keputusan tanfidziyah yang sejak Kongres Banyuwangi rapatnya dipisahkan
dengan syuriah. (Choirul Anam, KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan
Perjuangannya, Surabaya, 2015).
Setelah melalui sejumlah pendekatan ke para kiai sepuh, Muktamar Ke-9 NU di
Banyuwangi pada 1934 menetapkan PNU sebagai organisasi yang mewadahi kepemudaan
yang menjadi salah satu sayap NU.
Kata Kiai Wahab, NU ke depan memerlukan sokongan pemuda untuk menjawab
tantangan zaman. Tak lupa, ia pun mengapresiasi aspirasi kalangan pemuda yang
ingin memajukan organisasinya dengan menggabungkan tiga organisasi yang ada.
Namun ia memberikan koreksi nama dan memberikan alternatif lain sambil menarik
akar sejarahnya ke era Rasulullah.
Kiai Wahab merujuk pada ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan tentang kesetiaan
sahabat Nabi Isa, Hawariyyun dalam menolong agama Allah. Ia lantas mengutip
Surat As-Shaff ayat 14 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah
kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata
kepada pengikut-pengikutnya yang setia, ‘Siapa yang akan menjadi
penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikutnya yang
setia itu berkata, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah’. Lalu segolongan
dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir, lalu Kami berikan
kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, sehingga
mereka menjadi orang-orang yang menang.”
Kemudian Kiai Wahab melanjutkan dengan mengutip Surat Ali Imran ayat 52 yang
artinya: “Maka ketika Isa merasakan keingkaran mereka (Bani Israil), dia
berkata, ‘Siapakah yang akan menjadi penolongku (untuk menegakkan agama)
Allah?’ Para Hawariyyun (sahabat setianya) menjawab, ‘Kamilah penolong (agama)
Allah’. Kami beriman kepada Allah. Dan saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang Muslim.”
Nama Ansor juga diilhami dari para sahabat Nabi, penduduk Madinah yang menolong
Rasulullah saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Karena itu Rasulullah kemudian
memberikan nama ‘Ansor’ kepada mereka yang artinya ‘penolong’. Sebab mereka
telah menolong Rasulullah, para sahabat dan penolong agama Allah (Islam).
Makna yang terkandung dalam nama ini pula yang diharapkan menjadi inspirasi
bagi para pemuda Ansor dalam berjuang dan menegakkan Islam. Ansor diharapkan
juga menjadi penolong NU dalam menjalankan tugas besarnya, menjaga Islam dan
memelihara ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Dari situlah kemudian Muktamar NU Banyuwangi memutuskan untuk membentuk
organisasi kepemudaan dan mengoreksi nama yang sebelumnya adalah Pemuda
Nahdlatul Ulama menjadi Ansor Nahdlatul Ulama.
Selanjutnya, pada 14 Desember 1949, dilangsungkan pertemuan di Kantor Pengurus
Besar Ansor Nahdlatul Ulama di Jl Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan tersebut
dihadiri oleh Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) KH Abdul Wahid
Hasyim.
Dalam sambutannya, Kiai Wahid Hasyim mengemukakan betapa pentingnya membangun
organisasi kepemudaan di lingkungan NU dengan tujuan untuk membentengi
perjuangan umat Islam. Selain itu, untuk mempersiapkan diri sebagai kader
penerus NU.
Ensiklopedia NU menyebutkan bahwa di dalam pertemuan tersebut lahir kesepakatan
dan tekad baru untuk membangun organisasi kepemudaan NU lebih baik lagi.
Kemudian pertemuan itu juga menyepakati perubahan nama dari Ansor Nahdlatul
Ulama menjadi Gerakan Pemuda Ansor dengan kedudukan pucuk pimpinan di Surabaya.
Pada 2 September 1951, dilakukan penandatanganan persetujuan bersama antara
PBNU dengan PP GP Ansor. Persetujuan ini ditandatangani oleh Rais ‘Aam PBNU KH
Abdul Wahab Chasbullah, Ketua PBNU KH M Dahlan, dan Ketua Umum PP GP Ansor
Hamid Wijaya. Terdapat tiga poin dalam persetujuan itu.
Pertama, dalam bidang politik GP Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang
hukum apa pun tunduk kepada PB Syuriyah NU. Kedua, GP Ansor adalah alat
perjuangan NU. Ketiga, GP Ansor tetap taat dan setiap kepada NU dalam waktu dan
keadaan yang bagaimanapun juga selama NU tetap dipimpin oleh para ulama
Ahlussunnah wal Jamaah.
Sebagai badan otonom NU, GP Ansor dengan Barisan Ansor Serbaguna (Banser)-nya
menjadi alat perjuangan yang efektif bagi NU dan bangsa Indonesia dalam
membendung dan menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Peristiwa G-30S
pada 1965. Hingga kini, GP Ansor tetap menjadi salah satu badan otonom NU yang
bergerak di bidang kepemudaan. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar