Peristiwa Isra’ Miraj adalah peristiwa yang sangat penting bagi umat islam. Isra’ adalah perjalanan malam dari Makkah menuju masjid al-Aqsa sedangkan Miraj adalah perjalanan dari masjid al-Aqsa menuju Sidratul Muntaha.
Perjalanan Isra’ Miraj adalah perjalanan yang agung di mana Rasulullah melihat
secara langsung keadaan orang-orang yang disiksa di neraka serta keadaan
orang-orang yang berada di surga. Selain itu, Rasulullah juga dipertemukan dengan
para nabi terdahulu serta mendapatkan perintah sholat lima waktu.
Peristiwa demi peristiwa ini terangkai dalam waktu yang singkat menurut manusia
biasa padahal Rasulullah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Puncak Isra’
Miraj adalah pertemuan Rasulullah dengan Allah di Sidratul Muntaha. Lantas,
apakah pertemuan ini berarti Rasulullah melihat Allah secara langsung tanpa
perantara? Dalam hal ini para sahabat nabi terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
Pertama, menurut sayyidah ‘Aisyah Rasulullah tidak melihat Allah di Sidratul
Muntaha tetapi ia melihat malaikat Jibril. Hal ini dikuatkan dengan hadits:
عن
مسروق قال دخلت على عائشة قلت هل رأى محمد ربه؟ فقالت لقد تكلمت بشيء قف له شعري
قلت رويدا ثم قرأت لقد رأى من آيات ربه الكبرى قالت إنما هو جبريل
Artinya, “Diceritakan Masruq bahwa beliau mengatakan, ‘Aku masuk ke (rumah)
Aisyah, aku bertanya 'Apakah Muhammad (pernah) melihat Tuhannya?’ Aisyah
menjawab ‘Sungguh engkau menanyakan sesuatu yang membuat kulitku merinding.’
Aku (Masruq) mengatakan, ‘Tunggu sebentar.’ Kemudian aku (Masruq) membacakan
ayat ‘Sungguh, dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesarannya)
Tuhannya yang paling besar,’ (Qs An-Najm ayat 18). Aisyah menjawab, ‘Sungguh
dia (yang dilihat nabi Muhammad) adalah Jibril,’” (HR Turmudzi).
Kedua, menurut sahabat Ibnu Abbas Rasulullah melihat Allah secara
langsung dengan hatinya. Hal ini dikuatkan dengan hadits:
عن
ابن عباس في قوله ما كذب الفؤاد ما رأى قال رآه بقلبه
Artinya, “Diceritakan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ‘Hatinya tidak
mendustakan apa yang telah dilihatnya,’ (Qs An-Najm ayat 11), beliau (Ibnu
Abbas) mengatakan, ‘Ia (Muhammad) melihatnya (Allah) dengan hatinya,’” (HR
Daruquthni).
Praktiknya adalah Allah menjadikan penglihatan nabi Muhammad di dalam hatinya
atau Allah menciptakan hati dalam penglihatan Nabi Muhammad. Walhasil, Nabi
Muhammad melihat Allah dengan hati dan penglihatannya adalah sesuai dengan
firman Allah, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,” (Qs
An-Najm ayat 11). Dan tidak mustahil bagi Allah menjadikan hati nabi Muhammad
sebagai alat untuk melihat Allah sebagaimana Allah menciptakan penglihatan
sebagai alat melihat bagi manusia pada umumnya. (Ar-Razi Fakhruddin, Mafatihul
Ghaib [Beirut: Dar Ihya Turats, 2010 M], juz XXVIII, halaman 246).
Perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad melihat Allah ketika Isra’ Miraj memiliki
beberapa catatan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu:
1. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah menetap ataupun menyatu
dengan Sidratul Muntaha karena Allah tidak mungkin membutuhkan pada
Sidratul Muntaha yang merupakan ciptaan-Nya sebagai tempat menetap.
Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Qiyamuhu bi Nafsihi, Allah berdiri
sendiri tanpa membutuhkan bantuan makhluk ciptaan-Nya. Seandainya Allah
membutuhkan Sidratul Muntaha sebagai tempat menetap niscaya hal ini akan
merusak sifat Qiyamuhu bi Nafsihi.
2. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbatasi oleh jihah (arah
mata angin) karena tidak mungkin Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin)
sebagaimana makhluk-Nya. Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah
lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya.
Seandainya Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana manusia
yang bisa dipastikan menetapnya di arah tertentu seperti arah selatan
atau utara niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits.
3. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbentuk dari jism (bentuk
tubuh) karena tidak mungkin Allah berbentuk jism (bentuk tubuh) sebagaimana
makhluknya. Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits,
Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya. Seandainya zat Allah berupa
cahaya berwarna putih atau memiliki anggota tubuh dan sejenisnya sebagaimana
makhluk-Nya niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits. (Ad-dardir
Ahmad, Syarh Qishah al-Isra’ wal Miraj [Kairo: Maktabah Azhar li Turats, 1999
M], halaman 24).
Nabi Muhammad melihat Allah tidaklah sama dengan proses manusia biasa seperti
kita melihat. Akan tetapi, Allah memberikan kemampuan khusus bagi Nabi Muhammad
ketika itu sehingga beliau dapat melihat langsung kepada Allah. Hal ini
dikarenakan Allah memberikan kemampuan melihat kepada hambanya tidak terbatas
dengan perangkat mata kepala saja. Allah memberikan kemampuan melihat kepada
hamba-Nya di waktu dan tempat yang telah Allah tentukan. (Al-Laqqani
Abdussalam, Ithaf al-Murid Syarh Jauhar at-Tauhid [Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiyyah, 2002] hal.202)
Dan melihat Allah adalah sesuatu yang mungkin terjadi (jaiz) karena Allah
adalah zat yang maujud (ada), sedangkan perkara yang maujud (ada) mungkin untuk
dilihat. Akan tetapi, Allah tidak mengizinkan bagi manusia biasa untuk
melihat-Nya ketika di dunia kecuali Nabi Muhammad ketika berada di Sidratul
Muntaha.
Hal ini dikuatkan dengan hadits:
قال
رسول الله تعلموا أنه لن يرى أحد منكم ربه حتى يموت
Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Ketahuilah kalian semua bahwa tidaklah salah
satu diantara kalian meilhat Tuhannya hingga ia mati,’” (HR Muslim).
Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, nantinya orang-orang yang beriman
melihat Allah di Hari Kiamat dengan jelas tanpa penghalang sedikitpun
sebagaimana seseorang melihat rembulan di waktu purnama. Hal ini dikuatkan
dengan hadits
عن
جرير بن عبد الله قال كنا جلوسا عند رسول الله إذ نظر ليلة البدر فقال لنا إنكم
سترون ربكم كما ترون هذا القمر
Artinya, “Diceritakan dari Jarir bin Abdullah bahwa beliau mengatakan, ‘(suatu
ketika) Kami duduk bersama Rasulullah ketika melihat bulan purnama, kemudian
Rasulullah bersabda, ‘Sungguh kalian akan melihat tuhan kalian (di hari kiamat)
sebagaimana kalian melihat rembulan ini,’’” (HR Daruquthni).
Simpulan di sini adalah peristiwa nabi Muhammad melihat Allah ketika malam
Isra’ Miraj adalah peristiwa yang diperdebatkan oleh para sahabat nabi. Akan
tetapi, perbedaan pendapat ini tidak sampai menjadikan para sahabat nabi saling
mengkafirkan maupun membid’ahkan ataupun menganggap sesat kepada kelompok yang
berbeda pendapat.
Hal ini menjadi bukti bahwa melihat Allah adalah hal yang mungkin terjadi
secara akal. Berbeda halnya dengan pendapat Mutazilah yang mengatakan bahwa
melihat Allah adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi baik di dunia maupun
di akhirat.(Ar-Razi, 2010: XIII/103). []
Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo
Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar