Salah satu tema kajian akidah yang sempat menjadi perdebatan antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni) ialah terkait siapa yang berhak menentukan baik dan buruk.
Kelompok Mu’tazilah dalam hal ini mengedepankan akal hingga menyatakan bahwa
hukum itu ditentukan oleh akal. Berbeda dengan Sunni yang menyatakan bahwa
hanya Allah yang berhak menentukan hukum.
Dari perbedaan cara pandang ini, maka imbasnya, Sunni berpendapat bahwa sebelum
diutusnya Rasul yang membawa syariat dari Allah, maka tidak ada hukum syariat
yang berlaku, oleh karena itu tidak ada konsep dosa dan pahala sebelum
diutusnya Nabi. Sebaliknya Mu’tazilah berpandangan bahwa akal bisa menemukan
konsep tentang baik dan buruk dan oleh karena itu meskipun misalnya Allah tidak
mengutus Rasul, seseorang tetap saja dianggap berdosa jika ia tak beriman
karena bagi mereka, akal bisa menemukan hakikat ketuhanan meski tanpa adanya
petunjuk ayat yang dibawa oleh Rasul.
Mu’tazilah berargumen bahwasanya akal kita memiliki potensi besar untuk
menemukan kebenaran karena bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk.
Misalkan, tanpa ada Rasul yang diutus pun kita tahu bahwa berbohong itu jelek
dan jujur itu baik. Maka dengan potensi ini, semestinya akal pun bisa menemukan
hakikat hukum syariat.
Menanggapi argumen tersebut, Sunni mengeluarkan pendapat yang moderat dengan
membagi pemaknaan baik dan buruk. Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Kitab Jam‘ul
Jawami‘ sebagaimana terdapat dalam Kitab Hasyiyah Al-‘Attar, juz I, halaman 80
mengatakan:
قوله (الْحُسْنُ وَالْقُبْحُ) لِلشَّيْءِ (بِمَعْنَى: مُلَاءَمَةِ الطَّبْعِ وَمُنَافَرَتِهِ) كَحُسْنِ الْحُلْوِ وَقُبْحِ الْمُرِّ (وَ) بِمَعْنَى (صِفَةِ الْكَمَالِ وَالنَّقْصِ) كَحُسْنِ الْعِلْمِ وَقُبْحِ الْجَهْلِ (عَقْلِيٌّ) أَيْ يَحْكُمُ بِهِ الْعَقْلُ اتِّفَاقًا (وَبِمَعْنَى تَرَتُّبِ الْمَدْحِ) وَ (الذَّمِّ عَاجِلًا) وَالثَّوَابِ (وَالْعِقَابِ آجِلًا) كَحُسْنِ الطَّاعَةِ وَقُبْحِ الْمَعْصِيَةِ (شَرْعِيٌّ) أَيْ لَا يَحْكُمُ بِهِ إلَّا الشَّرْعُ الْمَبْعُوثُ بِهِ الرُّسُلُ أَيْ لَا يُؤْخَذُ إلَّا مِنْ ذَلِكَ وَلَا يُدْرَكُ إلَّا بِهِ
Artinya: “Baik dan buruknya segala sesuatu apabila dimaknai sebagai sesuatu
yang bisa membuat hati menjadi condong atau sebaliknya enggan seperti baiknya
rasa manis dan buruknya rasa pahit, atau dengan kata lain dimaknai sebagai
sesuatu yang bersifat sempurna atau sebaliknya bersifat kurang sebagaimana
baiknya memiliki ilmu dan buruknya kebodohan, maka hal itu bisa ditentukan
dengan akal kita secara sepakat. Sedangkan apabila baik dan buruk itu dimaknai
sebagai sesuatu yang berpotensi melahirkan sanjungan atau sebaliknya hinaan di
masa sekarang (dunia) dan berpotensi melahirkan pahala atau sebaliknya siksa di
kemudian hari (neraka) sebagaimana baiknya ketaatan dan buruknya maksiat, maka
hal itu hanya bisa ditentukan lewat syariat yang dibawa oleh Rasul, dalam arti
hanya syariat yang dibawakan oleh Rasul yang bisa menghukumi baik dan buruk
tersebut, atau dengan kata lain klaim baik atau buruk hanya bisa ditemukan dan
dideskripsikan menggunakan syariat yang dibawa oleh Rasul.”
Dari penjelasan di atas bisa kita pahami bahwa untuk hal-hal yang parameternya
adalah kecenderungan hati atau tabiat kemanusiaan kita, maka itu bisa dihukumi
oleh akal, sementara untuk hal-hal yang parameternya adalah pahala atau dosa,
maka kita hanya bisa menentukannya dengan syariat yang dibawa oleh Rasul.
Argumen ini tentu saja berbeda dengan apa yang diyakini oleh Mu’tazilah karena
bagi mereka, akal bisa menentukan baik dan buruk dari sudut pandang manapun
yang melahirkan maslahat maupun mafsadah yang kemudian hal tersebut selaras
dengan konsep baik dan buruk menurut Allah.
Penentuannya bisa secara otomatis seperti akal paham bahwa berbohong itu buruk
dan berkata jujur itu baik, atau penentuannya dilakukan sesudah proses
pemikiran seperti akal memahami bahwa berbohong jika untuk kebaikan maka itu
baik.
Namun demikian, tentu kita sama-sama tahu bahwa pengetahuan Allah sifatnya Maha
Luas sementara akal pikiran manusia sangat terbatas. Oleh karena itu menyatakan
bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah bisa ditemukan oleh akal tanpa adanya
wahyu, rasanya sangat sulit untuk dibuktikan.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.
[]
Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar