Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah (utusan) di muka bumi. Tujuan untuk beribadah mengandung dimensi vertikal (hablum minallah), sedangkan kata khalifah mengandung dimensi horisontal (hablum minannas). Keduanya tentu saja tak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan yang tak dapat dihindarkan.
Ada yang beranggapan kesalehan ritual yang kaitannya dengan ibadah kepada Allah
lebih penting daripada kesalehan sosial. Sehingga hidupnya hanya digunakan
untuk fokus pada hablumminallah saja. Secara sosial mereka kehilangan
kepedulian pada lingkungan sekitarnya, karena hanya berfikir menjalankan
tugasnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Mereka melupakan hakikat tujuan
diciptakannya manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Padahal Al-Qur’an mengajarkan pentingnya hubungan dengan Allah dan hubungan dengan
sesama manusia. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan
dengan Allah harus terjalin dengan baik, pun demikian halnya dengan hubungan
sesama manusia, harus berjalan dengan baik pula. Dengan kata lain, kesalehan
ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan sosial.
Ironisnya, keduanya tidak selalu dapat berjalan beriringan. Tak jarang kita
temui orang-orang yang tampak saleh, kerap menunjukkan simbol-simbol agama,
tetapi justru menodai agama dengan perilaku tercela. Shalat setiap hari, tetapi
korupsi tak pernah berhenti. Haji dan umrah berkali-kali, tetapi abai dan tidak
peduli dengan nasib para mustadh’afin, kaum fakir miskin. Rajin mengunjungi
majelis taklim tetapi juga rajin menggunjing, memfitnah, menebar ujaran
kebencian di sana-sini.
Diriwayatkan, seorang sahabat Rasulullah pernah melaporkan bahwa ada
orang yang sedemikian tekun beribadah, sehari-hari pekerjaannya di masjid tanpa
henti. Nabi kemudian menanyakan siapa yang memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Pertanyaan itu dijawab, bahwa tidak ada. Ternyata, seseorang yang
berlebih-lebihan dalam kegiatan ritual itu, oleh nabi sendiri, dianggap keliru.
Dijelaskan bahwa, siapapun harus hidup sebagaimana lazimnya, yakni mencari
rezeki, mengembangkan ilmu pengetahuan, memenuhi hak-hak keluarganya, dan
seterusnya. Maka artinya, kesalehan ritual harus disempurnakan dengan jenis
kesalehan lainnya.
Juga di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa, orang yang melakukan shalat tetapi
lalai akan shalatnya disebut sebagai pendusta agama dan mendapatkan ancaman
masuk neraka. Hal ini disebutkan dalam Surat Al-maun:
فَوَيْلٌ
لِّلْمُصَلِّيْنَۙ.
"Maka celakalah orang yang shalat,"
الَّذِيْنَ
هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ.
"(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya,"
Pun juga sebaliknya, orang-orang yang hanya mengumpulkan dan
membangga-banggakan hartanya, tetapi mengabaikan lingkungan sekitarnya yang
kekurangan, tidak mempedulikan nasib kehidupan orang miskin dan anak yatim,
maka neraka wail adalah tempatnya.
Ancaman itu sedemikian berat, namun ternyata tidak selalu memperoleh perhatian.
Kebanyakan dari kita hanya sibuk berdiskusi dan membincang tentang shalat
khusu' dan berusaha menjalankan sesuai dengan contoh yang dilakukan oleh
Rasulullah. Kegiatan tersebut, tentu bukan berarti tidak penting, akan tetapi
masih ada lainnya yang juga tidak kurang urgennya, ialah bagaimana kesalehan
ritual itu membuahkan kesalehan sosial.
Islam dan Al-Qur’an menuntun manusia dalam tiga bangunan hubungan. Pertama,
membangun hubungan dengan Allah. Kedua, memperkuat hubungan dengan dirinya dan
yang terakhir, menyelaraskan hubungan dengan sesama manusia. Jika menelusuri
substansi dari setiap konteks dari teks kesalehan tersebut maka akan lebih
terasa dimensi-dimensi sosial yang dikandungnya.
Sebagian besar pemeluk agama cenderung menampilkan formalitas ritual ibadahnya
untuk menunjukkan jati diri mereka dalam beragama, mereka melakukan ketaatan
beribadahnya kepada Allah dengan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam
melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi pada saat yang sama mereka abai, mereka
justru meninggalkan esensi ibadah yang sangat berharga dalam kesehariannya,
sebuah ibadah yang mempunyai efek nilai sosial positif pada lingkungan
sekitarnya.
Dalam melaksanakan amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak
terbatas apa yang ada dalam rukun Islam yang lima saja. Ini menunjukkan bahwa
kebaikan seseorang tidak cukup dengan melakukan kesalehan untuk dirinya
sendiri. Tetapi akan lebih sempurna ketika ia melakukan kesalehan disamping
untuk kepentingan dirinya sendiri, juga untuk kepentingan masyarakat di
sekitarnya.
Di antara wujud kesalehan sosial adalah lahirnya sikap cinta dan kasih sayang
terhadap sesama. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang, jika tidak disertai
dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di masjid, harus diimbangi dengan
rajin sedekah, peduli dengan nasib kaum yang lemah. Rutin mengaji harus
disertai dengan rutin berbagi kepada saudara dan tetangga yang membutuhkan.
Tekun bermunajat memohon pertolongan Allah harus dibarengi dengan tekun memberi
pertolongan kepada orang lain. Aktif mencari ilmu harus diikuti dengan aktif
menyebarkan serta menyampaikannya kepada orang lain.
Inilah wujud nyata dari kesalehan sosial. Sehingga hadirnya seseorang di tengah
masyarakat, dapat memberi arti, makna serta manfaat bagi orang lain di
sekitarnya.Sebagaimana pesan Nabi Saw,
خَيْرُ
الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang
lain”. (HR. Ahmad).
Pada akhirnya, kesalehan sosial bertujuan untuk mencapai nilai-nilai sosial
melalui gerakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan merupakan bagian dalam
upaya untuk menghilangkan strata sosial yang timbul dari kepedulian sosial dari
dalam diri masing-masing. []
Nurul Badruttamam, Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar