Sebagaimana jamak diketahui, darah yang keluar dari kemaluan wanita ada 3 macam, (1) haidh; (2) nifas; dan (3) istihadhah. Wanita yang sedang menstruasi atau nifas diharamkan untuk mengerjakan shalat, puasa, thawaf jika sedang haji, membaca dan membawa Al-Qur’an, berhubungan suami istri, dan lain sebagainya. Sedangkan wanita yang sedang istihadhah tetap diwajibkan shalat, puasa, bersetubuh, dan lainnya.
Oleh karena itu, darah istihadhah tidak menjadi penyebab wajibnya mandi besar,
tidak pula menjadi penyebab dilarangnya ibadah, istihadhah hanyalah sebatas
darah kotor yang keluar dari rahim wanita. Dengan demikian, ia diwajibkan untuk
membasuh dan membersihkan darah yang ada pada kemaluannya setiap hendak
mengerjakan shalat.
Lantas, bagaimanakah cara shalat bagi wanita yang sedang istihadhah? Apakah
sama dengan cara shalat pada umumnya, atau justru memiliki perbedaan? Mari kita
bahas, namun sebelum menjawab pertanyaan ini, penting kiranya bagi penulis
untuk menjelaskan definisi istihadhah itu sendiri.
Definisi Istihadhah
Darah istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di selain masa-masa haidh dan nifas, serta tidak ada kemungkinan untuk dikatakan haidh, hal ini bisa disebabkan tidak memenuhi syarat-syarat haidh, misalnya, darah yang keluar melebihi batas maksimal haid, yaitu 15 hari, atau kurang dari batas minimal haidh, yaitu 24 jam.
Tata Cara Shalat Wanita Istihadhah
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, istihadhah bukanlah bagian dari haidh maupun nifas, sehingga wanita yang sedang mengalami pendarahan yang satu ini tetap diwajibkan shalat, puasa, boleh membaca dan membawa Al-Qur’an, boleh juga untuk berhubungan suami istri, dan lainnya.
Sedangkan tata cara shalat bagi wanita istihadhah adalah sebagaimana shalat
pada umumnya, tidak ada pengurangan maupun penambahan. Hanya saja, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan agar shalatnya menjadi sempurna.
Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir as-Saqaf dalam kitab al-Ibanah
wal Ifadhah fi Ahkamil Haidh wan Nifas wal Istihadhah, cetakan Maktabah Kanzul
Hikmah, halaman 55-56 mengatakan bahwa ada lima hal yang harus dilakukan oleh
wanita istihadhah ketika hendak mengerjakan shalat, yaitu:
Pertama, membasuh kemaluannya sebelum mengerjakan shalat. Kedua, wanita
istihadhah harus menyumbat atau menutup kemaluannya dengan kapas, atau
sesamanya ketika hendak shalat. Hanya saja, keharusan yang kedua ini apabila
memenuhi tiga syarat berikut, (1) tidak menimbulkan rasa sakit yang sangat
parah; (2) tidak dalam keadaan puasa (fardhu); dan (3) penyumbatan dilakukan
jika dibutuhkan saja, misalnya karena darah keluar saat hendak mengerjakan
shalat.
Ketiga, membalut kemaluannya. Kewajiban yang ketiga ini dilakukan setelah
menyumbat dan menutupnya. Hanya saja, menurut Imam ar-Ramli jika dengan
membalut sudah bisa menjadi penyegah keluarnya darah, maka dianggap cukup tanpa
harus menyumbatnya.
Kewajiban membalut dalam hal ini jika memenuhi dua syarat berikut: (1) darah
selalu keluar ketika hendak mengerjakan shalat, sehingga pembalut menjadi
satu-satunya solusi agar darah tidak keluar; dan (2) tidak sampai berdampak
bahaya pada dirinya sendiri.
Keempat, wudhu setelah masuknya waktu shalat. Dan, tidak boleh bagi wanita
istihadhah untuk wudhu sebelum masuknya waktu shalat, karena wudhu yang
dilakukan saat istihadhah termasuk dari bagian bersuci yang dharurah (thaharah
darurah).
Kelima, harus cepat-cepat tanpa jeda dengan waktu yang panjang antara kewajiban
pertama hingga kelima. Dengan demikian, wajib ketika waktu shalat sudah masuk
untuk membasuh kemaluannya, kemudian menyumbat dan menutupnya, dilanjut dengan
membalutnya, setelah itu wudhu, dan shalat.
Keenam, wanita yang sedang istihadhah harus wudhu dalam setiap shalat wajib. Ia
tidak bisa menggunakan satu wudhu untuk dua shalat wajib. Selain wudhu, menurut
pendapat yang lebih sahih (ashah) ia juga wajib untuk membarui basuhan pada
kemaluanya, penyumbatan, dan pembalutannya.
Tidak Mengakhirkan Shalat
Selain beberapa ketentuan di atas, wanita yang sedang istihadhah juga tidak diperbolehkan untuk mengakhirkan shalat. Dengan kata lain, jika waktu shalat wajib sudah masuk, ia harus segera melakukan beberapa ketentuan di atas, kemudian langsung mengerjakan shalat tanpa harus menundanya hingga akhir waktu, kecuali ada kemaslahatan yang berkaitan dengan shalat itu sendiri,
وَلَا
يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ لِشَيْءٍ اِلَّا مَا كَانَ لِمَصْلَحَةِ
الصَّلَاةِ. فَاِنْ أَخَّرَتْ لِغَيْرِ مَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ ضَرَّ، وَوَجَبَ
عَلَيْهَا أَنْ تُعِيْدَ جَمِيْعَ مَا تَقَدَّمَ
Artinya, “Tidak diperbolehkan baginya (wanita istihadhah) untuk mengakhirkan
shalat karena alasan sesuatu, kecuali alasan yang berkaitan dengan kemaslahatan
shalat. Dan, jika mengakhirkan shalat bukan karena kemaslahatan shalat maka
berbahaya, dan wajib baginya untuk mengulangi semuanya (membasuh kemaluan,
menyumbat, menutup, dan membalut).” (Sayyid Abdurrahman as-Saqaf, al-Ibanah wal
Ifadhah fi Ahkamil Haidh wan Nifas wal Istihadhah, [Kanzul Hikmah: tt], halaman
58).
Yang dimaksud dengan kemaslahatan shalat dalam bab istihadhah ini adalah semua
hal yang berkaitan dengan shalat, seperti menutup aurat, menunggu shalat
berjamaah, menjawab orang adzan, iqamah shalat, dan mengerjakan shalat sunnah
qabliyah.
Demikian penjelasan perihal tata cara shalat bagi wanita istihadhah, serta
hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan
Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar