Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang keabsahan keyakinan kita tentang Islam yang diperoleh dalilnya dari Alquran dan ditegakkan dengan nalar sehat kita. Pendefinisian semacam ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam Kitab Tuhfatul Murid ‘ala Jauharatit Tauhid, halaman 38.
هو
علم إقامة الأدلة على صحة العقائد الإيمانية، فقد عرف علماء الكلام ذلك العلم
بأنه: علم يُقْتَدر به على إثبات العقائد الدينية مُكْتَسَبة من أدلتها اليقينية:
القرآن والسنة الصحيحة لإقامة الحجج والبراهين العقلية والنقلية ورد الشبهات عن
الإسلام
Artinya: “Ilmu kalam ialah ilmu (yang membahas) penegakan dalil-dalil tentang
keabsahan akidah keimanan. Para ulama mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang
mampu membuktikan keyakinan agama yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan
yakni Al-Qur’an dan sunnah yang sahih untuk menegakkan argumen serta
dalil-dalil akal serta tekstual untuk melawan kesesatan dalam Islam.”
Pada masa awal Islam, ilmu kalam ini tidak menjadi sesuatu yang dirasa perlu
untuk dikaji dan dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Maklumlah, pada saat
itu keimanan para Sahabat sepeninggal Nabi Muhammad Saw masih kuat dan belum
tercampuri dengan berbagai syubhat dan bid’ah. Hingga kemudian muncul peristiwa
tahkim yang membuat kaum muslimin tercerai berai dan menciptakan pehamahan-pemahaman
keyakinan keislaman yang berbeda-beda.
Tahkim itu sendiri bermakna menyerahkan keputusan pada seseorang atau menerima
putusan tersebut. Dengan menggunakan metode tahkim, dua orang atau lebih
menyerahkan urusan atau kepentingan mereka pada seseorang di antara mereka agar
diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa tersebut.
Peristiwa ini terjadi pada saat perang Shiffin antara kubu Ali Ra yang menjabat sebagai khalifah resmi dan kubu Muawiyah yang menjadi oposisi dan menentang kebijakan Ali Ra bisa dikatakan bahwa peristiwa ini adalah puncak rentetan perselisihan yang terjadi di masa pemerintahan Ali Ra selama menjabat sebagai khalifah.
Pokok persoalannya ialah banyak pihak yang tidak setuju dengan sikap Ali Ra yang
tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan khalifah sebelumnya yaitu Utsman
bin ‘Affan.
Kelompok pertama yang melakukan protes ialah Sahabat Talhah Ra, Sahabat Zubair
Ra dan Ibunda Kaum Mukminin Aisyah Ra pada saat itu Ibunda Aisyah menaiki unta
(Arab: jamal) dan perang yang terjadi dikenal dengan nama perang Jamal.
Setelah itu, giliran pasukan Muawiyah yang melakukan konfrontasi terhadap Ali
Ra beserta pasukannya dan dikenal dengan nama perang Shiffin. Syekh
al-Syahrastani dalam kitabnya, Al-Milal wa an-Nihal merekam banyak sekali
kejadian yang mengiringi peristiwa ini:
والخلاف
بينه وبين معاوية، وحرب صفين، ومخالفة الخوارج، وحمله على التحكيم، ومغادرة عمرو
بن العاص أبا موسى الأشعري، وبقاء الخلاف إلى وقت وفاته مشهور
Artinya: “Perselisihan antara Ali dengan Muawiyah, perang Shiffin,
pemberontakan kelompok Khawarij, peristiwa tahkim, politisasi Amr bin Ash
terhadap Abu Musa al-Asyari, dan langgengnya perselisihan hingga waktu wafat
Ali Ra.”
Pada saat berkecamuknya perang Shiffin, kedua belah pihak sepakat untuk
mengadakan perundingan dimana pihak Ali Ra. diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari
dan kubu Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash. Ada beberapa kelompok yang tidak
puas dengan hasil perundingan tersebut. Salah satunya ialah kelompok yang
dikemudian hari dikenal dengan nama Khawarij.
Mereka (Khawarij) menganggap bahwa semua pihak yang terlibat dalam proses
perundingan tersebut telah berdosa dan layak dibunuh karena telah melakukan
tahkim yang mereka yakini sebagai berhukum pada manusia dan bukannya kepada
Allah Swt.
Sejak saat itu, banyak sekali perdebatan terkait akidah yang menjadikan umat
Islam terbelah menjadi banyak golongan. Persoalan yang sebenarnya dulu sempat
dilarang untuk dibahas oleh Rasulullah Saw. dimana beliau tidak menghendaki
jika ada sahabat yang bertanya mengenai qadar dan hal semacamnya.
Pasca-munculnya Khawarij yang menyatakan bahwa orang yang berdosa besar layak
dihukumi kafir dan wajib dibunuh serta akan masuk neraka. Muncullah kelompok
lain yakni Syiah yang sangat mencintai Ali Ra. secara membabi buta dan
menyimpan duka yang mendalam melihat Ali Ra terbunuh.
Berikutnya, muncul kelompok Murjiah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat
dosa besar tetap mukmin dan tidak kafir. Perkara dosa diserahkan kepada Allah
SWT, terserah Dia mengampuni atau memasukkan pelakunya ke dalam neraka.
Sesudah itu menyusul kelompok Mu'tazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atho,
murid dari Hasan Basri yang menolak dua pendapat di atas. Bagi aliran
Mu'tazilah, orang berdosa besar tidak bisa dianggap kafir, tidak juga orang
mukmin. Pendosa besar berada di posisi antara Islam dan kafir. Mereka
menyebutnya dengan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua
posisi).
Setelah itu muncul pula kelompok Qadariyah dan Jabariyah yang perdebatannya
berkutat pada soal apakah manusia punya kemampuan atau tidak. Qadariyah
meyakini bahwa manusia punya kehendak bebas sementara Jabariyah meyakini bahwa
manusia “dipaksa” menuruti kehendak Tuhan.
Atas dasar banyaknya penyimpangan dalam soal akidah ini, maka kelompok
Ahlusunnah wal Jamaah mulai berfokus pada kajian ilmu Kalam, dan dua diantara
ulama yang menggeluti kajian ini ialah Imam Asyari dan Imam Maturidi.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.
[]
Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar