Definisi Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang memiliki kedudukan mulia nan luhur, serta sangat penting. Dalam diskursus peradaban Islam, ilmu tafsir merupakan media terbaik untuk memahami makna dan kandungan Al-Qur’an secara utuh dan benar. Bahkan, dalam sejarahnya, ilmu tafsir memiliki perjalanan yang sangat panjang hingga para ulama menulisnya dengan teliti, kemudian disusun dengan sangat sistematis.
Sebelum dijelaskan rangkaian sejarahnya, ada pentingnya bagi penulis untuk
menjelaskan definisi ilmu tafsir terlebih dahulu. Dengannya, kita akan
mengetahui ruang kajian ilmu tersebut dalam Islam, serta memiliki pemahaman
yang lebih dalam tentangnya. Imam ‘Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakar bin
Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H), dalam Itmamud
Dirayah mendefinisikan ilmu tafsir sebagai berikut,
“Ilmu tafsir adalah sebuah metodologi tentang cara memahami Al-Qur’an.
Metodologi itu mencakup hal-hal penting yang ada dalam Al-Qur’an, mulai dari,
(1) sebab-sebab diturunkannya; seperti ayat Makkah (makiyah), ayat Madinah
(madaniyah), ayat perjalanan (safari) ayat perumahan (hadari) ayat yang
diturunkan pada malam hari (layali), begitu juga ayat yang diturunkan pada
siang hari (nahari);
(2) sanadnya, seperti mutawatir, ahad sampai riwayat yang syad;
(3) lafalnya, seperti huruf mad, idgham, idhar dan lainnya;
(4) makna ayatnya, seperti ayat yang menunjukkan majaz, hakikat, muradif,
musytarak dan lainnya; dan
(5) hukumnya, seperti hukum-hukum yang umum dan husus, nasakh-mansukh dan
lainnya.” (as-Suyuthi, Itmamud Dirayah li Qurra-in Nuqayah, [Bairut, Darul
Kutubil ‘Ilmiah, cetakan pertama: 1985, tahqiq: Ibrahim al-‘Ajusi], halaman
20).
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa wilayah kajian ilmu tafsir
adalah mencakup semua pembahasan Al-Qur’an secara tematik dan sistematis. Tidak
ada satu ayat pun yang ada dalam Al-Qur’an tidak dibahas dalam ilmu tafsir,
semuanya dibahas secara terperinci dan detail.
Sejarah Pembukuan Ilmu Tafsir
Pada abad pertama Islam (masa Nabi Muhammad dan para sahabat), belum ditemukan pembahasan dan pembukuan ilmu tafsir dengan semua ketentuannya. Ketika Nabi Muhammad masih hidup, para sahabat memiliki referensi yang sangat otoritas, yaitu Rasulullah. Semua permasalahan tentang Al-Qur’an langsung diputuskan olehnya berdasarkan wahyu ilahi yang diturunkan kepadanya.
Darinya, penjelasan Rasulullah kepada para sahabat perihal Al-Qur’an tidak
membutuhkan ilmu tafsir, karena sudah dicukupkan dengan wahyu yang turun kepadanya.
Begitu juga pada masa sahabat. Belum ditemukan ilmu-ilmu yang membahas secara
khusus tentang Al-Qur’an. Pemahaman dan cara baca mereka masih kuat dan utuh
dengan mengacu pada penjelasan Rasulullah secara langsung saat bersamanya.
Tidak hanya itu, di samping mereka juga melihat historis sebab-sebab ayat yang
diturunkan (asbabun nuzul) kepada Rasulullah saat itu, mereka juga memiliki
acuan secara khusus, yaitu Rasulullah, perihal cara yang benar dalam
mengartikan ayat. Oleh karenanya, ilmu tafsir pada masa sahabat belum dibahas
karena saat itu memang tidak dibutuhkan.
Seiring berjalannya waktu, pasca-generasi sahabat, penyebaran Islam yang
semakin luas, dan banyaknya pemeluk Islam yang semakin beragam; dari berbagai
bangsa dengan tipikal sosial dan geografis yang plural, terjadilah asimilasi
bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lainnya. Akibatnya, banyak umat Islam yang
memahami Al-Qur’an dengan serampangan tanpa metode dan tanpa ilmu. Mereka hanya
bermodalkan rasionalitas yang cenderung memiliki kesalahan.
Dari sinilah, metodologi memahami dan cara membaca Al-Qur’an mulai dibutuhkan.
Tepat pada abad kedelapan, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Umar bin Ruslan
al-Bulqini (lahir 762 – wafat 824 H) menulis dan membukukan ilmu tafsir, yang
kemudian dikenal dengan kitab Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in Nujum. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid ‘Alawi bin Sayyid ‘Abbas al-Maliki. Ia
mengatakan:
وَهُوَ
عِلْمٌ نَفِيْسٌ لَمْ أَقِفْ عَلَى تَأْلِيْفٍ فِيْهِ لِاَحَدٍ مِنَ
الْمُتَقَدِّمِيْنَ، حَتَّى جَاءَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ جَلَالُ الدِّيْن
البُلْقِيْنِي، فَدَوَّنَهُ وَنَقَّحَهُ وَهَذَّبَهُ وَرَتَّبَهُ فِي كِتَابٍ
سَمَّاهُ مَوَاقِعُ الْعُلُوْمِ مِنْ مَوَاقِعِ النُّجُوْمِ
Artinya, “Ia (ilmu tafsir) merupakan ilmu berharga, tidak aku ketahui suatu
kodifikasi tentangnya (ilmu tafsir), bagi salah satu ulama mulai dari zaman
dahulu, sehingga Syaikhul Islam Jalaluddin al-Bulqini datang, kemudian
mengodifikasikannya, memperluas (pembahasannya), membenarkan dan menyususnnya,
dalam suatu kitab yang menamainya dengan kitab Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in
Nujum.” (Sayyid Alawi al-Maliki, Faidhul Khabir wa Khalashatut Taqrir ‘ala
Nahjit Taisir, [al-Haramain], halaman 9).
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Imam as-Suyuthi. Menurutnya, adanya ilmu
tafsir memang sangat dibutuhkan oleh semua umat Islam, bahkan ia menegaskan
bahwa di antara bentuk tidak adanya empati para ulama kepada umat Islam secara
umum adalah membiarkan Al-Qur’an dipahami dengan serampangan, hal itu karena
tidak adanya kodifikasi kitab secara khusus yang memberikan pedoman untuk
membaca dan memahami Al-Qur’an.
Dalam Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, As-Suyuthi mengatakan:
وَإِنَّ
مِمَّا أَهْمَلَ المُتَقَدِّمُوْنَ تَدْوِيْنَهُ، حَتَّى تَحَلَّى فِي آَخِرِ
الزَّمَانِ بَأَحْسَنَ زِيْنَةٍ، عِلْمِ التَّفْسِيْرِ الَّذِي هُوَ كَمُصْطَلَحِ
الْحَدِيْثِ، فَلَمْ يُدَوِّنْهُ أَحَدٌ لَا فِي الْقَدِيْمِ وَلَا فِي
الْحَدِيْثِ حَتَّى جَاءَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ البُلْقِيْنِي
Artinya, “Dan sungguh, termasuk dari bagian ilmu yang dilalaikan oleh ulama
klasik untuk mengodifikasikannya, sampai nampak jelas di akhir zaman, dengan
bentuk yang paling baik, yaitu ilmu tafsir, ia bagaikan ilmu musthalah hadits,
maka tidak ada seorang ulama pun yang mengodifikasikannya, baik ulama klasik
maupun kontemporer, sampai datang Syaikhul Islam al-Bulqini.” (Jalaluddin
as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Haiatul Mishriah lil Kitab, cetakan
pertama: 1974, tahqiq: Muhammad Abul Fadl Ibrahim], juz 1, halaman 21).
Dari penjelasan di atas sangat jelas, bahwa Imam al-Bulqini selain sebagai
salah satu fuqaha yang sangat disegani pada masanya. Ia juga menjadi salah satu
pembaharu (mujaddid) Islam pada abad kedelapan. Jejak yang ia tinggalkan di
antaranya, adalah kitab-kitab fiqih yang yang pernah ia tulis. Selain itu, ia
juga meninggalkan jejak yang sangat berharga, yaitu ilmu tafsir. Dengan adanya
sumbangsih yang sangat berharga ini, potensi-potensi kesalahpahaman perihal
Al-Qur’an lebih berkurang.
Perkembangan Ilmu Tafsir
Lahirnya Imam Al-Bulqini tentu memberikan kebanggan tersendiri bagi umat Islam, sebagai bukti bahwa ilmu-ilmu Allah akan semakin luas jika ditela’ah lebih mendalam. Di saat yang sama, umat Islam tidak memiliki pedoman secara khusus dalam mengartikan Al-Qur’an dengan benar, al-Bulqini lahir sebagai sosok yang memberikan jalan terang untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan dan membaca Al-Qur’an.
Setelah Imam al-Bulqini sukses dalam menuliskan kitab secara khusus yang
menjelaskan ilmu tafsir, ia mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan yang
sangat meriah dari para ulama saat itu dan setelahnya, bahkan sampai saat ini.
Ilmu tafsir yang ditulis olehnya, memiliki perkambangan yang sangat pesat. Hal
itu sebagaimana penuturan Sayyid ‘Alawi al-Maliki:
وَهَكَذَا
كُلُّ مُسْتَنْبِطٍ، يَكُوْنُ قَلِيْلًا ثُمَّ يَكْثُرُ وَصَغِيْرًا ثُمَّ
يَكْبَرُ
Artinya, “Demikian (perkembangan) semua kodifikasi (ilmu tafsir) pada mulanya
berupa (kitab) yang kecil dan ringkas, kemudian (berkembang) menjadi banyak dan
padat.” (Sayyid Alawi al-Maliki, Faidhul Khabir wa Khalashatut Taqrir ‘ala
Nahjit Taisir, halaman 10).
Tidak hanya itu, al-Bulqini juga menjadi teladan bagi para ulama saat itu,
bahkan setelahnya, untuk mengodifikasikan kitab-kitab yang menjelaskan ilmu
tafsir lainnya, di antaranya adalah murid beliau, Imam Jalaluddin as-Suyuthi.
Beliau menulis dua kitab ilmu tafsir yang sangat populer, yaitu: (1) at-Tahbir
fi Ilmit Tafsir; dan (2) al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Dua kitab yang menjelaskan
ilmu tafsir secara luas ini, tidak lepas dari sumbangsih Imam al-Bulqini.
Tidak sedikit as-Suyuthi mengikutip perihal cara-cara gurunya dalam menulis
ilmu tafsir. Syekh Muhammad ‘Ali asy-Syaukani al-Yamani (wafat 1250 H), menulis
ilmu tafsir dengan nama kitab Fathul Qadir al-Jami’ baina Fannai Riwayah wad
Dirayah min ‘Ilmit Tafsir. Sayyid Alawi bin ‘Abbas al-Maliki, juga menulis
kitab ilmu tafsir dengan nama Faidhul Khabir wa Khalashatut Taqrir ‘ala Nahjit
Taisir, dan beberapa ulama lainnya.
Alhasil, dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, (1)
pada tahap pertama, tepatnya pada masa Rasulullah, belum ditemukan
pengodifikasian ilmu tafsir, karena saat itu, para sahabat memiliki referensi
yang sangat otoroitas, yaitu Rasulullah, sehingga mereka tidak membutuhkan ilmu
tafsir untuk memahami Al-Qur’an; (2) pada tahap kedua, tepatnya pada masa
sahabat, juga belum ditemukan pengodifikasian ilmu tafsir, karena saat itu
mereka memprioritaskan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah, serta mengacu pada nash
(Al-Qur’an dan hadits) yang mereka pahami.
Tahap pertama dan kedua terus berlanjut sampai pada abad ke-7 dan ke-8,
tepatnya pada masa Imam al-Bulqini; (3) pada tahap ketiga ini, Imam al-Bulqini
menjadi pionir dalam melakukan kodifikasi ilmu tafsir; dan (4) pada tahap
keempat ini, serta sejalan dengan perkembangan zaman, kodifikasi ilmu tafsir
sudah mulai mencapai kesempurnaan, hal itu ditandai dengan munculnya murid Imam
al-Bulqini, yaitu Imam as-Suyuthi, yang juga berhasil menulis dua kitab khusus
perihal ilmu tafsir. Dengan demikian, umat Islam memiliki acuan dalam membaca
dan memahami Al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshawab.
[]
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan,
Kokop, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar