Dalam Al-Qur’an ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukm (Arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Qur’an yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan, menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, inil hukmu illa lillah (QS Al-An'am [6]: 57).
Pakar Tafsir Al-Qur’an Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (2000)
mengungkapkan, kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebijaksanaan Khalifah
keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan
redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan
berkata, Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil.
Memang ada empat ayat Al-Qur’an yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada
dua hal yang harus digarisbawahi dalam hubungan ini. Pertama, keempat ayat yang
menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan
ayat-ayat berikut:
Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah
selain Allah".
Katakanlah, "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah
aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk".
Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di atas bukti yang nyata (Al-Qur’an).
Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).
Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan
menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah. Dalam surat
Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga ditemukan Ayat 40 berbicara dalam
konteks mengesakan Allah dalam ibadah:
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha
dan keterlibatan takdir Allah.
Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dan
pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan
kamu barang sedikit pun dari takdir Allah.
Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah Kepada-Nya aku berserah diri
dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. Ayat
keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang sedikit
berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62.
Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan,) Allah,
Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu)
hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang ketetapan hukum yang sepenuhnya
berada di tangan Allah sendiri pada hari kiamat. Di sisi lain, ditemukan sekian
banyak ayat yang menisbahkan hukum kepada manusia, baik dalam
kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa.
Perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2): 213 yang berbicara
tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan
tujuan --menurut redaksi Al-Quran: Agar masing-masing Nabi memberi putusan
tentang perselisihan antar manusia.
Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada
seluruh manusia yang berbunyi: Dan apabila kamu berhukum (menjatuhkan putusan)
di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS Al-Nisa' [4]:
58).
Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan Allah dalam
menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka
kekhususan tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan oleh
ulama-ulama Al-Qur’an dengan hashr idhafi.
Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian
keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia
untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah SWT, dan karena
itu manusia yang baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar