Rabu, 01 Maret 2023

(Hikmah of the Day) Hikmah di Balik Kesombongan Iblis

Iblis tercipta dari api, sementara Nabi Adam as dari tanah. Begitu selesai menciptakan Adam, Allah segera memerintahkan malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada manusia pertama sebagai wujud hormatnya. Tetapi Iblis terlalu sombong. Dirinya yang tercipta dari api, merasa lebih mulia dari Adam yang hanya tercipta dari tanah.


Peristiwa penciptaan Nabi Adam as dan perintah sujud kepada malaikat dan Iblis telah Allah kisahkan dalam Al-Qur’an:


وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ


Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kalian kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS al-Baqarah: 34).


Alasan Kesombongan Iblis Menolak Sujud kepada Adam


Dalam penciptaannya, Iblis terbuat dari unsur api, sementara Nabi Adam as tercipta dari tanah. Menurut Iblis, unsur api lebih mulia daripada tanah. Ia berkesimpulan, dirinya lebih mulia daripada Adam. Bagaimana mungkin makhluk yang lebih mulia harus sujud hormat epada makhluk yang lebih rendah? Bukankah terbalik? Pikir Iblis. Kesombongan Iblis diabadikan dalam Al-Qur’an:


قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ  


Artinya: “Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan  dia Engkau ciptakan dari tanah’." (QS Al-A’raf: 12).


Apa sebenarnya yang membuat Iblis sombong dan berpikir bahwa unsur api lebih mulia dari tanah? 


Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 925 M) dalam Mafâtîhul Ghaib menjelaskan, alasan yang membuat Iblis berargumen demikian adalah api merupakan elemen bercahaya, selalu berada di atas, halus, panas, kering, dan identik dengan benda-benda langit yang juga posisinya berada di angkasa. Sebaliknya, tanah adalah elemen berwarna gelap, berada di bawah, kasar, lembab, dan jauh dari benda-benda langit.


Selain itu, api juga memiliki kekuatan panas yang menjadi simbol kehidupan. Sementara tanah yang lembab dan basah lebih identik dengan kematian. Jelas, kehidupan lebih mulia dari kematian. Dengan alasan ini Iblis berkesimpulan, jika bahan pembuatnya (api) saja lebih unggul, maka produknya (iblis) pun demikian. (Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Fikr: 1981], juz XIV, halaman 36).


Kesombongan Iblis yang mengklaim dirinya lebih mulia dengan memandang unsur api adalah klaim sepihak yang tidak bisa dibenarkan. Mengapa demikian?


Pada dasarnya, ‘kemuliaan’ adalah anugerah Allah swt, tidak memandang unsur pembuatnya. Bukan berarti api sebagai yang unsur lebih unggul dari tanah, kemudian iblis yang tercipta darinya juga lebih mulia. Sementara Adam yang tercipta dari tanah sebaliknya. Realitanya, tidak sedikit orang beriman lahir dari rahim ibu yang tidak beriman. Atau sebaliknya, orang yang akhirnya tidak beriman lahir dari rahim ibu yang beriman. 


Begitupun Iblis, bukan berarti karena ia tercipta dari unsur mulia lantas lebih mulia dari Adam yang tercipta dari unsur lebih rendah. Allah telah menganurgerahkan kemuliaan kepada Adam. Karena itu, Iblis diperintahkan untuk bersujud sebagai bentuk penghormatan. (Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, juz XIV, halaman 36).


Sementara Imam Ibnu Katsir menjelaskan, sebenarnya dari kualitas unsur pembuatnya, sudah lebih unggul Nabi Adam as daripada Iblis. Karakter tanah adalah lembut, lebih agung, dan tenang. Tanah juga tempat tanaman tumbuh dan berkembang. Sementara api memiliki karakter membakar dan gegabah. Pendek kata, tanah memiliki karakter positif, sementara api negatif. Jelas, tanah lebih unggul. (Ibnu Katsir, Tafsîrul Qur’ânil ‘Adzîm, [Riyadh: Daru Thaibah, 1999], juz III, halaman 393).


Akibat kesombongan, Iblis pun diusir dari surga. Terkait hal ini, Allah berfirman:

 
قَالَ فَٱهۡبِطۡ مِنۡهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخۡرُجۡ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ  


Artinya: “Allah berfirman: ‘Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya; maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina." (QS Al-A’raf: 13).


Hikmah Kesombongan Iblis


Dari kesombongan Iblis di atas kita bisa mengambil beberapa hikmah dan pelajaran, di antaranya sebagai berikut:


Pertama, bahaya sifat sombong. Sudah dijelaskan di atas, kesombongan Iblis membuatnya membangkang dari perintah Allah swt untuk hormat kepada Adam. Akhirnya nanti, Adam dan Hawa juga berbuat dosa karena menerjang larangan Allah dengan memakan buah Khuldi. Tetapi, bila dosa Adam dan Hawa diampuni, sementara Iblis tidak. Kesombongan Iblis membuatnya enggan mengakui dosanya, berbeda dengan Adam dan Hawa. Karena itu, terkait bahaya sifat sombong, Nabi saw bersabda:


لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ (رواه مسلم)


Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (HR Muslim)


Menurut Ibnu Katsir, dalam catatan sejarah, dosa pertama yang diperbuat oleh makhluk Allah adalah kesombongan, yaitu kesombongan Iblis tersebut. (Ibnu Katsir, Tafsîr, juz I, halaman 139).


Kedua, orang tidak boleh berhujah dengan qiyâs (analogi) bila bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan hadits. Mulanya Iblis menganalogikan dirinya dengan unsur penciptaannya (api). Menurutnya, jika api lebih mulia daripada tanah yang menjadi bahan penciptaan Adam, maka hasil ciptaannya pun juga demikian, Iblis lebih mulia dari Adam. Karena lebih mulia, maka ia membangkang nash perintah Allah untuk sujud kepada Adam. 


Hujah Iblis yang berdasarkan qiyâs tidak bisa dibenarkan, karena bertentangan dengan nash, yaitu firman Allah yang menyuruhnya sujud. Dalam diskursus Ushul Fiqih, kekuatan nash jauh lebih unggul dibandingkan akal, sehingga nash tidak boleh disanggah dengan dalil nalar, termasuk qiyâs.


Berangkat dari hal ini, ar-Razi mengutip ucapan al-Wahidi dalam kitab al-Basîth berdasar riwayat Ibnu ‘Abbas, “Seharusnya, Iblis menaati perintah Allah, daripada berargumen dengan analogi cacatnya. Karena itu, Iblis dinilai sebagai makhluk yang pertama kali beranalogi (untuk membantah nash). Barangsiapa melanggar perintah agama berdasar analogi nalarnya, kelak ia akan bersama Iblis.” Wallâhu a’lam. (Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, juz XIV, halaman 36).
[]

 

Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, Alumnus Pesantren KHAS Kempek, dan Mahasantri Mahad Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar