Nama lain kerugian dalam istilah syariah adalah dlarar. Ditinjau dari arti leksikalnya, dlarar sering diartikan bahaya. Namun dalam wilayah praktiknya, khususnya berkaitan dengan aspek muamalah, dlarar acapkali disematkan sebagai sebuah bentuk relasi yang membahayakan hubungan antara dua pihak yang saling bertransaksi. Sifat bahayanya hubungan ini bisa jadi berupa terputusnya tali silaturahim antara dua pihak yang bersengketa. Nah, salah satu sumber terbesar dari sengketa itu adalah adanya kerugian yang besar di salah satu pihak. Untuk itulah maka dlarar dimaknai sebagai kerugian.
Kerugian adakalanya berbentuk materiil (mâddi) dan adakalanya berupa imateriil (adabi). Contoh kerugian materiil, misalnya adalah rusaknya barang yang dipinjam, robohnya bangunan, dan sejenisnya sebagai akibat perbuatan kita atau perbuatan orang lain.
Kerugian imateriil biasanya digambarkan sebagai kerugian yang tidak tampak nyata tapi bisa dirasakan dampaknya. Misalnya, akibat pembangunan waduk, banyak lahan yang harus dibebaskan sehingga membuat terpisahnya tali silaturahim antara dua desa yang sebelumnya terhubung dengan mudah, menjadi terpisahkan oleh sekat waduk tersebut. Untuk menuju desa lainnya dibutuhkan perjalanan berkeliling yang jaraknya menjadi jauh.
Kasus-kasus seperti ini banyak ditemui sebagai akibat tidak langsung dari pembangunan. Tidak hanya terjadi di era sekarang, tapi juga era-era jauh sebelumnya. Infrastruktur jalan raya, tol, waduk, atau pemenuhan prasarana lainnya sudah dikenal dalam pelajaran geografi dan dikenal sebagai barier sosial. Sekali lagi, ini semua adalah buah risiko pembangunan yang jelas ada sisi positif dan negatifnya. Anda juga bisa lihat orang kota yang dipisahkan jalan raya. Meskipun rumahnya berhadap-hadapan, mereka tidak saling kenal karena dipisahkan sekat berupa jalan raya yang padat dan ramai. Contoh ini adalah termasuk dari contoh riil kerugian yang bersifat imateriil (adabi).
Dilihat dari model timbulnya, adakalanya kerugian itu berupa kerugian langsung (mubâsyarah) dan adakalanya pula berupa kerugian tidak langsung/potensial (tasabbub). Masing-masing dari kerugian ini mewajibkan bentuk kalkulasinya (taqdîran muqaddaran). Bilamana kerugian itu tidak bisa dikalkulasi karena saking banyaknya, maka umumnya proses kalkulasinya itu membutuhkan kehadiran pihak pengadilan atau seorang ahli yang diakui sifat adilnya.
Jadi, berdasarkan keterangan di atas, maka bila diskemakan, kerugian dalam fiqih muamalah itu ada empat bentuk, yaitu: (1) kerugian yang berupa materiil langsung (ma'diyatan mubâsyaratan), (2) kerugian materiil tidak langsung (madiyatan tasabbubiyatan), (3) kerugian imateriil langsung (adabiyatan mubâsharatan), dan (4) kerugian imateriil tidak langsung (adabiyatan tasabbubiyatan). Setiap kerugian ini merupakan objek wajib dlamân (menuntut dipertanggungjawabkan). Anda pernah mendengar atau mengenal istilah CSR (corporate social responsibility)? Ya, itu adalah salah bentuk tanggung jawab (dlaman) yang bersifat adabiyatan tasabbubiyatan yang diberikan oleh perusahaan untuk masyarakat yang terkena efek dari pembukaan industrinya.
Sejatinya, bentuk dlaman (jaminan pertanggungjawaban) kerugian ini ada bermacam-macam bentuk dalam syariat, antara lain: (1) ada yang dalam bentuk diyat (denda), (2) ada yang dalam bentuk sanksi pidana, (3) ada yang berupa penyitaan, (4) ada yang berupa qishash dan 5) ada yang dalam bentuk memberi tempuhan/wajib ganti (ta'widl).
Yang menarik adalah ketika berbicara mengenai denda (diyat). Semenjak masa sahabat, denda ini kedudukannya diperselisihkan. Para ulama' pengikut mazhab empat, juga menyatakan perbedaan pendapat. Para ulama bersepakat bahwa hukum asalnya adalah boleh. Namun, mereka berbeda pendapat terkait dengan apakah hukum itu sudah di-nasakh (dihapus) atau belum. Sebagian fuqaha' menyatakan tidak di-nasakh. Sementara fuqaha' lain menyatakan dinasakhnya diyat. Dari kedua pendapat ini, ada pendapat menarik dari Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam menyimpulkan kedua pendapat tersebut. Al-Zuhaili menyatakan:
بل إن أئمة المذاهب الإربعة الذين لا يجيزون التعزير بأخذ المال في الراجح عندهم نظروا إلى اعتبارات سياسية محضة وهي خشية أن يتسلط الظلمة من الحكام على أموال الناس فيأخذها بغير حق باسم العقوبة ثم يأكلونها وهذا المحذور غير قائم الآن بعد تنظيم القانون الوضعي كيفية دفع الغرمات إلى الخزينة العامة مباشرة
Artinya: "Sesungguhnya para imam mazhab empat yang tidak membolehkan penerapan ta'zir (sanksi) harta, menurut pendapat yang unggul di kalangan mereka, adalah karena menimbang sisi politisnya saja, yaitu takut disalahgunakan oleh para hakim untuk berbuat kezaliman atas harta masyarakat. Digunakannya status kebolehan itu untuk mengambil harta pihak lain dengan tanpa hak, dengan mengatasnamakan sangsi, kemudian memakannya. Ketakutan/kekhawatiran ini harusnya ditiadakan di era sekarang apalagi setelah terbitnya Undang-Undang Pidana tentang tata cara pemungutan denda yang langsung masuk ke kas perbendaharaan umum negara." (al-Zuhaili, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâmi al-Masûliyyati al-Madaniyah wa al-Jinâiyah fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 30-31)
Tidak hanya sampai di sini, Syekh Wahbah juga menyampaikan sikap/pendapatnya terhadap mereka yang meyakini bahwa pemungutan diyat/denda sebagai sesuatu yang tidak diperbolehkan disebabkan dalilnya sudah di-nasakh (dibatalkan) adalah sebagai yang telah keliru dalam melakukan istidlâl (pengambilan dalil). Mereka terjebak dalam memperhatikan teks sehingga lupa pada konteks bagaimana pendapat itu dinyatakan oleh para imam mazhab. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar