Jumat, 27 September 2019

Zuhairi: Akhir Era Netanyahu?


Akhir Era Netanyahu?
Oleh: Zuhairi Misrawi

Hasil pemilihan umum Israel baru-baru ini menjadi mimpi buruk bagi Netanyahu. Setelah pemilu April lalu Netanyahu gagal membentuk pemerintahan, maka pada pemilu yang baru saja digelar juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Partai Likud dan koalisinya hanya meraih 55 kursi, padahal pada April lalu mendapatkan 60 kursi. Kini, posisi Netanyahu sedang berada di ujung tanduk.

Untuk mengamankan posisinya, Netanyahu membutuhkan 61 kursi. Partai Likud sendiri hanya mendapatkan 32 kursi kalah dari Partai Blue and White yang mendapatkan 33 kursi. Partai Likud dan Partai Blue and White masing-masing gagal membentuk koalisi untuk mengamankan 61 kursi sebagai prasyarat konstitusional dalam pembentukan pemerintahan.

Presiden Israel telah memberikan kesempatan pertama kali kepada Netanyahu untuk membentuk pemerintahan dengan melobi partai-partai lain, khususnya Partai Yisrael Beinteinu yang mempunyai 8 kursi. Jika Partai Yisrael Beiteinu mau bergabung dengan koalisi Partai Likud, maka Netanyahu akan mudah membangun pemerintahan baru. Ia pun akan melenggang sebagai Perdana Menteri Israel.

Namun perseteruan politik di antara Lieberman dan Netanyahu yang memanas pada masa kampanye dan beberapa tahun terakhir akan menyulitkan bagi keduanya untuk mencapai titik-temu. Kabarnya, Lieberman sudah talak tiga dengan Netanyahu.

Secara ideologis sebenarnya Netanyahu mempunyai kedekatan dengan partai yang dipimpin oleh Avigdor Lieberman, yang juga pernah menjabat sebagai menteri luar negeri pemerintahan Netanyahu. Tapi perseteruan politik antara dua sosok ini rupanya susah untuk mencapai kata sepakat. Alasan utamanya, karena Netanyahu saat ini tersandung tiga kasus korupsi yang suatu saat akan menjadi bola panas bagi pemerintahan Netanyahu. Dalam beberapa pekan lagi kasus itu akan diputuskan oleh pengadilan yang bisa jadi akhir dari karier politik Netanyahu.

Kasus korupsi yang menimpa Netanyahu sebenarnya menjadi akar persoalan di balik kegagalan Partai Likud dan koalisinya untuk memastikan 61 kursi. Alih-alih meraih suara mayoritas, justru suara Partai Likud dan koalisinya justru menurun dari pemilu April lalu dari 60 kursi dan hanya mampu meraih 55 kursi. Isu korupsi merupakan isu yang sangat sensitif di Israel.

Padahal Netanyahu sudah menggunakan berbagai cara dengan model kampanye populis dan bernuansa rasis. Ia secara terang-terangan menyerang orang-orang Arab Palestina yang berdomisili di wilayah Israel, termasuk partai-partai mereka. Tidak hanya itu saja, Netanyahu terus mengampanyekan pembangunan ilegal di Tepi Barat dan Jerusalem Timur yang notabene merupakan kawasan Palestina. Bahkan, selama kampanye berlangsung, Netanyahu juga melakukan penyerangan yang membabi-buta ke Jalur Gaza.

Netanyahu seolah-olah ingin menegaskan kepada pemilihnya, bahwa Israel di masa mendatang adalah Israel yang sama sekali tidak akan membuka lembaran perdamaian dengan Palestina. Israel yang akan semakin jelas keberpihakannya terhadap kepentingan Israel, khususnya umat Yahudi.

Celakanya, sekali lagi, kampanye populis, rasis, dan fundamentalis itu tidak secara serta-merta membuat Netanyahu dapat meraih suara mayoritas di parlemen. Ia harus bekerja keras meyakinkan Lieberman dalam rangka memuluskan jalannya sebagai orang nomor satu di Israel. Bahkan, hasil pemilu paling mutakhir dapat menjadi kuburan bagi karier politik Netanyahu. Ia tidak hanya lengser, tapi akan mendekam di penjara karena kasus korupsi yang menimpanya.

Jika Netanyahu gagal membentuk pemerintahan, bagi kesempatan berikutnya berita di tangan Benny Gantz yang saat ini mempunyai 54 kursi dari Partai Blue and White dan koalisinya. Ia hanya membutuhkan 7 kursi lagi. Lagi-lagi Lieberman memegang kunci bagi Gantz untuk melengserkan Netanyahu.

Namun, Lieberman juga tidak akan mudah memberikan dukungan kepada Gantz karena di dalam koalisinya terdapat partai koalisi Arab Palestina yang secara ideologis sangat bertentangan dengan platform politik Lieberman. Ia akan bersikukuh untuk tidak mengakui Palestina dan menutup rapat-rapat pintu perdamaian dengan Palestina. Sementara partai koalisi Arab Palestina akan mendorong solusi perdamaian antara Israel dan Palestina.

Jika kedua-duanya masih buntu, maka masih ada solusi terakhir, yaitu pembentukan pemerintahan persatuan Yahudi. Solusi ini harus ditempuh agar Israel tidak mengalami kelumpuhan politik setelah berkali-kali gagal membentuk pemerintahan.

Pemerintahan Persatuan Yahudi hanya bisa terwujud jika Netanyahu secara sukarela mengundurkan diri dan memilih pemimpin yang disepakati bersama. Sebab isu korupsi yang menimpa Netanyahu dan keluarganya sudah menjadi momok yang sewaktu-waktu akan menjadi bom politik di Israel. Jika Netanyahu dibuktikan bersalah di pengadilan, maka bisa dapat menjadi "musim semi", sebagaimana negara-negara Arab di kawasan.

Maka dari itu, Netanyahu sebenarnya berada di kursi panas. Ia dihadapkan pada situasi yang sama sekali tidak menguntungkan dirinya. Hasil pemilu yang mengecewakan dan kasus korupsi yang menimpa dirinya telah menjadi mimpi buruk dalam karir politiknya. Bahkan ia bisa jadi menjalani sisa hidupnya di penjara.

Selebihnya, keberhasilan koalisi partai-parta Arab Palestina dalam pemilu terakhir akan membuka kembali peluang perdamaian dengan Palestina. Di luar dugaan, mereka mendapatkan 13 kursi. Mereka akan mendapatkan fasilitas khusus untuk melakukan lobi-lobi di dalam parlemen dan mewakili Israel dalam lobi dengan negara-negara lain.

Itu maknanya parlemen Israel tidak akan monolitik lagi. Tokoh-tokoh Arab akan mewarnai perdebatan dan dinamika terkait perdamaian dengan Palestina di dalam parlemen Israel. Faktanya, kelompok-kelompok kanan yang selama ini mendominasi panggung politik Israel tidak bisa secara serta merta menggunakan isu populis dan rasial, sebagaimana dilakukan oleh Netanyahu dalam beberapa dekade terakhir.

Dalam hal ini demokrasi mempunyai mekanisme tersendiri untuk merepresentasikan suara rakyat Israel. Di tengah kekhawatiran kuatnya populisme dan rasisme dalam politik, Israel membuktikan bahwa warga memilih berdasarkan rasionalitas. Sebab dalam populisme dan rasisme tersimpan bau busuk korupsi, sebagaimana dilakukan Netanyahu dan keluarganya. []

DETIK, 26 September 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar