Selasa, 17 September 2019

Buya Syafii: BJ Habibie dengan Hati Putihnya


BJ Habibie dengan Hati Putihnya
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pada 20 Oktober 1999, BJ Habibie meletakkan jabatannya sebagai presiden ketiga RI setelah dipegangnya sejak 21 Mei 1998. Mengapa demikian singkat anak bangsa yang berhati putih ini diberi kesempatan untuk memimpin Indonesia? Jawabannya adalah karena ranjau politik yang tajam sedang mengadangnya, terutama karena pertanggungjawabannya atas lepasnya Timtim (Timor Timur) ditolak MPR.

Dalam perjalanan waktu yang singkat, belum lama menjabat presiden, beberapa teman dekatnya mulai pula mengkritiknya dengan alasan yang dicari-cari, tetapi manusia berjiwa besar ini tidak pernah dendam. Bagi saya, lepasnya Timtim dari Indonesia memang sudah semestinya. Bukankah wilayah ini bukan termasuk jajahan Belanda yang dulu dikenal dengan Hindia Timur Belanda yang sekarang menjadi Indonesia?

Timtim adalah bekas jajahan Portugis selama 450 tahun. Tahun 1976, tentara Indonesia mengambilnya secara paksa dengan persetujuan Amerika Serikat yang berdalih karena wilayah ini akan menjadi pusat Marxisme Fretilin sebagai tetangga dekat Indonesia.

Pada 1970-an itu, Perang Dingin antara blok Barat dan Uni Soviet masih belum tampak ujungnya. Tembok Berlin dan Federasi Uni Soviet masih terlihat kokoh. Sedangkan Indonesia juga baru 10 tahun berhasil mematahkan kekuatan PKI.

Itulah suasana politik global pada 1970-an itu. Tetapi saat Habibie jadi presiden, peta dunia sudah berubah secara drastis, ancaman Marxisme telah sangat melemah. Dinding Berlin telah runtuh dan Uni Soviet telah berantakan karena rapuh dari dalam. Namun, Indonesia yang telah berhasil merebut Timtim yang bukan bagian Hindia Belanda itu berkukuh menjadikan wilayah ini sebagai provinsinya yang ke-27.

Semangat ultra-nasionalisme inilah yang melatarbelakangi alasan MPR menolak pertanggungjawaban presiden Habibie. Maka itu, presiden ketiga RI ini menjadi yang terpendek masa jabatannya, dibandingkan semua presiden Indonesia lainnya.

Tak lama setelah penolakan MPR itu, Ir Salahuddin Wahid dan saya menemui Pak Habibie di Petra Kuningan sebagai tanda kekecewaan terhadap sikap MPR. Di luar dugaan kami, wajah Habibie tidak menunjukkan tanda-tanda gusar karena posisinya sebagai presiden telah beralih ke tangan lain.

Karena hatinya putih seputih kapas, jabatan politik puncak baginya bukanlah suatu yang harus dipertahankan mati-matian dengan segala cara.

Selama 17 bulan berkuasa, Habibie telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Keran demokrasi dibukanya, mungkin terlalu besar, UU Otonomi Daerah digulirkannya, inflasi diatasinya, dan nilai tukar rupiah yang turun bebas sebelumnya dari 1:15 menjadi 1:6,7. Tahanan politik dibebaskannya. Sebuah prestasi kenegaraan yang spektakuler bagi sebuah negara yang sedang gaduh, yang nyaris gagal.

Semua prestasi ini gara-gara hengkangnya Timtim tidak dipertimbangkan dengan arif oleh sidang MPR, termasuk oleh mantan-mantan pendukungnya. Saya tidak perlu menyebut nama para mantan itu yang ketika Habibie wafat berbalik memujinya.

Salahuddin Wahid dan saya memang pencinta Habibie. Itulah sebabnya kami segera datang mengunjunginya. Siapa tahu batinnya akan sedikit terhibur oleh kunjungan kami dalam suasana politik kenegaraan yang sedang kritikal.

Memang sepeninggal Dr Hasri Ainun Basari (1937-2010), pendamping setia Habibie, batin Bapak Demokrasi kedua setelah Hatta ini telah mengalami keguncangan yang berat. Ainun terlalu mulia di hatinya. Seorang perempuan yang sangat lembut dan penyabar ini harus pergi sembilan tahun lebih dulu sampai Habibie menyusulnya pada 11 September 2019 pukul 18.05 WIB di RS Gatot Subroto.

Bukan saja Indonesia yang berkabung, bahkan bagian dunia lainnya, seperti Jerman dan Malaysia juga menangisi kepergian seorang Habibie dengan segala prestasinya di bidang ilmu dirgantara yang diakui dunia, dan dalam upaya sungguh-sungguhnya mengatasi krisis ekonomi-politik Indonesia yang berantakan pada masa terakhir Orde Baru.

Ainun terlalu mulia di hatinya. Seorang perempuan yang sangat lembut dan penyabar.

Amat disayangkan kemudian, industri pesawat terbangnya di Bandung kurang dihargai oleh para penggantinya. Padahal, dengan PT Dirgantara Indonesia itu nama Indonesia telah melambung tinggi, banyak negara lain yang iri karenanya.

Maka itu, orang yang paling berjasa merealisasikan gagasan besar Bung Karno puluhan tahun yang lalu itu adalah BJ Habibie. Sekarang otak besar dan jiwa pemaaf ini telah berangkat ke alam sana mengikuti Ainun, belahan jantung-hatinya. Selamat jalan Pak Habibie, kami adalah pencintamu dengan cinta yang tulus! []

REPUBLIKA, 17 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar