Jumat, 09 Juni 2017

Nadirsyah Hosen: Ormas Radikal dan Demokrasi yang Tersandera



Ormas Radikal dan Demokrasi yang Tersandera
Oleh: Nadirsyah Hosen

Demokrasi membuka ruang publik (public sphere) seluas-luasnya, termasuk kepada mereka yang menentangnya. Ini paradoks negeri Muslim yang baru memeluk demokrasi. Ketika keran kebebasan dibuka, yang mengambil peran dan bersuara lantang justru mereka yang kelak jika berkuasa akan secara perlahan membunuh demokrasi dengan menutup keran kebebasan itu.

Sebelum tahun 1998 partai politik dibatasi tiga saja. Di awal reformasi, keran demokrasi dimanfaatkan dengan berdirinya sejumlah partai Islam, termasuk di dalamnya partai Islam yang kemudian hanya menjadi penggembira saat pesta demokrasi. Mereka gagal meraih suara yang signifikan. Tidak mungkin mereka dilarang berdiri atau dibubarkan. Maka dibuatlah mekanisme untuk mengurangi peran mereka.

Hak berserikat mereka untuk mendirikan partai dijamin konstitusi, namun mereka harus memenuhi berbagai persyaratan untuk bisa ikut pemilihan umum atau menduduki kursi di Parlemen sesuai aturan legislasi. Pertama, lewat sistem verifikasi oleh Kementerian Dalam Negeri untuk memenuhi syarat diakui sebagai partai politik peserta pemilu.

Kedua, melalui mekanisme electoral threshold di mana mereka yang tidak memenuhi ketentuan batas minimal jumlah kursi di Parlemen tak bisa mendudukkan wakilnya di kursi DPR atau tidak boleh ikut pemilu berikutnya. Meski belum sepenuhnya berhasil, demokrasi Indonesia telah memiliki mekanisme sendiri untuk tidak tersandera oleh partai-partai kecil. Secara bertahap ini mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Mekanisme ini sah secara legal dan demokratis.

Dalam kasus organisasi massa Islam kecil dan radikal, mekanisme verifikasi itu sayangnya tidak ada. Sebelum 1998, pemerintah hanya mendengar tiga ormas besar, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tidak terdengar peran Front Pembela Islam (FPI), Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Forum Umat Islam (FUI) atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Ormas lain yang sejak dulu berdiri seperti Persatuan Islam (PERSIS), Mathla’ul Anwar (MA), dan al-Washliyah di masa Orde Baru ikut bergabung dengan MUI tapi tidak mendapat peran penting di kepengurusannya.

Era reformasi mengubah peta ormas Islam. Karena tidak mungkin menembus NU dan Muhammadiyah yang sudah mengakar sejak sebelum Indonesia merdeka, maka ormas kecil itu menempuh dua acara untuk diakui eksistensinya. Pertama, mereka mendekat ke MUI. MUI di era reformasi berusaha melakukan reposisi perannya, yaitu sebagai payung besar umat Islam Indonesia.
Dengan bergabung di MUI, ormas kecil yang baru muncul itu tiba-tiba menjadi besar dengan bernaung di bawah payung MUI. Ormas kecil yang sudah eksis sebelumnya pun meminta peran lebih di MUI sehingga mereka bisa mengirimkan utusan mereka di pengurus harian maupun di berbagai komisi MUI. Kepengurusan MUI menjadi sangat gemuk untuk bisa menampung mereka.

Kedua, menggalang aksi demo. HTI, misalnya, mengharamkan demonstrasi karena bagian dari demokrasi yang mereka anggap batil. Namun, kemudian mereka menggunakan istilah masiroh untuk membenarkan aksi turun ke jalan. Masiroh secara harfiah adalah “perjalanan”, baik dengan berjalan diam maupun dengan mengumandangkan yel-yel tertentu. Lewat masiroh itulah mereka bersama-sama membawa istri dan anak kecil ikut berdemonstrasi untuk menarik perhatian media.

Begitu juga ormas kecil seperti FPI yang semula jumlahnya tidak seberapa. Namun, lewat sejumlah aksi turun ke jalan dan aksi kekerasan atas nama menegakkan nahi munkar, mereka berhasil menyita perhatian media untuk selalu meliput kegiatan mereka.

Mekanisme untuk memverifikasi keberadaan mereka tidak ada. Gerakan Tarbiyah yang telah menjelma menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) harus menempuh mekanisme demokrasi untuk bertahan. Sejauh ini mereka masih bertahan di Parlemen. Namun, ormas seperti FUI, FPI, HTI, dan MIUMI tidak menjadi partai politik sehingga jumlah suara mereka tak bisa diukur. Mereka tidak lebih berupa kerumunan yang bising. Buat mereka, itu cukup sebagai pressure groups (kelompok penekan) semata.

Tidak pula ada mekanisme internal di kalangan umat untuk membatasi ormas mana saja yang bisa ikut mengirim utusan menjadi pengurus di MUI. Selama mereka berhasil diliput oleh media dan bisa show of force (unjuk kekuatan) lewat aksi massa, maka seolah mereka sah menjadi ormas yang mengatasnamakan suara umat Islam. Mereka seringkali bersuara dan bertindak mengatasnamakan MUI.

Sejumlah ulama besar seperti KH Hasyim Muzadi (alm) dan KH Ma’ruf Amin menyampaikan kepada saya bahwa strategi Islam moderat itu harus merangkul ormas kecil dan radikal agar mereka dilembutkan dan dilunakkan sehingga tidak lagi radikal. Membiarkan mereka terus menerus turun ke jalan akan dimanfaatkan pihak lain menuju anarki. Membiarkan mereka di luar payung umat akan membuat mereka semakin liar tak terkendali. Cara terbaik mengontrol mereka adalah dengan mengakomodir mereka.

Semula saya menerima argumentasi kedua ulama besar kita di atas. Namun, belakangan saya bertanya-tanya: setelah sekian lama merangkul ormas kecil itu, benarkah sikap mereka telah melunak? Jangan-jangan justru para ulama kita yang menjadi sedikit keras karena berupaya mengakomodir keinginan ormas kecil tersebut. Bukan mereka yang menjadi lembut, malah ulama kita yang terlihat ikut keinginan mereka.

Ini jelas menjadi persoalan besar. Saat turun ke jalan mereka mengaku mengawal fatwa MUI. Namun, saat MUI meminta tidak perlu ada aksi massa lanjutan, mereka tidak mempedulikannya. Perlu dipikirkan strategi lain agar ormas kecil itu tidak semakin ngelunjak.

Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah terkesan juga memelihara keberadaan ormas kecil tersebut. Ormas kecil itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah pada suatu episode ketika pemerintah membutuhkan dukungan massa turun ke jalan, atau ormas kecil itu juga bisa digebuk oleh pemerintah pada kesempatan lain. Ormas kecil dan garis keras juga memanfaatkan kegamangan pemerintah dan ketidaktegasan aparat. Jadi, memang ini soal siapa saling memanfaatkan apa atau siapa.

Bukan hanya ulama moderat yang terlihat menjadi mengeras setelah mengakomodir ormas kecil dan garis keras. Bahkan sikap sejumlah pejabat atau calon pejabat yang dulu dikenal moderat dan berwawasan luas juga ikut-ikutan menjadi mengeras setelah membutuhkan dukungan publik dari ormas kecil yang hobi menurunkan massanya ke jalan itu. Sekali lagi, merangkul mereka terbukti bukan membuat sikap mereka melunak, malah membesarkan mereka dengan memberi kesempatan luas memanfaatkan ruang publik.

Lalu, bagaimana solusinya? Solusi yang saya tawarkan adalah kita harus memantapkan kembali tekad bahwa Islam moderat, Islam Nusantara, Islam Berkemajuan atau Islam rahmatan lil alamin (apa pun istilah yang kita gunakan) bukan sekadar dipakai sebagai alat tawar semata (untuk mendapatkan manfaat tertentu) dan juga bukan sekadar strategi di saat umat Islam lemah dan terpaksa mengalah, tapi Islam yang moderat itu merupakan Islam itu sendiri.

Dengan demikian, mau umat Islam dalam kondisi damai atau perang, dalam kondisi mayoritas atau minoritas, berkuasa atau tidak, Islam tetap harus moderat dan rahmatan lil alamin. Pemahaman ini harus terus ditanamkan dan diaplikasikan pada umat.

Kritik saya pada ulama dan pejabat yang hanya menjadikan Islam moderat sebagai alat tawar, strategi atau manhaj belaka, adalah kita bermain di dua kaki. Kepada pihak luar, kita bicara Islam moderat. Ke dalam umat sendiri, kita bicara soal bagaimana memukul pihak lawan dan menguasai panggung kekuasaan.

Maka, tidak heran kedok mereka yang bermain di dua kaki selama ini terbuka saat Pilkada DKI Jakarta 2017 ini: ungkapan rasis, provokatif, main isu al-Maidah ayat 51, dan lainnya terbuka jelas bahwa bagi sebagian pihak Islam moderat hanya dipakai sebagai alat tawar dan strategi belaka.

Di sisi lain, pemerintah dan DPR juga harus merevisi aturan main agar ada mekanisme yang legal dan demokratis untuk menghambat pergerakan ormas Islam kecil dan garis keras. Tokohnya ditangkap, misalnya, mereka bisa terus bergerak. Ormasnya saat ini dibubarkan pun mereka bisa berganti nama keesokan paginya.

Jadi, harus ada aturan main yang disepakati bersama, baik dalam bentuk undang-undang atau regulasi lainnya yang mengatur mekanisme verifikasi dan kuota agar menjadi jelas siapa yang layak menjadi bagian dari ormas Islam yang mewakili umat dan bernaung di bawah payung besar umat Islam.

Tanpa ada mekanisme legal dan demokratis yang menjadi konsensus bersama, kita akan terus tersandera oleh ormas Islam yang kecil tapi nyaring suaranya. []

GEOTIMES, 7 April 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law, Monash University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar