Rabu, 14 Juni 2017

Debat KH Wahab Chasbullah soal Perjanjian Renville



Debat KH Wahab Chasbullah soal Perjanjian Renville

Dalam sejarah pergerakan nasional, sejumlah perjanjian dengan pihak kolonial telah ditempuh oleh Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara. Namun dalam praktiknya, sejumlah perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak kolonial Belanda.

Seperti Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 antara Indonesia dan pihak Belanda di atas Kapal Renville Amerika Serikat. Salah satu isinya ialah, pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat atau RIS.

Poin-poin dalam Perjanjian Renville dinilai lebih buruk ketimbang Perjanjian Linggarjati yang dilakukan sebelumnya, 11 November 1946 di Jawa Barat. Hasil perundingan Renville ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang tergabung dalam “Benteng Republik Indonesia”, terutama oleh golongan Islam. (Saifuddin Zuhri, 1979: 452)

Singkatnya, hasil perundingan Renville ini menjadi sebab jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin. Kabinet ini hanya berumur 6 bulan dan digantikan oleh Kabinet Hatta (Presidentil) yang dilantik oleh Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948. Pada Kabinet Hatta, Bung Hatta selaku pembentuk kabinet ingin merangkul berbagai golongan, termasuk golongan Islam yang getol menolak Perjanjian Renville.

Kabinet Hatta yang salah satu program kabinetnya ialah melaksanakan hasil Perundingan Renville, menyebabkan umat Islam yang tergabung dalam Partai Masyumi menolak untuk bergabung. Namun demikian, Masyumi sebagai partai besar tetap mengadakan rapat untuk menentukan sikap persetujuan duduk tidaknya DPP Masyumi dalam Kabinet yang sedang disusun Bung Hatta.

Dalam rapat tersebut, hadir lengkap Anggota DPP Masyumi di antaranya, Dr Sukiman, Mr. Kasman Singodimedjo, Dr Abu Hanifah, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Muhamad Roem, M. Natsir, KH A. Wahid Hasyim, KH Masykur, Zainul Arifin, Farid Ma’ruf, KH Abdulkahar Muzzakir, Mr. Yusuf Wibisono, Prawoto mangkusasmito (Sekjen), dan lain-lain.

Dari unsur Majelis Syuro, hadir KH A. Wahab Chasbullah (yang telah dipilih menjadi ketua setelah Hadlatarussyekh Hasyim Asy’ari wafat), KH Ki Bagus Hadikusumo, KH Raden Hajid, KH Imam Ghozali, A. Hasan, dan lain-lain.

Malam pertama, rapat dipenuhi perdebatan yang cukup sengit sehingga belum bisa mengambil keputusan. Lalu, Sidang DPP Masyumi tersebut dilanjutkan di malam kedua. Di hari kedua sidang tersebut, Kiai Wahab mengusulkan untuk menerima tawaran Bung Hatta.

“Saya usulkan agar kita menerima tawaran Bung Hatta,” ujar Kiai Wahab dengan suara cukup lantang. “Tapi orang-orang kita yang duduk dalam kabinet itu atas nama pribadi sebagai warga negara yang loyal kepada negara. Jadi yang duduk di kabinet itu bukan Masyumi sebagai partai yang tegas-tegas menentang Persetujuan Renville dan Persetujuan Linggarjati!”

Pemikiran Kiai Wahab tersebut mendapat sambutan positif dari pengurus Masyumi. Sebab menurutnya, meskipun secara organisasi menolak Perundingan Renville, tetapi sebagai warga negara tentu tidak bijak ketika negara memanggil untuk melaksanakan tugas kenegaraan namun menolaknya. Tetapi, usulan Kiai Wahab mendapat respon sebaliknya dari Kiai Raden Hajid.

“Loh, alasannya apa kita duduk dalam kabinet yang akan melaksanakan Renville padhal sejak semula kita menolak Renville? Apa ini tidak melakukan perbuatan munkar?” kata Kiai Raden Hajid tidak kalah lantangnya.

“Kita tidak hendak melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya, kita hendak melenyapkan munkar,” tutur Kiai Wahab merespon reaksi Kiai Raden Hajid.

Bagi Kiai Wahab, dulu Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan perbuatan. Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama untuk melakasanakan misi tersebut. Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya duduk di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. “Mungkin, bahkan dituduh sebagai pengacau,” tegas Kiai Wahab.

“Tetapi kenapa dulu kita menolak Renville, lalu kini hendak melaksanakannya?” ujar Kiai raden Hajid kembali mempertanyakan.

“Sejak pertama kita menentang Persetujuan Renville, sekarang dan seterusnya pun kita tetap menentangnya. Tapi cara penentangan kita dengan falyughoyyirhu biyadih dengan perbuatan jika kita bisa duduk dalam kabinet. Sejak semula kita mencegah orang membakar rumah kita. Setelah rumah terbakar, apakah kita cuma duduk berpangku tangan?” kata Kiai Wahab merumuskan sebuah qiyas. 

Akhirnya, Kiai Raden Hajid bisa menerima usulan dan pendapat Kiai Wahab dengan menyampaikan agar kelak anggota DPP Masyumi yang diangkat menjadi menteri di Kabinet Hatta supaya mengikrarkan janji, tidak cukup hanya berniat dalam hati untuk terus berkomitmen menolak Perjanjian Renville.

Terkait niat ini, Kiai Wahab menjelaskan salah satu Hadits Nabi SAW yang menyebutkan, “Ista’inu  ‘ala injaahil hawaiji bil kitmaan...” (HR Imam Thabrani dan Baihaqi). Artinya, mohonlah pertolongan kepada Allah tentang keberhasilan targetmu dengan jalan merahasiakannya.

Baik Kiai Wahab dan Kiai Raden Hajid merupakan ulama besar. Usia mereka kala itu hampir sebaya, 60 tahun. Kedua kiai kharimatik yang mempunyai integritas keilmuan agama itu sama-sama mempunyai sifat tangkas dan cekatan terhadap berbagai persoalan kebangsaan dan keagamaan. 

Adapun isi Perjanjian Renville yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat (RIS).
2. Sebelum RIS terbentuk, Belanda memegang kedaulatan seluruh Indonesia.
3. Republik Indonesia merupakan satu negara bagian dari RIS.
4. Akan dibentuk Uni Indonesia Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
5. Akan diadakan plebisit (pemungutan suara) untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia dalam RIS dan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS. 

Kisah perdebatan ini disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya "Berangkat dari Pesantren".

[]

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar