Fitrah Manusia Ber-Tuhan
Oleh: Komaruddin Hidayat
Dalam sebuah forum dialog lintas umat beragama, sebelum
menyampaikan ceramah, saya mengajukan dua pertanyaan untuk dijawab secara
tertulis lalu dikumpulkan. Pertama, perputaran bumi, matahari, dan planet di
jagat semesta ini dikendalikan oleh satu Tuhan atau banyak Tuhan? Kedua, Tuhan
yang kita sembah itu sama atau beda? Ketika jawaban tertulis dikumpulkan,
jawaban pertama seragam. Bahwa semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh
satu Tuhan. Argumen paling sederhana, ibarat pesawat terbang, jika banyak yang
mengatur, pasti akan bertabrakan. Jadi, peserta meyakini bahwa yang paling
logis dan mudah diterima nalar adalah hanya satu Tuhan yang paling berkuasa
yang menguasai dan mengatur semesta ini. Yang menarik adalah jawaban nomor dua.
Peserta yang jumlahnya sekitar 80 itu terbelah menjadi dua dan skor hampir
seimbang. Bahwa mereka menyembah Tuhan yang berbeda.
Dari jawaban di atas, lalu saya majukan pertanyaan baru. Karena di
ruang ini terdapat beragam pemeluk agama dan meyakini Tuhan yang berbeda, bumi
yang kita huni dan matahari yang setia menyinari kita semua ini, pemeluk agama
apa yang paling berhak mengklaim sebagai penghuni paling sah dalam pandangan
Tuhan? Andaikan Tuhan menagih rekening matahari, ibarat PLN menagih uang
listrik, kelompok agama apa yang paling berhak mengumpulkan sebagai mandataris
Tuhan? Saya hanya sekadar melemparkan pertanyaan, tidak untuk dibahas pada
forum itu.
Perdebatan abadi
Keyakinan dan pencarian manusia terhadap Tuhan sudah berlangsung
berabad-abad. Banyak teori yang menjelaskan mengapa dalam diri manusia terdapat
dorongan dan kebutuhan bertuhan. Banyak juga filsuf dan saintis yang membangun
teori bahwa keyakinan tentang Tuhan itu palsu dan ilusi akibat dari kelemahan
diri manusia menghadapi teka-teki hidup yang tak terjawab. Namun, jika
dikumpulkan dan ditimbang, argumen dan keyakinan tentang Tuhan jauh lebih kuat.
Dalam hal ini faktor pewahyuan dan kenabian amat sangat berperan.
Jika muncul perdebatan di kalangan saintis, penyelesaiannya lebih
mudah mengingat obyek yang diperdebatkan masih dalam wilayah empiris.
Pembuktiannya bersifat induktif dan positif. Di sini bukti (proof) empiris yang
dijadikan rujukan. Namun, keyakinan terhadap Tuhan yang digunakan adalah
argumentasi berdasarkan penalaran dan merujuk pada wibawa kitab suci serta
pengalaman beragama, mengingat obyek yang diperselisihkan sifat abstrak,
immateri. Yang namanya pengalaman beragama pun sulit dibuktikan jika
menggunakan pendekatan sains.
Misalnya pengakuan Muhammad ketika bermeditasi di Gua Hira ditemui
Malaikat Jibril. Di situ kekuatan pribadi Muhammad yang dikenal sebagai orang
yang tak pernah berbohong dan kandungan berita yang disampaikan menjadi bahan
para sahabat untuk membangun argumentasi, apakah mau percaya atau menolak.
Namun, jika orang minta bukti empiris, lalu ramai-ramai mengajak Muhammad ke
Gua Hira untuk berjumpa Malaikat Jibril, tentu tidak bisa diulangi lagi. Itu
pengalaman beragama yang sangat privat. Begitu juga pengalaman isra-mikraj.
Namun, akan berbeda dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan para sahabat dari
Mekkah ke Madinah, pembuktiannya bersifat historis dan disaksikan banyak orang.
Meskipun abstrak, tak terbantahkan bahwa keyakinan pada Tuhan dan
ajaran-Nya sangat besar pengaruhnya pada kehidupan seseorang dan komunitasnya.
Banyak peradaban agung lahir dari keyakinan dan gerakan keagamaan.
Monumen-monumen besar dengan arsitektur yang indah, juga dilahirkan dari
keyakinan dan dorongan keagamaan. Seperti Candi Borobudur, gereja-gereja tua di
Eropa, dan bangunan masjid di Timur Tengah, semua memiliki nilai arsitektur
sangat tinggi sebagai persembahan pada Tuhan atau lebih tepat sarana menyembah
Tuhan.
Namun, di sisi lain, tak terbilang lagi jumlahnya, peperangan dan
tindak kekerasan meletus juga karena motivasi keagamaan. Ini bermula dari
adanya keyakinan setiap agama memiliki jalan keselamatan (salvation) yang
dijanjikan Tuhan, terutama keselamatan di akhirat. Keyakinan dan konsep
keselamatan ini lalu berkembang pada penilaian bahwa di luar agamanya tidak ada
jalan keselamatan. Artinya, orang yang berbeda agama berarti kafir, semuanya
calon penghuni neraka. Sikap terhadap orang kafir ini ada tiga pilihan. Satu,
mereka diajak dengan baik-baik agar ikut menjadi umat seiman dan seagama.
Kedua, dibiarkan dan dihargai pilihan keyakinan agamanya dengan tetap menjaga
persahabatan sesama manusia. Ketiga, diperangi karena orang kafir berarti
melawan Tuhan yang mereka sembah yang berarti juga posisinya sebagai lawan
mereka.
Konflik dan perang dengan motif keagamaan selalu mengandung logika
paradoksal. Menawarkan kedamaian dan keselamatan dengan cara ancaman dan
kekerasan. Meneriakkan misi Tuhan yang Maha Pengasih sambil mengintimidasi dan
membunuh. Melakukan kekejaman dan pembunuhan, tetapi dianggap tindakan suci
(holy war). Jika tidak ada cara pandang dan pendekatan baru, maka perbedaan
pemahaman dan keyakinan agama akan selalu memicu konflik dan kekerasan. Tidak
mengagetkan jika muncul sekelompok masyarakat ingin menemukan Tuhan di luar
doktrin dan komunitas agama. God and spirituality without religion. Untuk apa
beragama kalau agama bukannya menjadi kekuatan perdamaian dan peradaban.
Produk kultural dan ideologi
Meyakini dan mengikatkan diri sebagai komunitas umat beriman (the
community of believers) sangat berbeda sifat dan implikasinya dari ikatan
seseorang sebagai warga negara (citizen). Kewarganegaraan (citizenship)
ditandai dengan kartu tanda penduduk dan paspor sehingga seseorang terikat
wilayah dan hukum positif di mana dia tinggal. Adapun komunitas umat beragama
menganggap hukum Tuhan di atas hukum positif dan tidak mengenal batas wilayah.
Mereka merasa sebagai anggota Kerajaan Langit meskipun realitasnya lahir,
tumbuh, dan tinggal di bumi. Mereka ada yang terobsesi membangun kejayaan
langit, tetapi kadang dengan membuat kerusakan di muka bumi.
Namun, ada juga yang berpandangan bahwa misi agama itu untuk
membangun kemakmuran dan kedamaian di muka bumi. Keselamatan akhirat itu
reproduksi dan akibat dari prestasi membangun proyek kemanusiaan selama
hidupnya. Oleh karena itu, pilihan dan praktik keberagamaan seseorang merupakan
pilihan dan perjuangan moral. Sebuah tindakan moral meniscayakan dua syarat.
Pertama, seseorang beragama berdasarkan pilihan bebas, bukan produk ancaman dan
intimidasi. Kedua, moral itu muncul dalam konteks hubungan sesama manusia.
Seseorang dikatakan bermoral baik jika berhasil membangun hubungan yang baik
sesama manusia. Dalam konteks ini, ajaran Islam sangat jelas dan tegas bahwa
ukuran dan ujian keimanan itu selalu dikaitkan dengan perbuatan baik terhadap
sesamanya. Oleh karena itu, menyebarkan agama dengan ancaman justru merusak
prinsip ajaran Islam. Kesalehan dan ketulusan tak akan muncul dari situasi
terpaksa.
Jika nalar sepakat hanya ada satu Tuhan, tetapi mengapa terdapat
ragam agama? Terdapat pandangan, naluri, dan kebutuhan beragama itu mirip
naluri dan dorongan manusia untuk berbicara guna mengekspresikan perasaan dan
pikirannya. Maka, bahasa yang akan digunakan adalah bahasa yang dia kenal dan
familiar sejak kecil. Berbahasa tidak hanya mengucapkan kata-kata, sesungguhnya
bahasa juga berfungsi dalam ranah pemikiran dan tindakan. Meminjam frasa
Heidegger, language is the house of being. Sementara itu, setiap orang adalah
anak kandung bahasa dan budaya yang membesarkannya yang pada urutannya
keterikatan pada identitas budayanya berkembang menjadi sikap ideologis.
Oleh karena itu, pluralitas bahasa, sebagaimana agama, tak
terelakkan. Pada tataran metabahasa dikatakan, There is only One Language, but
everyone speaks with a language. Ungkapan serupa juga bisa diberlakukan pada
ranah agama: There is only One True Religion but every believer tends to only
embrace a religion.
Saya sangat sadar, menyikapi perbedaan bahasa dan agama tentu berbeda.
Di sini saya hanya menganalogikan keragaman keduanya karena dorongan intrinsik
yang muncul dari dalam, lalu seseorang terlahir disambut oleh budaya yang
berbeda. Dalam bahasa tak ada janji-janji keselamatan hidup sebagaimana agama.
Peran institusi negara
Mengingat subyek yang bertuhan dan beragama itu manusia yang
sama-sama tinggal di bumi yang sama dengan matahari yang juga sama, pilihan
keyakinan dan tawaran keselamatan hidup yang melampaui batas dunia hendaknya
jangan menghancurkan tata kehidupan di bumi. Yang mesti diusahakan adalah
terjadinya kesesuaian (taufik) antara kehendak Langit dan kreasi manusia di
bumi. Tuhan yang diyakini sebagai sumber kasih mesti diwujudkan dalam kehidupan
sosial yang diikat dengan tali kasih (silaturahim). Sikap keberagamaan
hendaknya mendatangkan rahmat bagi semesta.
Sesungguhnya fitrah manusia untuk bertuhan seiring dengan fitrah
manusia untuk hidup merdeka, damai, dan teratur. Oleh karena itu, sejarah
mencatat, proses panjang bagaimana manusia membangun perserikatan dan lembaga
sosial sejak yang primitif sampai modern bernama negara untuk menjaga kedamaian
dan kemerdekaan. Zaman dahulu ikatan suku dan agama sangat kuat, terlebih lagi
ketika bergabung sentimen suku dan agama, maka kekuatannya kian solid sehingga
mendorong jadi kekuatan misionaris-ekspansionis untuk memperluas pengaruh
agama, militer, dan ekonomi.
Gejolak politik dan kekerasan yang terjadi di Timur Tengah
akhir-akhir ini sulit dipisahkan antara sentimen keagamaan, perebutan sumber
ekonomi, dan ekspansi militer. Ketiganya berjalin berkelindan dengan implikasi
wajah agama jadi muram dan seram.
Di zaman modern, konstruksi negara cenderung lebih rasional dan
warganya semakin plural. Kehadiran negara diperlukan untuk melindungi warganya,
apa pun asal-usul etnis dan agamanya. Jadi, jika agama menjanjikan pada
pemeluknya keselamatan di akhirat, negara memiliki tugas menjanjikan
keselamatan warganya di dunia. Cukup menarik direnungkan, hubungan agama dan
negara di Indonesia memiliki cita-cita sangat ideal, yaitu mempertemukan agenda
agama dan negara sebagaimana tertera dalam Pancasila. Negara memberi wadah dan
fasilitas bagi penyebaran agama, agama menjadi sumber kekuatan moral dalam
kehidupan bernegara.
Sejak dulu di bumi Indonesia yang satu tumbuh beragam agama.
Mereka mungkin sekali meyakini Tuhan Yang Esa, sebagai pencipta dan pengatur
semesta, tetapi mengambil jalan yang berbeda-beda sehingga muncul pluralitas
agama dan aliran kepercayaan. Adalah tugas negara untuk melindungi keselamatan
warganya tanpa membedakan keyakinan agamanya. []
KOMPAS, 27 Juli 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar