Prasyarat Mental Atasi Krisis
Oleh: Yudi Latif
Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia mestinya memantulkan
semangat optimistis jiwa pemenang. Namun, memburuknya perekonomian dan
kegaduhan politik yang tak kunjung reda membuat cuaca kebatinan bangsa ini
diliputi kabut pesimistis. Suka atau tidak, kita tidak bisa menutup mata akan
kenyataan adanya berbagai krisis yang mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak
bisa tenang-tenang saja, seolah-olah keadaan bangsa ini tak ada masalah,
segalanya on the right track.
Selain krisis ekonomi, seperti ditandai dengan merosotnya nilai
tukar rupiah, jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan, jatuhnya harga komoditas
andalan, menurunnya penerimaan pajak, dan ancaman pemutusan hubungan kerja
dalam skala masif, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang
ditengarai Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak
orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat kekuasaan negara.
Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima,
krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan
demokrasi hari ini. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh
gerakan reformasi dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu
diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak,
aparatur negara belum mampu menegakkan hukum dan ketertiban, politisi dan
pejabat kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan, serta perilaku
politik dan birokrasi tercerabut dari etika. Orang-orang yang menggenggam
otoritas saling bertikai, berlomba menghancurkan kewibawaan negara.
Lebih buruk lagi, di titik genting krisis multidimensi ini,
penyelenggara negara dan masyarakat politik justru kehilangan rasa krisis dan
rasa tanggung jawab. Kepemimpinan negara dan elite politik hidup dalam penjara
narsisme yang tercerabut dari suasana kebatinan rakyat. Elite politik lebih
tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan, lebih
mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan
sosial.
Situasi itulah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada
kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyat. Bung Karno
mengatakan, ”Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa
rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka.... Demi tercapainya
cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal
dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.” Secara retoris, Bung Karno juga
mempertanyakan, ”Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang
masih benar-benar ’rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ’volks’ seperti
dulu?”
Dengan tercerabut dari lumpur kehidupan rakyat, para penyelenggara
negara cenderung mengembangkan sikap defensif untuk melarikan diri dari
tanggung jawab. Misalnya saja, kita mendengar ada pejabat yang menyatakan
jatuhnya nilai rupiah adalah baik bagi perekonomian nasional.
Lebih dari itu, ketika dihadapkan pada berbagai persoalan pelik
yang menuntut semangat solidaritas dan tanggung jawab bersama, kepedulian
politik kita justru hanya berhenti pada persoalan bagi-bagi kekuasaan.
Kegaduhan politik hanya di sekitar persoalan siapa, partai apa, mendapatkan
apa. Belakangan, indikasi pertarungan kepentingan mulai merobek kekompakan
kabinet. Padahal, dalam situasi krisis, mentalitas yang harus ditumbuhkan
bukanlah eker-ekeran mempertentangkan hal remeh-temeh, melainkan mentalitas
gotong royong; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Berbeda dengan ledakan harapan banyak orang, pemerintahan
demokratis sering dihadapkan pada aneka masalah dan kekecewaan yang sulit
diatasi. Karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting
bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah
kesanggupan mereka menuntaskan masalah itu, melainkan cara pemimpin politik
menanggapi ketidakmampuannya dengan ketulusan dan kelapangan jiwa melibatkan
partisipasi segenap elemen bangsa.
Untuk keluar dari krisis menuju politik harapan, suatu bangsa
harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme, menuju penciptaan
pemimpin publik yang sadar. Tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan
menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas
pelayanan publik. Tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan
memarjinalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan
demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tetapi justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari
pentingnya merawat harapan dan sikap optimistis dalam situasi krisis, dengan
cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama
menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan
memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga
menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk
merealisasikan kebajikan bersama. []
KOMPAS, 25 Agustus 2015
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar